Pesantren

Pesantren Tanbihul Ghofilin Banjarnegara, Murni Diniyah Salafiyah

Rab, 2 Oktober 2013 | 00:01 WIB

Dahulu, sekitar awal abad ke-18, ada dua ulama besar dari Yogyakarta yang bermaksud mengembangkan dunia Islam di wilayah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, yakni Mbah Salim dan Mbah Saliyem. Mereka mengembangkan potensi rakyat di Banjarnegara dengan cara “bertapa”. Tapa mrihatini anak-putu. Ya, Mbah Salim melakukan laku prihatin agar anak-cucunya menjadi priyayi atau pegawai. Sedangkan Mbah Saliyem, mudah-mudahan anak-cucunya menjadi kiai.

Perkawinan Mbah Salim dan Mbah Saliyem ini menurunkan putra, Mbah Basor. Mbah Basor adalah tuan tanah di sekitar pondok ini. “Barang siapa mau menempati tanah saya dan mau shalat berjamaah di langgar saya ini dipersilakan menempati tanah tanpa harus membeli atau meminjam. Dengan satu syarat, harus shalat berjamaah di sini,” demikian pesannya.

Dari generasi kedua Mbah Basor ini muncul enam bersaudara, yakni KH Basyuni, KH Mohammad Hasan, KH Mohammad Soleh, KH Abdul Jalil, KH Jamil, dan KH Abdul Kholik (Cirebon), yang semuanya dimasukkan ke pesantren.

Mereka bercita-cita ingin mengabdikan diri pada agama melalui jalur pendidikan dan dakwah. Walau dengan modal sederhana, dirintislah pendirian pesantren yang dimotori oleh KH Mohammad Hasan.

Tahun 1954, KH Mohammad Hasan pulang dari pondok di Tuban, yakni Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin (Tanggir) Singgahan, setelah berguru kepada KH Muslih atau KH Soim. Ia kemudian mendirikan bangunan kecil kira-kira empat kamar, berukuran tujuh kali 12 meter, untuk tempat tinggal anak-anaknya, juga untuk mengaji dan belajar kitab. Ini menarik minat anak-anak di sekitarnya.

Seiring berkembangnya waktu, karena masyarakat masih minim pengetahuan agama Islam dan Banjarnegara pada waktu itu terkenal sebagai daerah abangan, KH Mohammad Hasan mulai memberikan pelajaran dasar keislaman kepada masyarakat. Dari bagaimana cara berwudhu’, shalat, dan sebagainya.

“Di pondok ini juga dilakukan pengobatan gangguan jiwa, karena banyak masyarakat yang mengalami gangguan jiwa. Kebetulan sejak dari pesantren bapak saya mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan penyakit gila, dan melalui pengobatan itu banyak yang sembuh,” tutur KH Mohammad Chamzah Hasan, putra kedua KH Mohammad Hasan.

KH Mohammad Hasan, yang lahir pada 1 Januari 1932 dan wafat pada hari Selasa Legi 25 Desember 2007 pada usia 75 tahun, meninggalkan tujuh putra-putri. Yakni Siti Chamdah, KH Mohammad Chamzah Hasan, KH Khayatul Maki, Siti Inayah, Gus Hakim An-Naishaburi, Lc., Mustain, dan Zulaikha.

“Setelah sembuh, pasien ingin berbakti kepada Allah SWT. Mereka telah diingatkan, karena sebelumnya lupa. Lalu muncullah kalimat ‘Tanbihul Ghofilin’, yang artinya mengingatkan orang-orang yang lupa. Kemudian kedua kata ini dijadikan sebagai nama pondok pesantren,” ujarnya lagi.

Seiring perkembangan waktu pada saat geger 1965, banyak orang yang berlindung di Pesantren Tanbihul Ghofilin sambil mempelajari ilmu hikmah. Mulailah nama pesantren ini dikenal oleh berbagai kalangan dan santri mulai berduyun-duyun datang. Para santri pria dan wanita ditempatkan di asrama.

Murni Diniyah Salafiyah

”Pesantren ini metodenya murni diniyah salafiyah. Belum merambah ke dunia lain. Pernah dicoba, tapi tidak sukses,” kata KH Mohammad Chamzah Hasan.

Menurut Kiai Chamzah, tantangan dalam mengelola pesantren itu ada dua, internal dan eksternal. Tantangan internal itu spesifik sekali, berbeda dengan pendidikan umum. Pendidikan umum jam 8 hingga 12 siang. Sedangkan di pesantren, 24 jam pengasuh dan santri berinteraksi. Faktor keteladanan sangat penting dalam membentuk kepribadian santri sehingga nanti setelah selesai mereka sudah mempunyai fundamen yang kukuh.

Sedangkan tantangan eksternal adalah pengaruh lingkungan dan teknologi yang semakin maju. Budaya berbagai isme akan menjadi ujian ketahanan santri, apakah mereka komit dengan Islam atau tidak. Sekarang ada 300-an santri yang bermukim di Pesantren Tanbihul Ghofilin.

Untuk pengembangan pendidikan pesantren, kini pesantren Tanbihul Ghofilien telah dilengkapi pendidikan formal dari tingkat taman kanak-kanak, ibdtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah dengan kepala madrasah pesantren yakni KH Hakim An-Naishaburi, Lc.

Adapun acuan kitab kuning untuk para santri pelajaran fiqh menggunakan Safinatunaja, Fathul Qarib al-Mujib, Fathul Mu’in, Minhjul Qawim, Tuhfatut Thulab, al-Bajuri, al-Mahali. Kitab acuan di bidang ushul fiqh menggunakan al-Waraqat; sementara kaidah fiq, Faroidul Bahiyah.

Santri-santri juga dibekali dengan pelajaran nahwu dengan acuan kitab an-Nahwul Wadlih, al-Ajurumiyah, al-Imrithy, qowaidul i’rob, Alfiyah ibnu Malik. Sedangkan ilmu shorof kitab yang diajarkan yakni Amtsilatut Tasrifiyah, Qowaidul I’lal, al-lughowiy, al-maufud. Dalam pesantren ini acuan kitab al-Qur’an adalah tafsir Jalalin dan tafsir Ayat al-Ahkam. Di bidang hadits acuan kitabnya adalah al-Arba’in Nawawi dan Muhtholahul Hadist.

Di pesantren ini setiap santri juga diajarkan pelajaran bahasa arab (Lughatul Arabiyah Linnasyi-in), tajwid (Syifaul Jinan dan Tuhfatu Athfal), tahudi (Aqidatul Awam dan Tanbihul Ghofilin), sastra (Husnus Siyaghoh dan Jauharul Maknun) dan untuk ilmu kalam menggunakan Idhohul Mubham.

Pengajian di lingkungan pesantren dimulai dari pengajian hari Ahad. Tema dan isi pengajian ditawarkan dan diputuskan pada hari Senin atau hari berikutnya oleh kiai-kiai kampung. Demikian juga dengan pengajian pada hari Rabu, temanya ditawarkan dan diputuskan pada hari Kamis. Sedangkan kegiatan hari Jum’at, pemimpin pesantren berkeliling ke kampung-kampung untuk mengamati kondisi kampung, terkait dengan aqidah dan syari’ah.

Minggu Kliwon merupakan pengajian selapanan, dan jumlah pengunjung mencapai puluhan ribu orang. Saat ini sedang diajarkan Kitab Hikam, karya Ibnu Athoilah.

Setiap malam Rabu ada taqirran muhafadzah, pembacaan Al-Quran. Dan malam Jum’at diadakan pembacaan surah Ya-Sin dan maulid Barzanji.

Sekalipun mempertahankan tradisi pendidikan salafiyah murni, diharapkan setiap santri yang belajar di Pesantren Tanbihul Ghofilin menjadi santri yang “persegi”, kalau dilihat dari sisi mana saja ada bentuknya. Artinya, “Bisa menempatkan diri di mana saja. Mengaji bisa, bermasyarakat bisa, berpemerintahan juga bisa. Tapi yang paling penting sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW,” tutur Kiai Chamzah. (Aji Setiawan/Mahbib)

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua