Risalah Redaksi

Mengawasi Industri Penyiaran, Menata Ulang KPI

Ahad, 12 September 2021 | 09:00 WIB

Mengawasi Industri Penyiaran, Menata Ulang KPI

Mengawasi Industri Penyiaran, Menata Ulang KPI. (Ilustrasi)

Pedangdut Saipul Jamil yang baru saja bebas dari hukuman penjara karena kasus pedofilia sempat menimbulkan kontroversi publik ketika kebebasannya diglorifiksi dengan prosesi pengalungan rangkaian bunga di atas mobil sport mewah yang menjemputnya. Ia layaknya peraih prestasi medali emas dalam pertandingan olimpiade. Tak perlu menunggu lama, dua televisi swasta segera menyediakan panggung buatnya untuk tampil, seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya.


Publik geram dengan glorifikasi dan sikap permisif industri TV terhadap pelaku pedofilia, yang dikhawatirkan menimbulkan kesan bahwa kejahatan seksual terhadap anak-anak menjadi sesuatu yang biasa. Karena dianggap biasa, perilaku tersebut rawan dicontoh oleh orang lain, dan menimbulkan korban-korban baru.


Sebuah petisi ajakan memboikot Saipul Jamil tampil di TV yang dibuat di change.org mendapat dukungan lebih dari lima ratus ribu warganet. Tokoh publik, termasuk sejumlah pesohor dunia hiburan turut menyuarakan keprihatinan soal tersebut. Tekanan yang besar ini akhirnya membuat beberapa pihak yang terlibat memberikan dukungan dan fasilitas kepada Saipul Jamil meminta maaf, termasuk televisi yang mengundangnya.

 

Sudah sejak lama industri televisi dikeluhkan oleh publik atas siaran-siarannya yang berkualitas rendah dengan mengedepankan kekerasan dan sadisme, pornografi dan seksualitas, serta mengabaikan etika dan nilai kesopanan. Namun, protes masyarakat hingga kini tidak mendapatkan tanggapan yang memadai. Sejak era dibukanya siaran televisi swasta, kualitas tak banyak meningkat.

 

Sebelumnya, masyarakat dibuat kesal terhadap penggunaan frekuensi publik yang jumlahnya terbatas untuk acara yang sifatnya privat seperti siaran langsung pernikahan Rizky Billar dan Lesty Kejora. Ini merupakan kasus kesekian kalinya. Namun, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak berkutik mencegah hal tersebut terulang.  

 

Televisi swasta didirikan dengan motif untuk mencari keuntungan ekonomi sebagai tujuan prioritas. Dengan nalar demikian, maka yang diproduksi adalah konten yang menghasilkan keuntungan, sekalipun dampaknya ke masyarakat belum tentu baik. Mereka seolah-olah tidak tahu atau tidak mau tahu terhadap kritik yang terus-menerus diberikan. Jika terdapat kritikan keras dari masyarakat luas, mereka cukup minta maaf dan siaran yang kontroversial dihentikan. Persoalan dianggap selesai karena publik juga cepat lupa. Dengan demikian, kasus-kasus seperti yang terjadi pada Saipul Jamil akan terus berulang karena televisi swasta akan selalu mencoba menembus batas-batas baru siaran yang dapat ditoleransi masyarakat. Jika diprotes, ya cukup minta maaf dan menghentikan siaran. Kalau dianggap biasa-biasa saja, ya diteruskan.

 

Upaya mengajak publik luas secara terus-menerus mengawasi konten siaran agak susah dilakukan. Ada persoalan keseharian yang menyita perhatian dan energi mereka. Dukungan akan muncul pada kasus besar dan menyedot perhatian umum. Perusahaan televisi baru akan merespons ketika protes besar itu terjadi. Namun, jika hanya ada segelintir orang yang melakukan protes, pengelola TV hanya menganggapnya sebagai gonggongan anjing yang tak perlu direspons.

 

Dalam posisi seperti ini, maka peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sangat krusial melakukan pengawasan. Sayangnya wewenang yang dimiliki hanya memberikan sanksi administratif yang membuatnya tidak mampu menjadi lembaga yang kuat. Di hadapan para konglomerat pemilik televisi bermodal besar dengan jejaring luas di kalangan politisi papan atas pengambil keputusan negeri ini, KPI terkesan sebagai lembaga lemah yang tak mampu berbuat banyak. Bahkan KPI baru-baru ini tersandung permasalahan pelecehan seksual yang menimpa pegawainya, yang semakin menurunkan kredibilitasnya.


Televisi memiliki peran yang sangat kuat dalam membentuk cara berpikir masyarakat. TV menjadi hiburan murah meriah dengan jangkauan paling luas. Pendekatan liberal yang menyerahkan kepada masyarakat sendiri untuk memilih konten-konten yang disukai akan berdampak buruk bagi kehidupan bersama. Soalnya industri lebih mengedepankan keuntungan dibanding kualitas. Masyarakat hanya disuguhi hiburan tak bermutu berbiaya rendah demi mengejar laba.  


Penonton televisi saat ini menjadi semakin tersegmen kepada kelompok masyarakat menengah bawah yang tidak memiliki pilihan hiburan lain seperti siaran streaming internet, Youtube, atau media sosial lain dengan pilihan tontonan yang lebih beragam dan berkualitas. Dengan demikian, menjadi tanggung jawab bersama untuk mendorong supaya siaran TV menjadi lebih baik pada kelompok masyarakat yang tidak memiliki banyak pilihan hiburan.

 

Penguatan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) penting dilakukan dengan melakukan revisi UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Tuntutan perubahan perundangan ini juga semakin mendesak ketika teknologi memungkinkan siaran streaming dan berkembangnya paket layanan hiburan berlangganan seperti Netflix, Disney Hotstar, dan sejenisnya yang saat ini belum ada pengaturannya. Jangan sampai pada satu sisi siaran yang menggunakan frekuensi publik diatur dengan sangat ketat, tetapi konten di internet yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan dan agama dibiarkan tanpa panduan. Diperlukan regulasi yang menyeimbangkan antara kebebasan berkreasi dan perlindungan masyarakat. Dengan pedoman yang baik, maka kasus seperti Saipul Jamil tidak akan terulang lagi. (Achmad Mukafi Niam)