Risalah Redaksi

Memacu Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia

Ahad, 20 Desember 2020 | 13:30 WIB

Memacu Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia

Yang paling penting dari merger tiga bank syariah adalah keteguhan dalam memegang visi guna menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan.

Pemerintah memutuskan untuk melebur tiga bank syariah BUMN, yaitu Bank BRI Syariah, Bank Mandiri Syariah, dan Bank BNI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BMI). Merger ini akan menjadikannya sebagai bank syariah terbesar di Indonesia dan masuk dalam 10 besar bank terbesar di Indonesia dengan total aset 214,6 triliun dan modal inti sebesar 20,42 triliun. 


Sejak pendirian Bank Muamalat Indonesia pada 1991, perkembangan keuangan syariah di Indonesia belum sesuai dengan harapan dan potensinya berupa lebih dari 200 juta penduduk Muslim di Indonesia. Hingga Juni 2020, pangsa pasar bank syariah baru mencapai 6.18 persen. Pada 2017 jumlahnya hanya 5.78% artinya selama periode tersebut, pangsa pasar bank syariah hanya naik 0.4 persen. Tanpa strategi baru, dikhawatirkan pertumbuhan yang lambat ini terus berlangsung.


Berdasarkan data OJK tahun 2019 tantangan yang dihadapi adalah rendahnya indeks literasi bank syariah yang hanya 8,11% sedangkan indeks inklusi bank syariah sebesar 11,06%. Sementara itu, indeks literasi bank nasional sebesar 29,66% sedangkan indeks inklusinya sebesar 67,82%. Dalam hal ini perlu peningkatan edukasi dan sosialisasi tentang bank syariah.


Bank syariah yang ukurannya kecil tidak efisien secara operasi dan tidak memiliki kemampuan bersaing dengan bank konvensional yang jumlahnya lebih banyak dan ukurannya lebih besar. Sebagai contoh Bank Syariah Mandiri yang merupakan bank syariah terbesar, asetnya sebelum dimerger hanya sebesar 119,4 triliun sementara aset Bank Rakyat Indonesia pada kuartal III 2020 sebesar 1447,85 triliun. 


Para calon nasabah enggan datang ke bank syariah karena jumlah kantornya yang sedikit sehingga susah diakses. Ukuran yang kecil juga menyebabkan biaya operasi yang tinggi karena terdapat sejumlah biaya tetap yang berapa pun jumlah asetnya, biaya yang dikeluarkan tidak banyak berubah. Dengan demikian, semakin besar ukuran bank, semakin rendah biaya rata-ratanya. Hal ini akan berdampak pada kemampuan untuk menyediakan pendanaan dengan biaya yang murah. Efisiensi layanan digital perbankan juga sangat ditentukan oleh jumlah nasabah yang dilayani. Semakin banyak nasabah yang menggunakan, maka semakin efisien layanan digital tersebut. 


Bank syariah tidak dapat menggunakan pendekatan ancaman dalam meraih nasabah, yaitu dengan menyampaikan dogma bahwa bunga bank itu termasuk riba sehingga dihukumi haram. Apalagi, ada banyak ragam pendapat ulama tentang status bunga bank. Ada ulama yang mengharamkan bunga bank seperti Yusuf Qaradhari, Mutawalli Sya'rawi, atau Abu Zahrah. Namun, terdapat sebagian ulama yang tidak mengategorikan bunga bank sebagai riba. Di antaranya Syekh Ali Jum'ah, Muhammad Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, termasuk Majma' al-Hubus al-Islamiyah yang merupakan lembaga Al-Azhar Mesir. Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung 1992 juga memunculkan tiga pendapat, yaitu bunga bank haram secara mutlak sehingga hukumnya haram. Kedua, tidak mempersamakan bunga bank dengan riba sehingga hukumnya boleh, dan ketiga bunga bank sebagai syubhat. Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram, tapi mereka berbeda pendapat apakah bunga bank termasuk riba atau bukan. Intinya, ini adalah persoalan khilafiyah di antara para ulama.  


Bank syariah akan berkembang dengan baik dan menjadi institusi kepercayaan masyarakat jika mampu memberikan pelayanan yang baik dan biaya yang bersaing dibandingkan dengan bank konvensional yang selama ini mendominasi perbankan nasional. Jika biaya-biaya yang dikenakan lebih tinggi dibandingkan dengan bank konvensional, maka banyak nasabah yang lebih memilih bertransaksi di bank konvensional. Kemudahan akses juga akan memengaruhi cara masyarakat menabung. Jika lokasi kantornya jauh sementara ada banyak bank konvensional yang dekat, demi alasan kepraktisan, maka banyak yang akan menjatuhkan pilihannya ke bank konvensional. 


Dengan biaya yang mahal ini, maka visi bank syariah untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan susah untuk tercapai. Bagaimana bisa menciptakan keadilan dan kesejahteraan dengan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi usaha menengah dan kecil jika biaya yang dikenakan mahal. Dalam iklim persaingan usaha yang sangat ketat, maka pembiayaan yang efisien menjadi salah satu kunci untuk mampu bertahan atau berkembang. 


Merger bank syariah BUMN ini menjadikan ukurannya membesar dengan jumlah cabang mencapai 1.200 dengan 1.700 ATM dan didukung oleh 20.000 karyawan. Dengan posisi seperti ini, maka lebih mudah untuk berkompetisi dengan bank-bank konvensional mengingat skala usahanya yang semakin besar.


Yang perlu mendapat perhatian adalah tidak mudah dalam melakukan merger supaya sukses. Secara teori, merger menciptakan sinergi karena adanya kekuatan yang disatukan. Namun merger merupakan penggabungan unit usaha yang sebelumnya telah memiliki budaya perusahaan sendiri-sendiri. Jika salah dalam penanganan transformasi kultural menuju entitas baru, maka potensi besar tersebut tidak akan tercipta.


Yang paling penting dari merger ini adalah keteguhan dalam memegang visi guna menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan. Karena itu, dalam operasionalnya, segmen pasar yang dibidik harus memprioritaskan UMKM di Indonesia yang jumlahnya jutaan. Jangan sampai Bank Syariah Indonesia sekedar menjadi alat untuk menarik uang dari masyarakat yang kemudian disalurkan untuk sektor korporasi sementara sektor UMKM kesulitan memperoleh pendanaan. Bank Syariah Indonesia tak sekadar menjadi entitas bisnis yang ukuran kinerjanya hanya didasarkan pada tingkat keuntungan yang diperoleh setiap tahunnya, tetapi adalah bagaimana mampu menumbuhkan iklim bisnis berbasis syariah dan menyejahterakan para pelaku usaha. (Achmad Mukafi Niam)