Pustaka

Al-Nagham, Kitab Syair-Syair Kebangsaan Karya Ulama Nusantara

Kam, 21 Oktober 2021 | 23:00 WIB

Al-Nagham, Kitab Syair-Syair Kebangsaan Karya Ulama Nusantara

Kitab Al-Nagham. (Foto: dok. istimewa)

Dalam khazanah keilmuan pesantren, kitab memiliki posisi penting untuk melestarikan ajaran-ajaran Islam. Ajaran Islam di sini bukan saja yang berkaitan dengan kurikulum keagamaan pesantren pada umumnya, tetapi juga ilmu-ilmu umum. Seorang Antropolog Martin van Bruninessen mencatat setidaknya sebanyak 900 judul kitab karya ulama Nusantara digunakan sebagai buku pesantren.


Dalam tradisi pesantren, sebagaimana dikatakan Ahmad Baso dalam seri kedua buku Pesantren Studies, kitab tidak sebatas benda mati yang dipajang sebagai koleksi museum, tapi untuk dibaca, dihayati, dan diamalkan.


Tidak jarang pula, kitab-kitab ulama Nusantara memuat nilai-nilai kebangsaan, baik secara teks maupun konteks. Salah satu kitab yang secara tekstual menyampaikan nilai-nilai kebangsaan adalah kitab berjudul Al-Nagham, buah karya yang berisi syair-syair kebangsaan oleh KH Ahyauddin, seorang ulama kelahiran Seribandung, Ogan Ilir, Sumatera Selatan.


Al-Nagham bisa diakatakan kitab yang langka karena selain mengajarkan ajaran-ajaran Islam, juga memuat niali-nilai nasionalisme dan kebangsaan, apalagi disampaikan dalam bentuk syair yang digubah oleh penulisnya sendiri. Kitab yang memuat beberapa lagu kebangsaan ini ditulis dengan aksara Arab berbahasa Arab dan Indonesia.


Profil KH Ahyauddin

KH Ahyauddin lahir pada tanggal 7 Februari 1941 di desa Seribandung, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Ia merupakan anak kedua dari delapan bersaudara dari pasangan KH Anwar dan istri ketiganya Hj. Tidah. KH Ahyauddin dibesarkan dan mengenyam pendidikan di pesantren milik ayahnya, Nurul Islam selama tujuh tahun: lima tahun di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan dua tahun di Tsanawiyah (MTs). Tamat Tsanawiyah, KH Ahyauddin mengabdi tersebut.


Setelah sepuluh tahun mengabdi di Pesantren Nurul Islam, ia melanjutkan pendidikan ke Pesantren Sa’adaat al-Darain Tahtul Yaman yang terletak di Kota Jambi. Di sana ia berguru kepada KH Ahmad Jaddawi Syarifuddin selama dua tahun dengan metode halaqah. Selesai di Jambi, ia kembali mengabdi ke Pesantren Nurul Islam sampai akhir hayatnya.


Selain berguru pada ayahnya dan KH Ahmad Jaddawi Syarifuddin, ia juga memiliki beberapa guru seperti KH Nachrawi Majid, KH Abdurrahman Idrus, Syekh Wahab Muridillah Aceh, KH Jahri Tanjung Batu, KH Mulkam, Ustadz Syarnubi dan Utsdaz Abdurrahim Hasan di Pesantren Nurul Islam. Ia juga memperdalam ilmu mantiq dengan KH Daud Al-Hafidz di Jambi.


Pada tahun 1967, KH Ahyauddin menikah dengan Hj. Suryati yang tidak lain adalah muridnya sendiri. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai tujuh orang anak. Semangat menuntut ilmu tidak lantas surut setelah ia menikah, KH Ahyauddin melanjutkan studinya ke perguruan tinggi di Nurul Islam yang bekerjasama dengan IAIN Raden Fatah Palembang dengan fokus pada kajian Syari’ah.


KH Ahyauddin juga aktif berorganisasi. Selain itu, ia juga pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten OKI pada tahun 1987 dan menjabat sebagai Sekretaris Komisi B DPRD Kabupaten OKI pada tahun 1990. Selain aktif di dunia politik, ia juga pernah menjadi Katua Persatuan Tarbiyah Islamiyyah (Perti) wilayah OKI. Meski memiliki banyak kesibukan, KH Ahyauddin tidak pernah melupakan tugasnya sebagai pengajar di pesantren.


Pada tangal 23 Oktober 2009 di usianya yang ke 68 tahun, KH Ahyauddin menghebuskan napas terakhir dan dimakamkan di area pemakaman keluarga di samping masijd Pesantren Nurul Islam. Selama hidupnya, ia hanya menulis dua kitab, yaitu Al-Nagham (1963) dan Al-Mabadi (1964).


Deskripsi kitab Al-Nagham

Kitab ini berjudul Al-Nagham dan selesai ditulis pada 10 Juli 1963 dengan tebal 40 halaman, dicetak dan diterbitkan di Padang Panjang, Sumatera Selatan. Kitab berukuran 14 x 20 cm ini ditulis dengan aksara Arab yang berbahasa Arab dan Indonesia. 


Kitab ini berisi 50 syair; 23 syair berisi tentang ajaran-ajaran Islam, 5 syair lagu yang dialihbahasakan dari Indonesia ke aksara Arab, dan 22 syair lainnya merupakan gubahan penulisnya sendiri. 22 Syair tersebut berisi antara lain syair Mars Pesantren, Oh Tuhanku, Sendir Negara, Sangsaka, Pagi Memancar Matahari, Nurul Islam Putra, Bendera Indonesia, dan Bangun Bergerak. 


Penulisan kitab ini dilatarbelakangi atas respons KH Ahyauddin terhadap kemajuan dunia lagu-lagu pada saat itu. Ia terdorong untuk menyusun kitab yang berisi seni suara (lagu-lagu) dan diajarkan kepada santri-santri Madrasah Nurul Islam Seribandung. Dengan demikian, Nurul Islam tidak saja mengajarkan nilai-nilia keislaman kepada para santri, tetapi juga seni dan semangat nasioalisme.


Berdasarkan laporan Zulkarnian Yani dalam Jurnal Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, naskah asli kitab ini sudah tidak ada lagi, bahkan pihak keluarga KH Ahyauddin tidak menyimpannya. Cetakan kitab aslinya justru hanya ada di tangan salah satu guru Madrasah Aliyah Nurul Islam yang bernama Ibu Armanusa Huda. 


Nilai-nilai kebangsaan kitab Al-Nagham

Sebagaiman saya singgung sebelumnya, kitab ini memuat syair-sair lagu nasional maupun lagu daerah yang sarat dengan nilai dan pesan kebangsaan. Setidaknya terdapat sebelas lagu kebangsaan yang tertulis, di antaranya;  Indonesia Raya, Satu Nusa Satu Bangsa, Indonesia Pandanku, Sangsaka, Indonesia Mutiara, Indonesia Makmur, Berkibarlah Benderaku, Dari Barat Sampai ke Timur, Sendi Negara, Bendera Indonesia, dan Bangun Bergerak.


Melihat sederet lagu-lagu nasionalisme di atas, mungkin kita merasa asing dengan beberapa judul, karena memang syair-syair itu diciptakan oleh KH Ahyauddin sendiri. Hal ini memperkuat komitmen kebangsaan yang dituangkan dalam karyanya itu, karena penulis tidak saja mengutip lagu-lagu kebangsaan orang lain, melainkan juga lagu gubahannya sendiri.


Sejak tahun 1963 sampai 2009 sebelum KH Ahyauddin wafat, kitab ini menjadi salah satu pelajaran di Pesantren Nurul Islam. Waktu yang cukup lama tu semakin menunjukkan betapa KH Ahyauddin ingin nilai-nilai kebangsaan tertatam kokoh di lingkungan pesantren dan para santri. 


Berrikut salah satu kutipan syair lagu gubahan KH Ahyauddin yang berdujul Sendi Negara:


سندى نكارا
سندى نكارا رفوبليك ايندونيسيا
فنجا سيلا يغ جادي سندي نكارا
فرتام كتوهنن مها اسا
فرى كمانوسيأن يغ كدوا
كتيكا فرساتوان
كامفت دان كليماء
كدولاتن رأية :أدسلان سوسيال
ايتله سندى يغ ملكسناكن
نكرا امان مأمور سنتوسا


Sendi Negara


Sandi Negara Republik Indonesia

Pancasila yang jadi sendi negara

Pertama ketuhanan Maha Esa

Peri kemanusiaan yang kedua

Ketiga persatuan

Keempat dan kelima

Kedaulatan rakyat

Keadilan sosial

Itulah sendi yang melaksanakan

Negara aman makmur sentosa


Melaui lagu  ini, KH Ahyauddin ingin menyampaikan dasar-dasar negara kepada para santri yang juga termaktub dalam Pancasila. Kita tahu, Panca Sila merupakan dasar negara Republik Indonesia.

 

Dengan menjadikan Al-Nagham sebagai pelajaran wajib, secara tidak langsung KH Ahyauddin telah mengokohkan nilai-nilai nasionalisme kepada para santri. Sebuah komitmen kebangsaan yang sangat layak diapresiasi.


Sumber:


Baso, Ahmad. 2012. Pesantren Studies. Buku Kedua: Kosmopolitanisme Peadaban Kaum Santri di Masa Kolonial. Juz Peratama: Pesantren, Jarungan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan Kebangsaan. Tangerang Selatan. Pustaka Afid.


Bruniessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Badung: Mizan.


Zulkarnain Yani, 2018. Semangat Kebangsaan dalam Kitab Al-Nagham Karya KH. Ahyauddin ibn KH Anwar Ibn Haji Kumpul Seribandung. Jurnal PENAMAS. 31 (2).


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon, Mahasantri Ma’had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta