Ramadhan

Cara Allah Cium Bau Mulut Orang Puasa

Jum, 25 Mei 2018 | 09:30 WIB

Puasa berbeda dengan ibadah lainnya. Ibadah yang lain bisa dilihat dengan kasatmata. Sementara puasa hanya pelaku dan Allah SWT yang mengetahui. Manusia bisa saja pura-pura puasa di hadapan manusia.

Kejujuran dan keikhlasan sangatlah utama dalam ibadah puasa. Hanya orang yang jujur dan ikhlas yang bisa mengerjakan ibadah puasa.

Puasa memiliki keistimewaan tersendiri di hadapan Allah. Bahkan dalam sebuah hadits, Allah menyebut puasa yang dilakukan manusia itu sebenarnya adalah untuk-Nya dan Allah sendiri yang akan langsung membalasnya. Bahkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari dikatakan:

لَخُلُوْفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ

Artinya, “Bau mulut orang yang puasa menurut Allah lebih harum daripada bau misik (minyak wangi),” (HR Bukhari).

Hadits ini tidak bisa dipahami secara tekstual dan lahiriah karena bisa salah paham. Kalau dipahami secara lahir, bisa berimplikasi pada penyerupaan Allah dengan makhluk.

Kalau kita pahami Allah bisa mencium bau yang harum, berati Allah punya hidung dan tidak jauh beda dengan fisik manusia. Padahal itu sangatlah mustahil bagi Allah. Sebab dalam Al-Qur’an disebutkan:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

Artinya, “Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar dan Melihat,” (As-Syura ayat 11).

Jadi jangan sampai kita berpikir Allah punya hidung dan bisa mencium aroma wangi dan busuk seperti halnya manusia. Sebab itu sama saja menyerupakan Allah dan Makhluk. Padahal Allah sangatlah berbeda dengan makhluknya.

Lalu bagaimana memahami hadits di atas? Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam At-Thuruqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah menjelaskan bahwa hadits di atas harus dipahami secara majazi dan tidak bisa dipahami secara hakiki.

Kiai Ali mengatakan:

أنهم متفقون على أن هذا الحديث لا يراد به المعنى الحقيقي وإنما يراد به المعنى المجازي

Artinya, “Seluruh ulama sepakat bahwa hadits ini tidak bisa dipahami secara hakiki, tapi mesti dipahami secara majazi”

Dengan merujuk pada berbagai pendapat ulama yang otoritarif, Kiai Ali menyimpulkan bahwa makna hadits di atas adalah Allah meridhai dan menyukai orang yang puasa. Jadi, kalimat “Bau mulut orang yang puasa lebih harum di hadapan Allah ketimbang bau misik,” dipahami dengan makna Allah meridhai dan dekat dengan orang yang puasa.

Sebab itu, jangan sampai kita memahami Allah mencium bau mulut orang puasa, karena itu bisa menjerumuskan kita pada sifat tasybih dan tajsim, yaitu menyamakan Allah dengan makluk-Nya. Hal ini tentu sangat dilarang dalam agama. Wallahu a‘lam. (Hengki Ferdiansyah)