Ramadhan

Kultum Ramadhan: Menumbuhkan Kedermawanan

Ahad, 24 April 2022 | 11:00 WIB

Kultum Ramadhan: Menumbuhkan Kedermawanan

Berderma atau bersedekah bukan persoalan mudah. Dibutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar kaya dan mampu.

Bulan Ramadhan laiknya ruang kelas, yang waktunya ditentukan sesuai jadwal pelajaran yang tersedia. Di dalamnya terdapat beragam sisi, dari mulai kantuk, lapar, sampai semangat ibadah yang besar. Semuanya terkumpul menjadi satu. 


Sebelum memasuki ruang kelas, mari kita perhatikan kisah ini terlebih dahulu:


وسئل الإمام أحمد عن الرجل يكون معه ألف دينار هل يكون زاهد؟ قال: نعم بشرط أن لا يفرح إذا زادت ولا يحزن إذا نقصت.


Artinya: “Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang memiliki (uang) seribu dinar, apakah orang tersebut seorang zahid?” Ia menjawab: “Iya, dengan syarat ia tidak senang saat (uangnya) bertambah, dan tidak sedih saat (uangnya) berkurang.” (Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ‘Iddah al-Shâbirîn wa Dzakhîrah al-Syâkirîn, Beirut: Dar al-Arqam, 2016, hlm. 213)


Kenapa kisah di atas perlu diperhatikan? Karena ada hal yang perlu kita tambah dan tingkatkan dalam puasa kita.


Penjelasannya begini, setiap puasa kita hanya terpaku pada menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan, tapi kita kurang dalam hal “penahanan yang aktif” yang berwujud dalam derma atau pemberian. Berderma atau bersedekah bukan persoalan mudah. Dibutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar kaya dan mampu. Dibutuhkan “pertahanan aktif” yang kuat, yang bisa memaksa seseorang bertahan dari kekikiran, ketidaktulusan dan rasa eman-nya.


Tidak jarang orang yang sudah berlimpah harta, tapi enggan berderma. Ia tidak bisa mempertahankan diri dari kekikirannya. Karena itu, kisah di atas perlu diperhatikan, bahwa tidak masalah seseorang itu kaya sekaya-kayanya, selama bertambahnya harta tidak membuatnya senang, dan berkurangnya harta tidak menyusahkan hatinya.

 

Jika perasaan ini sudah membias dalam diri, maka ia bisa disebut orang yang “zahid”, orang yang bisa menahan keberatannya untuk bersedekah. Berkurangnya harta tidak menyedihkannya, bertambahnya pun tidak menyenangkannya. Dengan kata lain, tidak membuatnya terlena.


Tentu, untuk sampai ke maqam ini tidaklah mudah. Dipenuhi ragam serangan keberatan, ke-eman-an, dan kekikiran. Bahkan mungkin, orang yang sudah mencapainya pun akan terus berjuang dan bertahan dari “daya lena” yang dimiliki harta. Maka, diperlukan pertahanan aktif untuk menahan “daya lena”nya.


Barangkali membiasakan diri bisa jadi langkah awal. Sesuai saran dari Sayyidina Abu Hurairah. Begini katanya:


تعودوا الخير, فإن الخير عادة


Artinya: “Biasakanlah (berbuat) baik, karena sesungguhnya kebaikan itu kebiasaan.” (Imam al-Hafidh Abu Bakr Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, al-Jâmi’ li Syu’ab al-Îmân, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003, juz 13, hlm. 209) 


Contoh sederhananya begini. Tanpa sadar pikiran kita mengatakan bahwa sedekah adalah “uang receh”. Setiap kali ada orang yang meminta-minta kepada kita, baik saat kita di mobil atau di jalanan, refleks kita selalu mencari uang receh atau uang kecil. Jika kita tidak menemukannya, kita urungkan niat kita untuk memberi.


Refleks semacam ini muncul karena “kebiasaan” yang terekam di pikiran kita. Yang sejak kecil selalu melihat hal yang sama (memberi dengan uang receh), sehingga kita pun masuk dalam lingkaran itu. Tapi ini hanya contoh, tidak bisa dijadikan standar umum, karena tumbuh kembang jiwa manusia lebih kompleks dari sekadar contoh.


Langkah awal dalam “pembiasaan” diri adalah “memaksa”. Paksa diri kita untuk menghadapi rasa “eman” dan bertahan darinya. Kebanyakan orang, saat pertama kali menyumbang dalam jumlah besar, ia akan dihantui oleh nilainya, bisa sampai satu minggu atau bahkan berbulan-bulan setelah menyumbang.


Jika ia berhasil bertahan dari rasa “kapok” dan kembali memaksa diri untuk melakukannya, perlahan-lahan “hantu” itu akan berkurang. Penyesalannya setelah menyumbang tidak akan sebesar sebelumnya.


Jadi, bulan Ramadhan adalah momen yang tepat untuk meluaskan kedermawanan kita. Toh, banyak dari kita yang telah berhasil menahan diri dari makan, minum dan berhubungan badan, sekarang giliran menahan diri dari rayuan kikir, godaan bakhil dan hantu penyesalan pasca-sedekah.


Apalagi di bulan yang penuh berkah ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu meningkatkan kedermawanannya saat bulan Ramadhan. Sayyidina Abdullah bin Abbas mengatakan: 


كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس، وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقي جبريل، وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيُدارسه القرآن، فالرسول الله صلى الله عليه وسلم أجودُ بالخير من الريح المرسلة


Artinya: “Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia paling dermawan, dan beliau (menjadi) lebih dermawan lagi di (bulan) Ramadhan saat berjumpa Jibril. Jibril menemuinya setiap malam (bulan) Ramadhan untuk mengajarkan al-Qur’an. Maka, Kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi angin yang berhembus.” (Imam Ibnu Katsir, Jâmi’ al-Masânîd wa al-Sunan: al-Hâdî li Aqwam Sunan, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, juz 31, hlm. 110)


Sebelum mengakhiri pembahasan, perlu diketahui juga bahwa berderma harus sesuai kemampuan. Setelah segala keperluan dan kebutuhan kita terpenuhi. Pembahasan ini hanya refleksi yang semoga saja berguna. Untuk menambah keberkahan, yuk kita tutup dengan doa:


اللهمَّ ارْزُقْنِي صِيَامَهُ وَقِيَامَهُ صَبْرًا واحْتِسَابًا، وَارْزُقَنِي فِيْهِ الْجَدَّ وَالْإِجْتِهَادَ والقُوَّةَ والنَّشَاطَ، وَأَعِذْنِي فِيهِ مِنَ السّآمَةِ وَالفَتْرَةِ وَالكَسَلِ والنُّعَاسِ, وَوَفِّقْنِي فيه لِلَيْلَةِ الْقَدْرِ وَاجْعَلهَا خَيْرًا مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ


Artinya: “Ya Allah, karuniailah aku kesabaran dan [niat tulus] mengharap [pahala dan ridha-Mu] atas puasa [Ramadhan]ku dan [qiyamul lail]ku. [Ya Allah], karuniailah aku dalam [bulan] Ramadhan kesungguhan hati, ketekunan, kekuatan, dan vitalitas. [Ya Allah], lindungilah aku dalam [bulan] Ramadhan dari kebosanan, lemah lesu, kemalasan, dan lemas/[banyaknya kantuk]. [Ya Allah], sukseskanlah aku dalam [mendapatkan] lailatul qadar di [bulan] Ramadhan [ini], dan jadikanlah [pahala atau kebaikan]nya [lebih] baik dari seribu bulan.” (Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani, Kitâb al-Du’â’, Kairo: Dar al-Hadits, 2007, hlm. 312)

Wallahu a’lam bish-shawwab...


Ustadz Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah.