Risalah Redaksi HARLAH KE-91 NU

Meneguhkan Kembali Spiritualitas NU

Rab, 1 Februari 2017 | 00:30 WIB

Tanpa terasa pada 2017 ini, usia Nahdlatul Ulama telah mencapai 91 tahun, jika dihitung dalam penanggalan Masehi. Selama perjalanan tersebut, estafet kepemimpinan NU sudah berganti dari generasi ke generasi yang masing-masing menghadapi situasi dan tantangan zaman yang berbeda. Generasi muda melalui beberapa badan otonom NU seperti IPNU-IPPNU, Ansor-Fatayat NU dan jalur-jalur nonformal melalui pendidikan pesantren yang menjadi basis penjaga nilai-nilai keagamaan NU juga terus disiapkan untuk melestarikan perjuangan NU. Spirit awal untuk menjadi jam’iyyah diniyah ijtimaiyah inilah yang harus tetap dijaga dan terus diteguhkan mengingat berbagai tantangan terus menghadang.

Upaya untuk mencapai keadilan, kesejahteraan, pencerahan, dan tujuan-tujuan mulia lainnya selalu menjadi dasar berdirinya sebuah organisasi. Tetapi situasi yang berbeda memerlukan pendekatan yang berbeda. Pada 1926 ketika NU didirikan, wilayah Nusantara masih berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Kini, Indonesia telah merdeka yang secara politik diperintah oleh bangsa sendiri. Jika pada zaman kolonial NU bersikap nonkooperatif sebagai bentuk perlawanan, kini banyak kader NU yang menduduki posisi strategis dalam pemerintahan yang ikut menentukan nasib bangsa ini di masa mendatang. Gus Dur, salah satu ketua umum PBNU, bahkan menjadi presiden keempat Indonesia.

Dengan kesederhanaan dan kebersahajaan, NU mampu melawan penjajah. Para santri secara konsisten mengobarkan perlawanan, dari waktu ke waktu dan di manapun kepada kolonialis Belanda. Apa yang diperjuangkan dengan kucuran darah dan keringat ini akhirnya menghasilkan Indonesia yang merdeka, yang proklamasi kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 juga menginspirasi bangsa-bangsa lainnya untuk lepas dari penjajahan.

Di zaman yang sudah serba mudah ini, tantangan baru pun muncul. Jika dulu ujiannya adalah keterbatasan dalam berbagai hal, kini harta yang melimpah juga merupakan ujian. Jika pada zaman dahulu para kiai hanya bersepeda onthel untuk berdakwah dari satu tempat ke tempat lainnya, kini mereka sudah pada bermobil, bahkan banyak yang sudah memiliki mobil mewah. Jika dulu memiliki sepeda sudah dianggap sebagai golongan kaya, kini memiliki motor dianggap sebagai kelompok miskin.

Tetapi yang patut untuk disadari adalah, mobil dan perangkat lainnya yang canggih hanyalah wahana untuk menjalankan misi kemanusiaan, untuk menjalankan dakwah. Beberapa ustadz sudah menggunakan manajemen tersendiri untuk mengelola kapan dan di mana dia harus naik panggung. Mereka secara terang-terangan mengenakan tarif dengan jumlah yang besar agar bisa mengundangnya. Gaya hidupnya sudah mirip pesohor dalam dunia hiburan dengan hobi mengoleksi motor besar atau hal-hal lain yang membikin masyarakat pada umumnya hanya bisa menonton dan membayangkan saja. Mereka berargumen, kalau penyanyi atau artis tampil di panggung dibayar puluhan juta rupiah, kenapa ustadz tidak?

Tentu sah-sah saja menikmati kekayaan yang mereka miliki. Islam juga mengajarkan umatnya untuk kaya karena mereka  yang kaya memiliki pengaruh lebih besar daripada yang miskin. Tetapi jika kekayaan tersebut dikumpulkan dari hasil dakwah, rasanya kurang elok untuk dibuat bermegah-megahan sementara masih banyak sekali umat yang membutuhkan pertolongan. Biaya untuk mendatangkan dai, seringkali diperoleh dari iuran masyarakat. Jika gaya hidup mentereng dikarenakan dari usaha sendiri sebagai seorang wirausahawan, akan lebih pantas. Ini bisa menginspirasi masyarakat untuk mencontoh bahwa mereka yang berusaha keras bisa mendapat hasil atas yang mereka lakukan.

Dengan meningkatnya kecenderungan hedonisme dan materialisme di kalangan masyarakat, yang menganggap kesuksesan dan citra diri ditentukan oleh apa yang mereka pakai dan miliki, menjadi penting dalam momen harlah ke-91 NU ini untuk mengingatkan kembali pentingnya meneguhkan kembali spirit spiritualitas. Semangat inilah yang membuat masyarakat mematuhi petuah-petuah para ulama NU, menjaga sikap moral dengan berperilaku hidup sederhana. Sikap baru yang dimunculkan bahwa kekayaan dan kekuasaan merupakan puncak kesuksesan telah menyebabkan korupsi besar-besaran. Masih ada 28 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, masih banyak sekali sarana sekolah yang belum layak untuk belajar.

Spiritualitas sebagai tujuan, akan menumbuhkan kerelaan melakukan banyak hal untuk membantu sesama. Dan jika hal tersebut dilakukan dengan jumlah yang massif, akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa dalam perjalanan bangsa ini. Tujuan besar NU tercapai dengan cerminan kemampuannya dalam melayani umat dalam pendidikan, kesehatan, ekonomi, menjaga kebinekaan, dan hal-hal besar lainnya. Kesejahtaraan secara personal dari para pengurus NU tidak berarti mencerminkan keberhasilan tujuan NU. Dengan menjaga nilai-nilai spiritualitas inilah, kita akan mampu menghadapi berbagai godaan, terutama yang kini dihadapi adalah materialisme dan hedonisme. (Mukafi Niam)