Risalah Redaksi

Bijak Berlebaran di Tengah Pandemi

Sab, 23 Mei 2020 | 14:00 WIB

Bijak Berlebaran di Tengah Pandemi

Kita akan menjalani Lebaran tahun ini dengan cara dan suasana yang berbeda demi menjaga keselamatan bersama.

Lebaran Idul Fitri yang biasanya menjadi perayaan paling meriah di Indonesia kali akan berbeda suasananya karena datangnya pandemi Covid-19 . Pemerintah meminta masyarakat menjaga jarak fisik untuk mengurangi potensi penularan virus ini. Sebagai konsekuensinya, maka mudik dari kota-kota yang termasuk kategori merah atau menjadi pusat penyebaran virus Corona dilarang. Masyarakat juga diminta untuk shalat Idul Fitri di rumahnya masing-masing.

 

Dalam perspektif agama, shalat Idul Fitri kedudukannya sunnah, bukan sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan menimbulkan dosa. Nahdlatul Ulama, Kementerian Agama, MUI, dan sejumlah omas Islam lainnya telah membuat imbauan untuk menggelar shalat Idul Fitri di rumah. Sebagai pendukung atas anjuran tersebut, tata cara shalat Idul Fitri di rumah tersebar luas di internet. Ini sangat membantu masyarakat, tetapi tak mudah untuk meninggalkan tradisi.

 

Namun dalam perspektif sosial budaya Idul Fitri menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu Muslim Indonesia. Secara psikologis, ada sesuatu yang hilang jika tidak melaksanakan shalat Idul Fitri yang hanya dilaksanakan setahun sekali atau pulang mudik untuk menemui keluarga di kampung halaman. Selama ini, banyak orang, tak peduli berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk pulang ke kampung halaman, tak peduli macet dan kesulitan yang ditimbulkan di jalanan, semua dijalani demi ritual mudik.

 

Lebaran waktu yang tepat untuk bersilaturahim dengan keluarga atau tetangga. Untuk itu, baju lebaran, opor, ketupat atau panganan lezat lainnya disiapkan sebagai pelengkap di hari bahagia ini. Tak heran, dalam beberapa hari terakhir menjelang Lebaran ini, jalanan kembali menjadi ramai dan macet. Masyarakat memenuhi pasar dan pusat perbelanjaan untuk membeli baju baru, baraneka ragam panganan, dan keperluan Lebaran lainnya. Artinya, mereka masih akan melaksanakan ritual Lebaran sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.

 

Dalam shalat Ied, silaturahim dan kumpul-kumpul ini, kemungkinan besar akan terjadi kontak fisik yang dekat berupa salaman atau cipika-cipiki. Risikonya, jika ada satu orang yang terkana Covid-19 akan menulari banyak orang. Orang tua yang biasanya paling dihormati, merupakan orang-orang yang paling banyak dikunjungi dan mereka memiliki potensi paling besar untuk tertular Covid-19 dengan akibat yang fatal.

 

Ada orang-orang yang memahami pelarangan kumpul-kumpul dalam situasi seperti ini, tetapi banyak lainnya yang tak peduli dan sejauh ini merasa aman-aman saja. Tak mudah untuk keluar dari kebiasaan yang sudah mendarah daging ini. Bahkan pada komunitas yang tak paham risiko atau tak peduli, bisa-bisa mereka yang mematuhi anjuran protokol pencegahan Covid-19 disalahkan sebagai orang yang sok.

 

Beberapa acara keagamaan telah menjadi sumber penyebaran Covid-19, seperti klaster Goa ketika terdapat ijtima ulama yang menjadi arena berkumpulnya puluhan ribu massa. Ketika jamaahnya kembali ke daerahnya masing-masing, mereka menjadi sumber penyebaran virus. Sebuah seminar keagamaan yang diselenggarakan di Lembang Bandung juga menjadi sumber penularan. Wajar jika terdapat kekhawatiran bahwa ritual Lebaran yang tidak mengikuti protokol kesehatan menjadi sarana penularan Covid-19.

 

Sejak diumumkannya kasus pertama Covid-19 di Indonesia awal Maret 2020, hingga kini jumlah mereka yang terinfeksi telah mencapai lebih dari 20 ribu orang. Jumlah kasus harian juga belum ada tanda-tanda penurunan. Pemerintah juga tampak kewalahan mengatasi dampak ikutan yang terjadi terutama di bidang ekonomi seperti maraknya PHK, rakyat yang kelaparan, peningkatan kriminalitas dan lainnya. Masyarakat juga sudah capek berdiam diri di rumah sementara tabungan sudah menipis atau secara psikologi mengalami tekanan karena merasa seperti dikurung di rumah.

 

Dalam mengatasi pandemi Covid-19, kita tidak bisa egois dengan mementingkan diri sendiri. Pengorbanan orang-orang yang telah berdiam diri di rumah tak akan memberi banyak makna jika sebagian yang lainnya tetap tidak mematuhi anjuran pencegahan penularan virus ini. Dan kehidupan tak akan benar-benar pulih jika virus ini tidak hilang atau telah ditemukan vaksin pencegahnya. Artinya perekonomian tidak akan bergerak sebagaimana sebelumnya. Dengan demikian pekerjaan tetap sulit didapat atau sebagian besar orang akan terus mengalami penderitaan.

 

Mari kita mulai dari diri kita sendiri, keluarga, dan orang-orang terdekat kita dalam menjalankan pola hidup yang sehat untuk mencegah penyebaran penyakit ini kepada pihak lain saat Lebaran. Ini merupakan kontribusi minimal yang bisa kita lakukan sebelum kita mengambil peran yang lebih besar. Tetapi, alangkah baiknya jika kita mampu berbuat lebih untuk kebaikan bersama.

 

Kita akan menjalani Lebaran tahun ini dengan cara dan suasana yang berbeda demi menjaga keselamatan bersama. Pasti ada sesuatu yang hilang atau kurang dari kegembiraan yang biasanya kita rasakan. Namun kita bisa menciptakan sesuatu yang baru yang tetap bermakna karena manusia dianugerahi kreativitas. Selamat Idul Fitri 1441 H, semoga Lebaran ini menjadi momentum kita untuk terus berbenah diri sebagai makhluk sosial yang peduli terhadap keselamatan bersama. (Achmad Mukafi Niam)