Risalah Redaksi

Palestina, Yerusalem, dan Perjuangan yang Tiada Henti

Jum, 15 Desember 2017 | 10:00 WIB

Kabar buruk terkait dengan proses perdamaian Palestina-Israel terjadi dengan adanya pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh Presiden Donald Trump. Persoalan Yerusalem merupakan salah satu inti dari konflik yang terjadi di wilayah tersebut. Dengan berpihaknya Amerika Serikat yang selama ini memposisikan diri sebagai mediator dari dua pihak yang berkonflik, maka AS telah memposisikan diri sebagai pihak yang mengutamakan kepentingan satu pihak, bukan kepentingan bersama.

Para pemimpin dunia mengutuk, mengecam, menyesalkan, atau menyatakan keprihatinan yang mendalam atas situasi seperti ini. Yerusalem merupakan wilayah yang dikuasai oleh Israel dalam perang tahun 1967. Keputusan itu pun menyalahi sejumlah resolusi internasional yang selama ini menegaskan bahwa Yerusalem adalah bagian integral dari wilayah Palestina. Karena wilayah yang diduduki perang, maka komunitas internasional tidak mengakuinya sebagai wilayah milik Israel. Sejumlah mitra dekat AS seperti Inggris, Perancis, dan Jerman tidak mengikuti jejaknya mengakui dan memindahkan ibu kota Israel ke Yerussalem.
Umat Islam menghargai sikap negara-negara yang secara tegas tidak mengikuti langkah Amerika Serikat untuk memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem. Ini menunjukkan mereka masih mengakui prinsip-prinsip kedaulatan, bahwa wilayah yang direbut melalui mekanisme perang tak akan diakui sebagai wilayah yang sah dalam hukum internasional.

Pembatalan keputusan tersebut merupakan langkah bijak yang bisa dilakukan oleh Amerika Serikat demi menghargai prinsip-prinsip hukum internasional dan aspirasi komunitas internasional. Dalam posisi sebagai mediator antara Palestina dan Israel, AS harus mampu mengambil sikap yang adil atas kepentingan kedua belah pihak. Kecuali AS akan kehilangan legitimasi sebagai mediator.

Bangsa Palestina tidak dapat mengharapkan kemurahan hati Amerika Serikat. Mereka memiliki kepentingannya domestiknya sendiri terkait dengan kebijakan luar negeri yang diambil. Perubahan kebijakan dari satu presiden ke presiden AS lainnya menunjukkan kadang, mereka berusaha berimbang tetapi tak jarang sangat pro-Israel. Menggalang kekuatan diplomasi yang lebih luas merupakan upaya yang harus dilakukan untuk memperjuangkan kepentingan Palestina.

Bagi umat Islam di seluruh dunia, hal ini perlu disikapi dengan tindakan cerdas, jangan sampai melakukan demo-demo yang tidak konstruktif yang sampai merusak harta benda milik pihak lain, sampai-sampai harus berhadapan dengan polisi yang menjaga ketertiban. Kita harus mengekspresikan diri bahwa kita menolak keputusan tersebut dengan cara-cara yang santun. 

Langkah pemerintah Indonesia yang merespon cepat situasi tersebut menunjukkan sensitifitas yang tinggi akan psikologi umat Islam yang sangat peka terhadap isu terkait dengan Palestina. Presiden Joko Widodo mengecam keras tindakan tersebut. Ia juga menggalang dukungan internasional dan menghadiri sidang istimewa OKI di Turki untuk membicarakan masalah ini. 

Umat Islam di seluruh dunia dengan jumlah total pemeluk 1.7 miliar jiwa harus mampu menunjukkan bahwa kami satu kata dalam soal Palestina. Bahwa prinsip-prinsip keadilan harus ditegakkan. Dengan demikian, akan tercipta solusi damai.

Masalah palestina adalah masalah kemanusiaan. Sudah lebih dari lima puluh tahun, bangsa itu menderita karena perang. Sebagai pihak yang dikalahkan oleh kekuatan-kekuatan besar dunia, Palestina tidak berdaya. Mereka hanya bisa melawan dengan lemparan batu dan senjata-senjata sederhana dibandingkan dengan Israel. Mereka tertinggal jauh dalam bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan teknologi dibandingkan Israel. Sesungguhnya pertarungan menjadi semakin tidak imbang.

Keyakinan dan kebenaran bahwa mereka merupakan pemilik sah atas wilayah-wilayah yang diduduki Israel merupakan modal kuat untuk tetap bertahan dengan segala keterbatasan. Sudah seharusnya jika negara-negara Muslim dan negara-negara yang mencintai keadilan dan kedaulatan untuk membantu Palestina memperoleh haknya. Saatnya meningkatkan bantuan ekonomi dan berbagai kerjasama lainnya untuk memberdayakan Palestina.

Memperjuangkan keadilan untuk Palestina butuh napas panjang. Entah sampai kapan keadilan tersebut dapat ditegakkan, tak ada yang tahu. Ada saat-saat ketika situasi memanas dan harus disikapi secara cepat sebagaimana yang terjadi pada hari-hari ini. Upaya pemberdayaan rakyat Palestina secara jangka panjang juga harus dilakukan, dengan memberikan mereka pendidkan yang memadai, akses ekonomi, bantuan diplomasi, dan hal-hal lain yang hasilnya tidak tampak seketika, tetapi mampu menguatkan posisi tawar dalam perundingan. (Ahmad Mukafi Niam)