Ramadhan

Hal-hal yang Disunnahkan saat I’tikaf

Sab, 25 Mei 2019 | 10:00 WIB

Hal-hal yang Disunnahkan saat I’tikaf

Ilustrasi (Reuters)

I’tikaf merupakan salah satu ibadah yang secara khusus hanya bisa dilakukan di masjid. I’tikaf sebenarnya bukan syariat yang ditetapkan pada zaman Nabi Muhammad saja, tapi juga pada era nabi-nabi terdahulu. Karena itu, i’tikaf bisa disebut sebagai syarai’ al-qadimah (syariat terdahulu). Hal ini bisa kita amati dalam firman Allah:

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Isma’il, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang i’tikaf, orang yang ruku’ dan orang yang sujud.” (QS. Al-Baqarah: 125)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sering melaksanakan i’tikaf, terutama pada bulan Ramadhan. Dalam salah satu hadits dijelaskan:

كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Rasulullah melaksanakan i’tikaf pada sepuluh (malam) terakhir dari bulan Ramadhan sampai beliau wafat, lalu (dilanjutkan) istri-istrinya yang i’tikaf sepeninggalnya” (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadits tersebut, melaksanakan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan adalah hal yang sangat dianjurkan (sunnah mu’akkad), terutama pada saat malam hari, sebab pada  salah satu dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sangat dimungkinkan bertepatan dengan turunnya lailatul qadar, sehingga melaksanakan i’tikaf pada malam-malam tersebut sangatlah dianjurkan.

Lalu sebenarnya hal-hal apa saja yang dianjurkan untuk dilakukan (disunnahkan) pada saat seseorang melaksanakan i’tikaf? 

Penjelasan tentang hal-hal yang dianjurkan pada saat i’tikaf dijelaskan dalam berbagai kitab turats, salah satunya seperti yang dijelaskan oeh Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab berikut:

 قال الشافعي والأصحاب فالأولى للمعتكف الاشتغال بالطاعات من صلاة وتسبيح وذكر وقراءة واشتغال بعلم تعلما وتعليما ومطالعة وكتابة ونحو ذلك ولا كراهة في شئ من ذلك ولا يقال هو خلاف الأولى هذا مذهبنا وبه قال جماعة منهم عطاء والأوزاعي وسعيد بن عبد العزيز

“Imam Syafi’i dan ashab (para pengikutnya) berkata, ‘Hal yang utama bagi orang yang beri’tikaf adalah menyibukkan diri dengan ketaatan dengan melaksanakan shalat, bertasbih, berdzikir, membaca Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan ilmu dengan cara belajar, mengajar, membaca, dan menulis serta hal-hal sesamanya. Tidak dihukumi makruh dalam melaksanakan satu pun dari hal-hal di atas, dan tidak bisa disebut sebagai menyalahi hal yang utama (khilaf al-aula). Ketentuan ini merupakan pijakan mazhab kita (mazhab Syafi’i), dan pendapat ini diikuti oleh golongan ulama, seperti Imam ‘Atha, al-Auza’i, Sa’id bin Abdul Aziz” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 528).

Dalam referensi lain, yakni kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam as-Syafi’i juga menjelaskan tentang kesunnahan saat melaksanakan i’tikaf:

يستحب للمعتكف الاشتغال بطاعة الله تعالى، كذكر الله تعالى، وقراءة القرآن، ومذاكرة العلم، لأنه أدعى لحصول المقصود من الاعتكاف. الصيام، فإن الاعتكاف مع الصيام أفضل. وأقوى على كسر شهوة النفس وجمع الخاطر وصفاء النفس. أن يكون الاعتكاف في المسجد الجامع، وهو الذي تقام فيه الجمعة. أن لا يتكلم إلا لخير، فلا يشتم، ولا ينطق بغيبة، ونميمة، أو لغو من الكلام

“Disunnahkan bagi orang yang melaksanakan i’tikaf untuk melakukan beberapa hal. Pertama, menyibukkan diri dengan melaksanakan ketaatan pada Allah, seperti berdzikir, membaca Al-Qur’an dan diskusi keilmuan. Sebab melaksanakan hal-hal ini akan menuntun terhadap maksud dari pelaksanaan i’tikaf.

Kedua, berpuasa. Sesungguhnya i’tikaf dalam keadaan berpuasa itu lebih utama dan, kuat dalam memecah syahwat hawa nafsu, dapat memfokuskan pikiran dan menyucikan hati. 

Ketiga, melaksanakan i’tikaf di masjid jami’, yakni masjid yang didirikan shalat Jumat.

Keempat, tidak berbicara kecuali perkataan yang baik. Ia tidak diperkenankan untuk mengumpat, menggunjing, adu domba, dan perkataan yang tidak ada gunanya” (Dr. Mushtofa Said al-Khin dan Dr.  Mushtofa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam as-Syafi’i, juz 2, hal. 108)

Kesunnahan melaksanakan i’tikaf dalam keadaan berpuasa dalam referensi di atas tentu yang dimaksud adalah ketika i’tikaf dilaksanakan pada siang hari. Sehingga dapat kita pahami bahwa i’tikaf di siang hari dalam keadaan berpuasa dipandang lebih utama dibanding i’tikaf di malam hari. Namun, hal demikian tidak berlaku pada i’tikaf yang dilaksanakan pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebab malam-malam tersebut memiliki kekhususan berupa turunnya lailatul qadar. Sehingga i’tikaf pada sepuluh malam ini memiliki keutamaan tersendiri.

Maka sebaiknya bagi orang yang melaksanakan i’tikaf agar memperhatikan terhadap kesunnahan-kesunnahan pada saat i’tikaf yang telah dijelaskan di atas, serta mengamalkannya dengan penuh khidmat dan kekhusyu’an, sebab i’tikaf yang paling utama adalah i’tikaf yang di dalamnya banyak di isi dengan amal ibadah, berdasarkan kaidah “ma kâna aktsara fi’lan kâna aktsara fadlan” (sesuatu yang lebih banyak bentuk perbuatannya maka lebih banyak pula keutamaannya). Wallahu a’lam.


Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember