Pesantren

Pesantren Raudlatut Tholibin, Awalnya Didirikan untuk Mengusir Penjajah

Sel, 9 Juli 2013 | 03:30 WIB

Probolinggo, NU Online
Tidak banyak pesantren di Kota Probolinggo. Dari belasan yang ada, Pesantren Raudlatut Tholibin merupakan salah satu yang tertua. Ihwal pertama pendirian pesantren ini pun untuk persatuan dan kesatuan mengusir penjajah.<>

Kompleks Pesantren Raudlatut Tholibin mudah diakses dari jalan provinsi yang menghubungkan Probolinggo-Surabaya. Dari perempatan Laweyan yang mempertemukan Jln. Raya Bromo dengan Jln. Prof. Hamka, pengunjung masih harus ke arah timur sekitar tiga kilometer. Lalu ada jalan kecil menuju ke utara. Penduduk di sekitar wilayah itu, akan dengan senang hati menunjukkan jalan menuju pesantren di Kecamatan Kademangan ini.

Sesampainya di kompleks pesantren, suasana lengang menyambut tamu. Hal ini tidak mengherankan, sebab saat ini musim liburan. Kontributor NU Online pun langsung meminta izin bertemu pengasuhnya KH. Abdul Mujib Abdullah.

Kepada NU Online, KH. Abdul Mujib Abdullah menceritakan awal mula pendirian pesantren yang kini dihuni 700 santri ini.

“Pesantren Raudlatut Tholibin didirikan oleh Kiai Pakis bin Alawi bin Samlawi bin Alawi bin Abdurrahman bin Pangeran Kidul bin Sunan Giri. Saat itu didirikan karena masyarakat sekitar masih banyak yang melakukan kemungkaran. Juga untuk menggalang persatuan dan kesatuan untuk mengusir penjajah,” ungkap Kiai Mujib.

Menurut ayah dari anggota DPR RI Malik Haramain ini, Kiai Pakis pendiri pesantren ini wafat tahun 1875 M/1296 H yang selanjutnya dianggap sebagai bukti terakurat berdirinya lembaga ini.

Sepeninggal Kiai Pakis, pengasuhannya dilanjutkan oleh Kiai Anom yang merupakan menantu Kiai Pakis. Dan dilanjutkan oleh Kiai Mushohib yang dikenal dengan sebutan KH. Gedangan yang merupakan menantu Kiai Anom.

Pada saat diasuh oleh Kiai Gedangan, banyak santri yang menginap. Karena itulah kemudian didirikan beberapa pondokan yang saat ini dikenal dengan nama pondok Kareng atau pondok Gedangan.

Pesantren ini menurut Kiai Mujib telah banyak melahirkan kiai atau ulama besar seperti Kiai Anom asal Lumajang, Kiai Syarifuddin Pengasuh Pesantren Wonorejo Lumajang, Kiai Randu Mangu Jrebeng Lor dan KH.  Abdul Hamid di Jl. KH. Abdul Hamid Probolinggo.

Setelah Kiai Gedangan wafat, pengasuhannya dilanjutkan ke putranya yakni KH. Fadlol yang juga dibantu oleh KH. Ahsan Baqir. Tidak lama kemudian diserahkan kepada keponakannya yaitu KH. Bishri yang wafat pada tahun 1947. Kemudian kepemimpinan pesantren tersebut dilanjutkan oleh KH. Shodiq yang merupakan suami dari adik Kiai Bishri. Namun tidak lama kemudian, Kiai Shodiq pindah tempat kemudian dilanjutkan oleh KH. Hamid putra KH. Ahsan Baqir.

Setelah itu, pengasuhannya diserahkan kepada KH. Zahed menantu dari KH. Ahsan Baqir yang wafat pada tahun 1961. Namun setelah beliau wafat, akhirnya pesantren tersebut vakum dan tidak ada aktivitas seperti pesantren kota mati.

Baru pada tahun 1970, KH. Fadlol meminta KH. Abdul Mujib Abdullah mengurusi Pesantren Raudlatut Tholibin hingga sekarang. “Saya itu yang nyuruh untuk menjadi pengasuh pesantren ini adalah KH. Fadlol,” ungkap lelaki yang sudah berusia 77 tahun ini.

Menurut Kiai Mujib, sekitar tahun 1970-an ia hanya mempunyai satu santri. Selama dua tahun mengajarkan pelajaran dari kitab kuning kepada santri tersebut. Ternyata santri itu langsung hafal dan pintar. Hingga satu santri tersebut langsung menjadi pembantunya untuk mengajar.

Akhirnya pada tahun 1985 dengan resmi seluruh unit yang dikelola pesantren bernaung di bawah Yayasan Pesantren Raudlatut Tholibin. “Padahal pendirian MI dan MTs sudah bertahun-tahun sebelumnya,” jelasnya.

Hingga saat ini, setidaknya ada 300-an santri putra yang mondok di pesantren tersebut. Sementara untuk santri putri lebih banyak yakni sekitar 400-an. Ditambah dengan jumlah murid di setiap lembaga pendidikan yang dimilikinya, jumlahnya bisa mencapai 1.100 santri. “Santri kami berasal dari seantero Provinsi Jawa Timur. Seperti Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Surabaya, Sidoarjo dan Madura,” pungkasnya.


Redaktur    : A. Khoirul Anam
Kontributor: Syamsul Akbar

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua