Pustaka

Cerita Ahmad Tohari tentang Proses Kreatifnya dalam Menulis Karya Sastra

Ahad, 3 Maret 2024 | 20:00 WIB

Cerita Ahmad Tohari tentang Proses Kreatifnya dalam Menulis Karya Sastra

Sastrawan Ahmad Tohari dalam sebuah seminar. (Foto: dok. NU Online)

Ahmad Tohari atau Pak AT demikian orang memanggilnya. Nama dan sumbangsihnya dalam dunia kesusastraan Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Karya-karyanya banyak diminati penikmat sastra. Di antaranya novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982), novel Di Kaki Bukit Cibalak (1979), novel Kubah (1980), kumpulan cerpen Senyum Karyamin (1989), dan kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang (2013). 


Ahmad Tohari berhasil mengembangkan konsep penulisan dengan ciri khasnya tersendiri. Dalam karya-karyanya, ia membahas isu-isu kemanusiaan dengan konsep yang kuat dan mudah dimengerti oleh pembaca dari berbagai kalangan. 


Selain itu, ia mampu menggambarkan kehidupan masyarakat desa dan kaum miskin, yaitu wong cilik (kelompok bawah), yang polos dan sederhana, terpisah dari kehidupan perkotaan.


Jumat, 29 Desember 2023 pukul 14.00 WIB, saya berkesempatan untuk sowan (silaturahim) ke Ahmad Tohari di kediamannya di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Saya tidak seorang diri, tetapi bersama kawan saya yaitu Rifqi (Banyumas) dan Naila (Bumiayu).


Sebelumnya, kami membuat janji terlebih dahulu melalui kawan kami, Saeful Huda (Banyumas), yang merupakan murid dan juga yang membantu Ahmad Tohari dalam mengurus Perpustakaan Sukabaca Desa Tinggarjaya, perpustakaan ini terletak di samping kediaman Ahmad Tohari. 


Kami diterima dan disambut dengan baik dan dipersilakan masuk ke Gubug Carablaka Rumah Budaya, yang biasa digunakan Ahmad Tohari untuk menerima tamu. Bangunan ini mengusung bentuk tradisional Joglo dengan bahan utama pembuatannya adalah kayu. Sementara pada dinding-dindingnya dihiasi ornamen-ornamen yang menggambarkan kekayaan seni loka, seperti wayang, topeng, jaranan.


Selain itu, dipajang foto Ahmad Tohari bersama dengan Presiden Ke-4 Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ia memang memiliki kedekatan dengan Gus Dur.


Kami mengobrol selama satu jam bersama dengan berbagai macam topik dan saya merekamnya menggunakan handphone. Saya sempat khawatir dengan kualitas audio, mengingat kediaman Pak Ahmad Tohari terletak di jalan besar dan dilalui oleh berbagai jenis kendaraan dengan kecepatan tinggi mulai dari motor, mobil, truk, hingga bus.


Rahasia novel Ronggeng Dukuh Paruk memikat pembaca

Ia mengatakan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk sudah masuk cetakan ke-20 dan pada Maret 2024 akan masuk cetakan ke-21 dengan versi hard cover.


“Kenapa bisa seawet itu, ngerti rahasianya?” tanyanya kepada kami, lalu kami pun menggelengkan kepala.


Kemudian ia menjelaskan bahwa ketika menulis novel tersebut, ia menjabat sebagai Redaktur Harian Merdeka di Jakarta. Sebagai seorang redaktur, ia mengungkapkan bahwa masalah bahasa sudah selesai, sudah final, dan tidak perlu diedit lagi.


“Itu sudah yang terbaik, kalau diperhatikan kalimat-kalimat di situ sudah kalimat yang sempurna, sudah selesai. Oleh karena itu segera bisa memikat pembaca, membaca kalimat pertama langsung kecanduan, karena kalimatnya memikat. Dalam satu kalimat tidak pernah menggunakan kata yang sama,” ujarnya.


Terkait dengan jobdesk-nya di Harian Merdeka, ia mengatakan bahwa dirinya berperan sebagai redaktur bagian editing. Sistematikanya adalah wartawan mengirimkan tulisannya kepada redaktur biasa atau juga redaktur daerah. Selanjutnya, tulisan dari mereka akan masuk ke mejanya. 


Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam menulis, ia biasanya bekerja sendiri tanpa menggunakan peta konsep. Langsung mengetik pada mesin tik dengan ide yang ada di dalam pikirannya.


Namun, Ahmad Tohari mengakui bahwa terkadang perlu melakukan tulis ulang. Dalam menulis cerpen misalnya, ia seringkali menulis ulang dua atau tiga kali sebelum dikirim ke media, caranya dengan membaca ulang terlebih dahulu.


Menurutnya, novel Ronggeng Dukuh Paruk belum ada tandingannya dan salahnya tidak ada yang mau menandingi. Ia mengatakan bahwa bahasa novel tersebut merupakan bahasa seorang redaktur, bahasa yang sempurna, matang, tidak perlu edit lagi. Bahkan ia menyebut dirinya yang malah mengedit teori editor Gramedia.


“Saya menulis itu paramiliter dalam satu kata, tidak dipisah, kalau dipisah artinya berbeda,” jelasnya.


Dikritik Burhanuddin Mohammad Diah (B.M. Diah)


B.M. Diah merupakan seorang jurnalis dan pemimpin pergerakan pemuda pada masa revolusi Indonesia. Ia dikenal sebagai insan pers dan pemimpin redaksi surat kabar yang tergolong tua di Indonesia bernama Merdeka.


Ahmad Tohari mengungkapkan bahwa ia pernah mengalami kritik oleh B.M. Diah yang membuatnya merasa malu. Kritik tersebut terkait dengan satu kata dalam tulisannya.


Di Harian Merdeka, ia menulis bermacam-macam berita, salah satunya tentang penyakit. Ketika menulis tentang penyakit kaki gajah, ia menuliskannya dalam kurung elephantesis.


“Saya dipanggil ke kamar kerjanya, redaktur kamu ya redaktur, ngerti nggak kamu salah, ternyata yang bener itu elephantiasis. Marahnya segitu, pemarah tetapi baik orangnya,” kenangnya.


Kritik novel Ronggeng Dukuh Paruk dari Floribertus Rahardi (F. Rahardi)


F. Rahardi selain sebagai seorang wartawan dan penulis, ia juga merupakan seorang kritikus sastra. Ia menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Trubus.


Ia mengungkapkan bahwa kesan utama yang segera timbul sehabis baca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (Gramedia, Jakarta 1982) adalah adanya sebuah latar (setting) yang sangat bagus. 


Latar itu terbentuk suasana alam perdesaan dengan lingkungan flora serta faunanya, dan Ahmad Tohari berhasil melukiskannya dengan bahasa yang bagus dan menarik.


Rahardi menjelaskan bahwa kesan yang begitu mendalam terhadap latar tersebut juga lebih diperkuat lagi oleh tidak terlalu luar biasanya unsur-unsur lain seperti kerangka cerita, tema, alur, karakter tokoh dan lain-lain.


“Komentar terhadap latar yang cukup bagus tersebut ternyata sangat dominan pada setiap pembicaraan terhadap Ronggeng Dukuh Paruk, baik dalam pembicaraan lisan maupun tertulis. Sayang sekali, bahwa ternyata dalam latar yang kuat dan bagus tersebut tersembunyi cacat yang sangat fatal, berupa kesalahan, penamatan yang kurang cermat maupun keteledoran,” jelas Rahardi dalam blog pribadinya.


Perihal kritik dari Rahardi jika novel Ronggeng Dukuh Paruk banyak yang salah, Ahmad Tohari mengakuinya. Ia melarang Gramedia untuk memperbaikinya. Menurutnya, biar orang-orang tahu kalau dirinya salah. selain itu yang salah juga bukan tentang tema alur utama.


“Yang membuat saya tersinggung itu kan Rahardi itu mengatakan saya ini kepengin cepat melejit, jadi menulisnya serampangan, itu yang membuat saya tersinggung. Ternyata ketika dia mengkritik saya, dia juga salah, ya sudah sama-sama salah, lewat majalah, tetapi dibukukan kok oleh Mahasiswa UI, skripsi tentang masalah itu. Kesalahan saya dan perdebatan Rahardi,” ujarnya.


“Rahardi kan Redaktur Majalah Trubus, ada lima atau berapa kesalahan saya, Gramedia tanya ini bagaimana? Ya biarin saja,” imbuhnya.


Gus Dur dan novel Kubah

Novel Kubah (1980) menjadi awal mula perkenalan Ahmad Tohari dengan Gus Dur. Pada 1980, novel Kubah mendapat penghargaan sastra nasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gus Dur yang mendengar berita itu pun lalu membaca novel Kubah.


Gus Dur mengatakan bahwa buku ini penting, karena menyangkut rekonsiliasi antara orang-orang NU di Jawa Timur dengan orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). 


Di masa lalu, orang-orang PKI melakukan pembantaian terhadap orang-orang NU di Jawa Timur, khususnya di Madiun. Selanjutnya pada 1965, orang-orang NU dilaporkan melakukan pembantaian terhadap orang-orang PKI.


“Tetapi cara menulisnya kurang bagus. Menurut Gus Dur, buku ini tanpa hal-hal yang menegangkan, kalau grafiknya itu datar,” ujar Ahmad Tohari.


Ahmad Tohari menyatakan bahwa novel Kubah diilhami oleh pengalaman seseorang yang pulang dari Pulau Buru pada 1977. Orang tersebut dikembalikan dari Pulau Buru dan masih tinggal di satu RW yang sama dengan dirinya.


Sayangnya, orang tersebut sudah meninggal, dan ia mengungkapkan bahwa masyarakat menolak orang tersebut. Dirinya pernah bertemu dengan orang itu satu kali di balai desa.


“Saya tawari, kalau nggak ada yang mau ngobrol sama anda, datang ke rumah saya. Jadi dia sering datang ke rumah saya, ngobrol, akhirnya jadi Kubah. Tetapi dia nggak tahu kisahnya ditulis jadi Kubah,” paparnya.


Tidak bisa menulis berangkat dari kekosongan


Ahmad Tohari mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa menulis sastra berangkat dari kekosongan. Sebagai contoh ia menyebut novel Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, di mana ia terkejut melihat pola tingkah laku bangsanya sendiri, terutama tentara terhadap PKI.


“Saya pun menonton beberapa kali penembakan, eksekusi di depan umum, di kuburan umum dipertontonkan, diarak dulu. Bangsaku sableng, orang-orang kita sableng, karena orang-orang itu bersorak-sorak ketika yang ditembak itu jatuh, orang-orang bersorak. Saya juga bingung, kok jadi begini bangsaku,” ujarnya.


Ia menjelaskan bahwa orang itu bernama Nawar dan secara resmi tercatat sebagai anggota Barisan Tani Indonesia atau BTI (Underbouw PKI). Karena identitasnya yang tercatat, terkait dengan BTI, ia diambil, diciduk, dan dibawa ke kantor polisi karena keterlibatannya dengan PKI.


Pada hari pembunuhan itu, Nawar dibawa ke balai desa, dan dari balai desa, diiring ke kuburan dengan menggunakan petromak. Pada saat perjalanan itu, orang-orang menempeleng dan memukul Nawar di jalan.


“Nah, saat itu saya mulai berpikir ulang, siapa kita itu di tahun 1965, sedangkan Ronggeng Dukuh Paruk ditulis tahun 1974, tahun 1981 selesai. Jadi mengendapnya belasan tahun di kepala saya, mempertanyakan kita ini siapa? Agama kita ini apa? Banyak pertanyaan, yang orang lain tidak mungkin gelisah seperti itu,” jelasnya.
 

Ia mengungkapkan bahwa orang-orang sering bertanya terkait dengan Srintil di seminar. 


“Bapak saya kan kiai banget, Ketua NU Anak Cabang Jatilawang, kiai banget, kok anaknya nulis soal ronggeng, banyak sekali yang bertanya seperti itu di seminar-seminar,” ujarnya.


Ahmad Tohari menceritakan bahwa pada awalnya, ia enggan memberikan jawaban. Hal ini berulang kali terjadi, bahkan hingga seminar yang keempat baru ia bersedia memberikan jawaban.


Jawabannya disampaikan dalam bentuk cerita, di mana ia mengungkapkan bahwa ia berasal dari keluarga santri NU. Santri NU dikenal suka berkumpul, mengadakan kenduri, dan makan berkat.


Dalam setiap kenduri, mereka selalu memulainya dengan tahlilan. Dalam tahlilan, tidak pernah terlewatkan untuk membacakan ayat kursi, yang antara lain menyatakan bahwa segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah.


“Jadi artinya milik Allah ada yang baik ada yang buruk. Itu kan relatif, orang itu baik itu menurut kamu. Saya menulis itu sebagai sikap totalitas saya, bagaimana menyikapinya itu urusan lain,” imbuhnya.


Tokoh Bakar dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk terdapat tokoh bernama Bakar, seorang anggota PKI, yang dalam film Sang Penari diperankan oleh Lukman Sardi. Ternyata Bakar itu tokoh nyata dan merupakan anggota Konstituante Banyumas. Saat itu, anggota Konstituante Banyumas ada tiga orang yakni Haji Bakar, Kiai Saifudin Zuhri, Kiai Muslih.


“Tokoh nyata itu, malah lucunya gini, saya pernah sedang berada di rumah saudara di Jakarta, di Kampung Pedurenan, Kampung Pedurenan itu sebelah selatannya Pasar Rumput. Itu ada rapat PKI, ternyata yang bicara itu Abu Bakar, yang saya ingat pada saat itu pada sambutan pakai Al-Fatihah," ujarnya.

 

"Alhamdulillah segala puji bagi Allah, ar-rahmani rahim yang maha pengasih lagi maha penyayang, sampai ke ihdinashirotol mustaqim, ia terjemahkan tunjukkanlah kami jalan yang lurus, itu komunis saudara-saudara. Padahal itu kampung Betawi nggak ada orang komunisnya," pungkas Ahmad Tohari.