Risalah Redaksi

Mengawali Puasa dengan Kenaikan Harga-Harga Kebutuhan Pokok

Ahad, 3 April 2022 | 17:15 WIB

Mengawali Puasa dengan Kenaikan Harga-Harga Kebutuhan Pokok

Mengawali Puasa dengan Kenaikan Harga-Harga Kebutuhan Pokok

Pada Ramadhan ini Muslim Indonesia menjalani puasa dengan diiringi kenaikan sejumlah kebutuhan seperti minyak goreng dan BBM nonsubsidi. Pajak pertambahan nilai (PPN) ikut naik yang dampaknya akan mempengaruhi barang dan jasa kena pajak. Pemerintah sudah memberikan isyarat harga BBM Pertalite dan gas elpiji tiga kilo juga akan naik.

 

Kondisi ini menjadi tekanan bagi banyak kelompok masyarakat tidak mampu yang sangat sensitif terhadap perubahan harga. Ibu-ibu rela mengikuti antrean panjang untuk mendapatkan minyak goreng curah yang harganya lebih terjangkau karena mendapatkan subsidi daripada membeli minyak goreng dalam kemasan dengan harga relatif mahal.

 

Puasa menjadi praktik untuk belajar sabar dan menahan diri untuk dapat merasakan empati kepada orang-orang miskin yang hidup serba terbatas. Namun bukan berarti masyarakat dibiarkan menghadapi kenaikan berbagai kebutuhan pokok atas nama belajar bersabar. Apalagi bagi kelompok miskin dan miskin ekstrem, kehidupan mereka menjadi semakin sulit, apalagi dampak pandemi Covid-19 belum sepenuhnya pulih.

 

Ada faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi kenaikan harga. Yang sering-sering disebut oleh pemerintah sebagai biang kenaikan sejumlah komoditas adalah perang Rusia-Ukraina yang mengakibatkan harga minyak dunia naik yang kemudian mengakibatkan komoditas lainnya yang terkait ikut naik harganya.

 

Menyalahkan faktor luar sebagai penyebab berbagai kenaikan harga tidak akan menjadi pelajaran dan akan berakibat terus melakukan kesalahan yang sama di masa mendatang. Seolah-olah tidak ada yang salah terhadap kebijakan dan praktik yang selama ini berjalan.

 

Terdapat faktor internal yang semestinya dapat dikendalikan. Pemerintah dapat membuat regulasi dan aparat yang akan melaksanakan kebijakan. Di sinilah peran negara untuk memastikan perlindungan masyarakat, termasuk dalam hal ketersediaan barang dan jasa dalam harga yang wajar. Jika semuanya diserahkan pada mekanisme pasar, yang mana peran pemerintah sangat minim, maka negara sesungguhnya tidak menjalankan kewajibannya.

 

Dalam kasus minyak goreng, terdapat sejumlah konglomerat yang menguasai lahan sawit jutaan hektare dan memiliki industri terintegrasi dari perkebunan, pabrik pengolahan, sampai jaringan minimarket yang menjual beragam produk minyaknya. Negara tidak boleh kalah dengan para pengusaha tersebut karena mereka dipilih untuk melayani rakyat, bukan melayani pemilik modal.

 

Puasa bagi para penguasa, mulai dari presiden, gubernur, bupati, walikota, menteri, anggota parlemen, dan para pejabat lainnya mestinya menjadi refleksi sejauh mana mereka melayani rakyat. Masih ada lebih dari 25 juta rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Mereka telah “puasa” sepanjang tahun, bahkan mungkin sepanjang hidupnya dihadapkan pada kesulitan. Mereka bukan orang-orang yang malas, tetapi kemiskinan tersebut disebabkan oleh kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. Para petani kesulitan mendapatkan pupuk subsidi, sementara pupuk nonsubsidi harganya tidak terjangkau kantong mereka; jika panen, harga produknya jatuh; bahkan ketika produk melimpah, tiba-tiba saja, produk impor masuk. Bagaimana mungkin bisa sejahtera dengan kondisi seperti itu?

 

Di perkotaan, punya rumah menjadi sebuah kemewahan. Orang-orang miskin hidup di lingkungan kumuh, banyak yang menempati bantaran kali untuk bisa bertahan hidup. Itu pun masih disalahkan sebagai penyebab banjir dan kekumuhan. Tak sedikit yang menjadi manusia gerobak, yang berpindah-pindah tempat dengan gerobak sambil mencari kardus dan barang apa saja yang bisa dijual. Anak istri pun ikut dalam gerobak tersebut. Sementara itu, tanah-tanah ribuan hektare dikuasai oleh para pengembang real estate. Orang-orang kaya pun membeli properti dan dibiarkan kosong karena diniatkan sebagai investasi, yang akan dijual lagi saat harganya naik.

 

Tokoh seperti Bung Hatta dan Jenderal Hoegeng merupakan teladan akan kelurusan dan kejujurannya selama menjadi pejabat. Mereka tidak tergoda oleh iming-iming kemewahan atau ancaman apa pun. Integritasnya teruji. Hingga kini kisah hidupnya terus menjadi inspirasi. Namun, tak mudah menghadapi berbagai godaan. Banyak orang yang sebelumnya menjadi aktivis pembela rakyat yang kemudian terjerembab dalam kasus-kasus korupsi ketika diberi jabatan empuk.

 

Nilai puasa tertinggi bagi para pejabat adalah kemampuannya untuk menahan diri dari godaan-godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan. Negeri ini tidak kekurangan orang pintar. Para koruptor yang tertangkap, banyak di antaranya yang bergelar doktor, sebuah gelar akademik tertinggi. Namun, kepintaran tersebut tidak membuat mereka merasa cukup. Bagi orang-orang itu, kepintaran malah menjadi sarana untuk menggelapkan uang rakyat.

 

Kejahatan, korupsi, penyalahgunaan wewenang terjadi karena dua hal. Pertama karena adanya kesempatan, dan kedua karena adanya niat. Perbaikan sistem tata kelola pemerintahan diharapkan dapat mengurangi peluang korupsi. Menata niat merupakan pekerjaan hati. Puasa yang sesungguhnya, yang bukan hanya menahan lapar dan dahaga, diharapkan dapat memunculkan empati terhadap penderitaan rakyat, menghasilkan niat yang baik. Inilah yang sangat kita harapkan muncul dari para pejabat. Jangan sampai puasa sekadar menjadi seremoni buka puasa bersama yang penuh dengan makanan mewah.

 

Bukti konkret dari keberhasilan puasa para pejabat adalah munculnya kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Sebagai contoh, harga pangan dan kebutuhan pokok yang terkendali, yang menghasilkan keuntungan bagi para petani sebagai produsen dan terjangkau bagi para konsumen. Jangan sampai rakyat antre minyak goreng di negeri dengan perkebunan sawit terluas di dunia. Jangan sampai ayam mati di lumbung padi. Pasti ada yang salah dalam situasi seperti ini; tinggal mau berefleksi atau tidak; tinggal mau mengakui atau tidak; tinggal mau memperbaiki atau tidak. (Achmad Mukafi Niam)