Pesantren

Pesantren Nuris Terapkan Metode Al-Mujahadah Billati Hiya Ahsan (2-Habis)

NU Online  ·  Rabu, 13 Juli 2016 | 03:44 WIB

Pesantren Nuris Terapkan Metode Al-Mujahadah Billati Hiya Ahsan (2-Habis)

Santri Pesantren Nuris Jember.

Jember, NU Online
Pondok pesantren berbasis NU cukup banyak. Namun yang mempunyai desain khusus penggodokan kader-kader Aswaja, mungkin bisa dihitung dengan jari. Wadah persemaian ajaran Aswaja secara intensif salah satunya adalah Pesantren Nuris (Nurul Islam) Antirogo, Jember, Jawa Timur. 

Kurikulum pesantren ini di semua lembaga formalnya sesungguhnya biasa-biasa saja. Kitab dan buku karya Pengasuh Pesantren Nuris KH Muyiddin Abdusshomad dan sejumlah kitab kuning berbasis Aswaja menjadi materi pokok sebagai muatan lokal di semua level sekolah formal Nuris. Yang tidak biasa adalah metodenya. 

Dalam mencetak kader Aswaja, Nuris menerapkan metode Al-Mujahadah Billati Hiya Ahsan. Metode ini diadopsi dari cara para ulama Ahlussunnah wal Jamaah dalam menghadapi dan memberangus paham-paham sesat di abad pertengahan seperti kaum Zindiq, Mulhidin, Jabariyah, Muktazilah dan sebagainya.

Namun Kiai Muhyiddin menyadari bahwa kader Aswaja bukanlah sebuah produk yang hampa dari adab dan sopan santun. Kaderisasi Aswaja harus berjalan seiring dengan pemantapan di bidang akhlaq, ibadah dan sopan santun. Sebab, jangan sampai mereka hanya paham, bahkan jago debat soal Aswaja, tapi perilakunya tidak mencerminkan sebagai ahli ibadah. 

"Makanya, anak-anak sebelum masuk periode kaderisasi Aswaja, mereka harus dididik dulu soal bagaimana beribadah yang baik, hormat pada orang tua dan sebagainya," ujar Ra Robith Qashidi, Putra Kiai Muhyiddin.

Langkah pertama dari metode tersebut adalah mereka (para santri) dikenalkan pada paham-paham sesat, khususnya yang masih eksis dan beberapa paham klasik yang bermetamorfosis seperti Neo-Khawarij (radikal dan teroris), Neo-Muktazilah (liberal) dan Neo-Filosof Atheis. Setelah segmen pengenalan itu dilalui, mereka diajari tentang The Secret Strategy of Mutakallimin Ahlissunnah wal Jamaah in Case The Batlle with Atheis, Muktazilah, Syiah, kaum Zindiq dan Mulhidin.

Mereka juga diajarkan tentang perbedaan hujjah dan syubhah. Hujjah adalah argumentasi yang berdasarkan dalil naqli dan aqli. Sedangkan syubhah adalah sesuatu yang menyerupai argumentasi tapi sebenarnya hampa alias omong kosong. Syubhah inilah yang sering dipakai oleh orang-orang Syiah, liberal, Islam transnasional, wahabi dan sebagainya. "Kader Aswaja Nuris harus tahu mana yang hujjah dan mana yang syubhah," lanjut Ra Robith.

Perangkat dari itu semua, Nuris membentuk satu kelas nonformal, yaitu "Kelas Cerdas Aswaja". Murid kelas ini direkrut dari anak-anak SMK, SMA dan SMP di lingkugan Nuris. Sedangkan MTs dan MA Unggulan secara otomatis memang difokuskan untuk kajian kitab kuning dan pendalaman Aswaja. 

Mereka dilatih, dididik dan dipersiapkan untuk paham seluk-beluk Aswaja sekaligus pengamalan sehari-hari. Mereka diajarkan berani berdialog dengan siapapun yang coba-coba menggerus paham Aswaja.

Tidak hanya sampai di situ, di berbagai kesempatan, Nuris juga kerap menggelar "testimoni" mengenai kemampuan dialogis mereka. Testimoni tersebut acapkali di-floor-kan. Mereka pun bisa menjawab dengan lancar dan akurat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari hadirin.

Apa yang dilakukan Nuris ini tentu sebuah langkah brilian. Debat bukan harapan, unggul bukan tujuan. Menang juga bukan kebanggaan. Tapi kaderisasi Aswaja adalah sebuah kebutuhan di tengah melubernya aliran sesat yang mengancam. NU dengan Aswajanya hanya ingin mweujudkan Islam Rahmatal lil ‘Alamin. (Aryudi A. Razaq/Fathoni)

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua