Risalah Redaksi

Korupsi Belum Ada Tanda Berhenti

Ahad, 6 Desember 2020 | 08:30 WIB

Korupsi Belum Ada Tanda Berhenti

Semakin tajam taring KPK, semakin terusik para koruptor dan tak akan tinggal diam.

Dalam kurun waktu kurang dari dua pekan, dua orang menteri menjadi tersangka akibat dugaan korupsi. Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dijadikan tersangka pada 25 November 2020 terkait ekspor benih lobster. Menteri Sosial Juliari Batubara menyusul menjadi tersangka pada 6 Desember 2020 terkait dengan pemberian fee bansos Corona. 


Dalam waktu yang berdekatan, dua orang kepala daerah, yaitu Wali kota Cimahi Ajay Muhammad Priyatna dan Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo juga menjadi tersangka untuk kasus korupsi di daerahnya masing-masing. Di Cimahi bahkan tiga wali kotanya berturut-turut terjerat kasus korupsi.


Komisi Pemberantasan Korupsi dalam rentang waktu yang lama, setelah ada revisi UU KPK dan terpilihnya komisioner baru, tidak banyak mengungkap kasus-kasus korupsi sebagaimana sebelumnya. Hal ini menimbulkan kecurigaan dari masyarakat atas adanya upaya pelemahan KPK, baik melalui UU baru maupun pemilihan para anggota komisioner baru yang dipilih oleh DPR RI. 


Beberapa aturan yang diubah adalah pembentukan dewan pengawas KPK, perlunya izin penyadapan kepada dewan pengawas KPK, perubahan status pegawai KPK sebagai ASN, serta sejumlah perubahan aturan lainnya. Apalagi kemudian sejumlah pegawai KPK mengundurkan diri dengan alasan situasinya sudah tidak kondusif lagi. Hal ini telah menurunkan kepercayaan publik pada KPK. 


Gebrakan yang dilakukan oleh KPK baru-baru ini semoga mampu menunjukkan bahwa pesimisme publik ternyata salah. Bahwa KPK tetap memiliki komitmen tinggi untuk pemberantasan korupsi di Indonesia yang sudah berurat berakar. Bahwa para komisionernya memiliki integritas yang kuat. Masyarakat Indonesia akan terus menunggu aksi-aksi berani KPK dalam memberantas korupsi tingkat tinggi yang menggerogoti triliunan uang rakyat. Jika konsistensi dalam pemberantasan korupsi tetap terjaga maka kepercayaan terhadap lembaga ini akan meningkat.


Mungkin saja, para koruptor yang sebelumnya tiarap ketika KPK gencar melakukan pengawasan, kembali melakukan aksi-aksi jahatnya karena merasa bahwa penanganan korupsi di Indonesia mengalami pelemahan setelah disahkannya UU baru atau profil ketua KPK Firli Bahuri dengan sejumlah kontroversinya yang muncul di media. Apalagi dalam situasi pandemi, ketika banyak dana-dana penanganan Covid-19 digelontorkan dengan lebih mudah untuk mempercepat proses penanganan virus ini.


Hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) oleh Trasparency International Indonesia (TII) tahun 2020 menunjukkan bahwa DPR merupakan institusi paling korup di Indonesia. Soal nilai buruk dari parlemen ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara Asia lainnya. Jika diurutkan, terkait dengan persepsi korupsi, berikut hasil survei tersebut: DPR 51 persen, pejabat pemerintah daerah 48 persen, pejabat pemerintah 45 persen, polisi 33 persen, pebisnis 25 persen, hakim/pengadilan 24 persen, presiden/menteri 20 persen, LSM 19 persen, bankir 17 persen, TNI 8 persen, dan pemuka agama 7 persen.


Sayangnya, berdasarkan hasil survei GCB tahun 2017, seluruh sektor mengalami penurunan kecuali persepsi terkait pemerintah daerah yang naik 1 persen. Ini tentu menjadi keprihatinan publik ketika korupsi dipersepsikan mengalami peningkatan.


Para koruptor tidak tinggal diam melihat upaya penanganan korupsi karena hal tersebut mengusik sumber rezeki yang bisa mereka akses dengan mudah, sekalipun tidak halal. Apalagi pihak-pihak dipersepsikan dengan indeks persepsi korupsi tinggi tersebut merupakan kelompok yang berkuasa atau memiliki kewenangan dalam pembuatan aturan perundangan. 


Pengungkapan hasil korupsi yang berhasil dilakukan oleh KPK tidak menunjukkan bahwa hanya ada dua menteri atau hanya ada dua kepala daerah yang melakukan korupsi. Fenomena sebenarnya mungkin seperti gunung es yang mana dipermukaan hanya sedikit yang tampak, tetapi di bawahnya sangat besar. Kapal yang tidak waspada bisa karam karena tidak sadar menabrak gunung es tersebut. Kapal besar berupa Indonesia ini perlu dikemudikan dengan hati-hati supaya tidak karam karena banyaknya kasus korupsi yang terjadi. 


Langkah-langkah yang dilakukan KPK untuk melakukan tangkap tangan layak diapresiasi, namun hal tersebut tidak cukup. Hal ini akan membuat takut sejumlah pihak, tetapi mereka akan terus berupaya mencari cara-cara baru untuk menghindar dari penangkapan. Atau sesungguhnya, yang tertangkap hanya orang-orang yang kebetulan sial saja, seperti orang-orang yang terkena razia polisi yang kebetulan tidak memakai helm atau tidak memiliki SIM. Mereka hanya sial karena dari sekian kali pelanggaran, hanya sedikit peluang untuk tertangkap karena kemungkinan terjadinya razia tersebut sangat kecil di antara sekian banyak pelanggaran.


Jangan pula sampai muncul persepsi bahwa mereka yang tertangkap menjadi target karena persaingan politik antarberbagai kelompok kepentingan. Publik bertanya dan berspekulasi, mengapa yang ditangkap pejabat itu, bukan pejabat anu. Jika hal tersebut terjadi, maka KPK sekadar menjadi alat kepentingan politik pihak tertentu untuk menghancurkan lawan politiknya melalui pengungkapan kasus-kasus korupsi. 


Perlu pendekatan komprehensif untuk mencegah terjadinya korupsi. Apa yang dilakukan oleh KPK merupakan satu hal yang patut diacungi jempol, tetapi hal tersebut tidak mencukupi. Perlu penanganan secara komprehensif, seperti perbaikan sistem secara menyeluruh, termasuk juga pendekatan moral dan budaya, misalnya terkait pandangan sebagian masyarakat yang mengagungkan orang kaya tanpa memperhatikan asal-usul hartanya, termasuk pandangan kesalehan personal lebih penting dibandingkan dengan kesalehan sosial. (Achmad Mukadi Niam)