Risalah Redaksi

Mengoperasionalkan “Politik Tingkat Tinggi NU”

Rab, 7 Mei 2014 | 08:30 WIB

Seperti biasa menjelang pemilihan umum presiden dan wakil presiden, NU mau tidak mau pasti akan masuk ke dalam pusaran politik. Dalam sistem permusyawaratan apalagi mengandalkan suara terbanyak seperti sekarang ini, NU sebagai organisasi muslim terbesar di Indonesia pasti menjadi daya tarik.<>

Apalagi para bakal calon presiden atau wakil presiden atau para tim pendukungnya itu tidak hanya sowan ke kantor PBNU di Jakarta, tetapi juga sudah datang menemui para tokoh, sesepuh NU dan kiai-kiai di berbagai pesantren.

Kehadiran para calon dan para pendukungnya itu tidak hanya dimaknai secara pragmatis, bahwa mereka sedang meminta dukungan agar terpilih sebagai pemimpin negeri ini. Itu sangat mungkin. Namun kehadiran mereka juga perlu dimaknai secara positif, bahwa mereka sedang ingin meminta nasihat tentang bagaimana seharusnya mengelola negeri ini. Para kiai juga pasti lebih dekat dengan apa yang mereka sebut sebagai “rakyat” itu sehingga lebih tahu tentang apa keinginan dan kebutuhan mereka.

Almaghfurlah KH M.A. Sahal Mahfudh dalam Munas-Konbes NU 2012 di Kempek Cirebon telah mengingatkan bahwa semenjak kembali ke Khittah 1926, -meski tidak berubah pola tetap sebagai organisasi massa- NU tidak lagi bergiat dalam politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah atau siyasah safilah. Peran ini dijalankan oleh partai politik dan warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Setelah Kembali ke Khittah pada 1984, NU menjalankan peran politik tingkat tinggi atau siyasah ‘aliyah.

Mbah Sahal menerangkan bahwa politik tingkat tinggi ini terkait tiga hal besar yakni politik kebangsaan, kerakyatan dan etika berpolitik. Politik kebangsaan berarti NU akan selalu istiqomah dan proaktif dalam mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa Indonesia. Politik kerakyatan antara lain bermakna NU harus aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun.

Adapun etika berpolitik itu menyangkut niai-niai yang harus selalu ditanamkan oleh NU kepada kader dan warganya pada khususnya, dan masyarakat serta bangsa pada umumnya, agar berlangsung kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara.

Demikianlah tiga hal yang disebut politik tingkat tinggi NU. Namun tiga hal itu masih terlalu besar dan bersifat umum sehingga masih sangat perlu disyarahi lebih detil lagi. Politik tingkat tinggi NU masih harus dijelaskan secara lebih operasional agar bisa diterapkan oleh NU secara institusional, dan menjadi bekal sekaligus arahan bagi mereka yang sedang menjalankan peran politik kekuasaan, termasuk warga NU.

PBNU telah menyelenggarakan banyak pertemuan pra Munas-Konbes NU 2014 dan melibatkan banyak ahli di bidang masing-masing. Beberapa di antaranya mengangkat tema khusus mengenai “Konsep Ekonomi Nasional". Dalam satu pertemuan misalnya terungkap kalau utang negara Indonesia selama hampir 10 tahun pemerintahan presiden SBY telah bertambah sebesar US$ 104 miliar menjadi US$ 180 miliar. Padahal 32 tahun pemerintahan presiden Soeharto hanya membebani utang negara sebesar US$ 51,5 miliar.

Jadi Indonesia sekarang sudah masuk pada kondisi harus menambah utang baru untuk melunasi hutang lama dengan risiko menambah utang lebih banyak lagi. Nah dalam konteks politik tingkat tinggi, terutama terkait politik kerakyatan, NU juga akan berurusan dengan ideologi ekonomi yang sedang diterapkan oleh pemerintah Indonesia saat ini. Lebih operasional lagi, misalnya, politik kerakyatan NU juga akan berurusan dengan kebijakan negara mengenai anggaran.

Maka mengoperasionalkan peran politik tingkat tinggi mutlak dilakukan, agar NU tidak hanya dimanfaatkan sebagai penggait massa lima tahun sekali. (A. Khoirul Anam)

 

Gambar: Bakal calon presiden Joko Widodo saat bersilaturrahim ke kantor PBNU bebrapa waktu lalu.