Pustaka

Kimiyaus Sa’adah: Kitab Resep Bahagia ala Imam Al-Ghazali

Sen, 5 Februari 2024 | 21:00 WIB

Kimiyaus Sa’adah: Kitab Resep Bahagia ala Imam Al-Ghazali

Ilustrasi: Cover Kitab Kimiyaus Sa’adah karya Imam Al-Ghazali

Kebahagiaan adalah barang langka di era modern, yang dibuktikan dengan maraknya masalah kesehatan mental. Survei Ipsos Global bahkan menemukan bahwa kesehatan mental menjadi masalah kesehatan paling dikhawatirkan oleh responden dari 31 negara (44% responden).
 

Beruntungnya, resep untuk mengatasi masalah tersebut telah dituangkan oleh Imam Al-Ghazali dalam salah satu kitabnya yang berjudul Kimiyaus Sa’adah. Sebuah kitab dengan nama yang unik, kimia kebahagiaan.
 

Istilah al-kimiya’ (الكيمياء) sebetulnya berbeda dengan istilah disiplin ilmu kimia modern, melainkan berasal dari legenda mistik kuno yang pertama kali dikenalkan oleh Khalid bin Yazid bin Muawiyah. 
 

Di dalam mistik Barat, istilah al-kimiya’ juga dikenal dengan the philosopher’s stone, yaitu suatu zat yang dipercaya dapat mengubah batu mineral menjadi emas. Tak ayal, zat ini begitu terkenal dan banyak dicari oleh orang-orang terdahulu yang menginginkan kekayaan instan.
 

Akan tetapi, yang dimaksud Imam Al-Ghazali dalam kitabnya tentu bukan al-kimiya´ material tersebut, melainkan al-kimiya’ maknawi.
 

Adapun pilihan Imam Al-Ghazali dengan diksi al-kimiya’ berdasar pada kesamaan sifatnya yang bisa mengubah barang hina jadi berharga. 
 

Artinya, apabila al-kimiya’ material dapat mengubah mineral rendah jadi emas mulia, maka al-kimiya’ maknawi dapat mengubah hidup sengsara jadi bahagia.
 

Hal lain yang menarik dari kitab ini adalah ukurannya yang kecil dan isinya yang ringkas, tetapi mengandung derajat dan manfaat yang luar biasa berlimpah. Ini sebagaimana dituliskan dalam mukaddimah kitab Sabilul Iradah, sebuah syarah dari kitab Kimiyaus Sa’adah:
 

دَعَانِي إِلَى شَرْحِهِ أَنَّ الكِتَابَ عَلَى صَغْرِ حَجْمِهِ وَاخْتِصَارِ نَظْمِهِ عَظِيمُ القَدْرِ غَزِيرُ النَّفْعِ كَثِيرُ الفَائِدَةِ
 

Artinya, “Saya terpanggil untuk mensyarahi kitab Kimiyaus Sa’adah bahwasanya kitab ini di samping ukurannya yang kecil dan susunan bahasanya yang ringkas adalah kitab yang agung kedudukannya, berlimpah manfaatnya, dan banyak faidahnya.” (Luqmanul Hakim Al-Indunisi, Sabilul Iradah fi Syarhi Kimiyais Sa’adah, [Depok: Maktabah At-Turmusy, 2021], halaman 6). 


 

Mengenal Diri, Resep Awal Kebahagiaan

Resep kimia kebahagiaan ternyata tidak perlu dicari jauh-jauh karena sejatinya semua bahannya telah terkumpul dalam diri setiap manusia. Sebab kebahagiaan sejati hanya dapat diraih ketika seseorang dapat memenuhi kebutuhan dirinya yang paling inti.
 

Inti dari seorang manusia adalah hati nuraninya, sedangkan bagian yang lain adalah pembantu nurani.
 

Imam Al-Ghazali mengibaratkan manusia kerajaan dengan hati nurani sebagai rajanya, akal sebagai penasihat, syahwat sebagai gubernur, amarah sebagai polisi, dan anggota-anggota tubuh sebagai pekerjanya.
 

Dengan demikian, seperti raja, peran hati adalah memutuskan perkara final sesuai dengan arahan dan nasihat dari akal. Syahwat berguna untuk memenuhi kebutuhan biologis demi kelangsungan hidup individu dan kebutuhan seksual demi kelangsungan generasi.
 

Amarah bertugas mendisiplinkan tubuh dan membela diri. Sementara anggota-anggota tubuh bekerja untuk melaksanakan kepentingan-kepentingan tersebut.
 

Akan tetapi, meskipun semua bagian manusia memiliki fungsi yang baik, syahwat dan amarah juga menyimpan bahaya tersendiri.
 

Layaknya gubernur yang korup, syahwat yang tak terkendali akan menyengsarakan diri. Layaknya polisi yang zalim, amarah yang tak terkontrol dapat menyakiti orang lain.
 

Sebagaimana suatu kerajaan akan makmur jika raja mengambil keputusan sesuai dengan arahan penasihat yang tulus, diri manusia akan selamat jika hatinya mengambil keputusan sesuai dorongan akal sehat.
 

Sebaliknya, manusia akan hancur dan menderita apabila yang didengarkan oleh hatinya adalah bisikan syahwat dan amarah yang di luar kendali karena akal yang sakit.


 

Sifat-Sifat Manusia dan Kebahagiaannya

Manusia adalah makhluk yang unik. Tubuhnya diciptakan dari tanah liat, dari unsur bumi, dari alam material ('alamul mulk), sedangkan ruhnya ditiupkan langsung oleh Allah swt dari alam transendental ('alamul malakut).

 

Manusia dengan begitu adalah horizon, pertemuan antara bumi dan langit. Ia tidak seperti iblis yang selalu jahat, tidak pula seperti malaikat yang selalu baik. Manusia adalah makhluk di antara. 
 

Pilihan hati nuraninya yang kelak menentukan nasibnya. Manusia berpotensi lebih mulia dari malaikat, tetapi juga menyimpan keburukan seperti setan. Demikian pula dengan kebahagiaannya. Manusia bisa berbahagia lewat cara yang kotor ataupun jalan yang suci.
 

Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa dalam diri manusia tersusun empat sifat, yaitu sifat hewan ternak (al-baha’im), sifat hewan buas (as-siba’), sifat setan, dan sifat malaikat. Masing-masing dari sifat tersebut mempunyai bagian kebahagiaannya masing-masing.
 

Sifat hewan ternak bahagia dengan pemenuhan syahwat biologis dan seksual. Sifat hewan buas bahagia dengan pelampiasan amarah. Sifat setan bahagia dengan makar akal yang jahat. Sifat malaikat bahagia dengan menyaksikan keindahan hadirat Ketuhanan.
 

 

Mujahadah Meramu Kebahagiaan Abadi

Bahagia adalah hal yang mudah, tetapi sebagian besar kebahagiaan dunia adalah sementara. Karena itu, yang sebenarnya dicari oleh setiap insan adalah kebahagiaan yang sempurna dan abadi, yang tak lekang oleh masa.
 

Lantas di mana letak kebahagiaan abadi tersebut?

 

Melihat keempat sifat manusia, sifat hewan ternak, sifat hewan buas, sifat setan, dan sifat malaikat, sekiranya jelas bahwa kebahagiaan abadi manusia tertanam dalam sifat malaikatnya, pada hati nurani untuk mengenal Allah swt (ma’rifatullah), menyaksikan keindahan ilahi.
 

Manusia tidak bisa berbahagia dengan menenggelamkan dirinya pada kebahagiaan-kebahagiaan yang dirasakan oleh sifat-sifat lainnya. Alasannya sederhana, bahwa semua bagian manusia diciptakan untuk melayani kepentingan hati nurani sebagai intinya. Imam Al-Ghazali berkata:
 

اِعْلَم أَنَّ سَعَادَةَ كُلِّ شَيْءٍ وَلَّذَتَهُ وَرَاحَتَهُ تَكُونُ بِمُقْتَضَى طَبْعِهِ, وَطَبْعُ كُلِّ شَيْءٍ مَا خُلِقَ لَهُ... وَلَذَّةُ القَلْبِ خَاصَّةً بِمَعْرِفَةِ اللهِ سبحانه وتعالى لِأَنَّهُ مَخْلُوقٌ لَهَا

 

Artinya, “Ketahuilah bahwasanya kebahagiaan segala sesuatu dan kenikmatan serta ketenangannya sesuai dengan wataknya, dan watak segala sesuatu adalah alasan diciptakannya… Sementara kenikmatan hati secara khusus adalah dengan mengenal Allah saw, karena hati diciptakan untuknya.” (Al-Ghazali, Kimiyaus Sa’adah, [Kairo: Darul Muqaththam, 2010], halaman 41).

 

Mengejar kebahagiaan-kebahagiaan selain kebahagiaan hati nurani sama saja dengan memperbudak raja dan merajakan budak. Sebuah cara hidup yang terbalik.
 

Karenanya, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa meramu kebahagiaan abadi harus ditempuh melalui mujahadah, yaitu upaya untuk membersihkan hati dari segala kotoran.
 

Proses penyucian hati (tazkiyatun nafsi) adalah syarat utama agar hati dapat mengenal Allah swt dan melihat keindahanNya. Pasalnya, hati ibarat cermin dan Allah swt adalah cahaya. Pengenalan terhadap Allah saw dalam hati menyerupai terlukisnya rupa dalam cermin oleh cahaya.

 

Cermin yang kotor akan menampilkan gambar yang suram. Semakin kotor cermin, semakin hilang gambar yang ditampilkan olehnya karena cahaya yang gagal dipantulkan.

 

Sebaliknya, cermin yang bersih dan mengkilap akan menerima pantulan cahaya dengan sempurna, sehingga sempurna pula gambar yang terlukis di dalamnya.

 

Demikian pula hati manusia. Semakin kotor sebuah hati oleh kesombongan, dengki, cinta terhadap dunia dan berbagai penyakit hati lainnya, semakin sulit bagi hati untuk menerima cahaya Allah swt, apalagi mengenalnya.

 

Sebaliknya, hati yang bersih dan sibuk dengan mengingat Allah swt akan memantulkan cahaya Allah saw dengan sempurna, hati yang mengenal Allah swt dan menyaksikan keindahanNya yang tak terkira.
 

Manusia dengan pemilik hati inilah yang berhasil memperoleh al-kimiya’ yang akan membawanya meraih kebahagiaan abadi. Wallahu a'lam.

 

Identintas Kitab

Judul: Kimiyaus Sa'adah
Penulis: Imam Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M)
Penerbit: Darul Muqaththam, Kairo
Tahun terbit: 2010 M, Cet. 1
Pentahqiq: Abu Sahl Najah 'Audh
 

 

Ustadz Zainun Hisyam, Pengajar di Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy Banyumas