Pesantren SERI DIKOTOMI PENDIDIKAN

Pesantren Darul Ulum Jombang 1960-1980an

NU Online  ·  Jumat, 26 Desember 2014 | 16:01 WIB

Pondok Pesantren Rejoso Jombang yang kemudian dikenal dengan Darul Ulum didirikan pada 1885 oleh seorang pemuda bernama Tamim Irsyad, murid Kiai Kholil Bangkalan. Bersama beberapa orang penggarap sawah, ia mendirikan langgar yang digunakannya untuk shalat berjamaah dan mengajar baca Al-Qur’an.<> Tamim sangat beruntung karena dibantu oleh seorang pemuda, muridnya dari Pare yang cukup bersemangat bernama Djuremi (setelah haji berganti nama menjadi Muhammad Kholil). Para satri yang datang terus bertambah. Sementara seorang putra Tamim, Romli yang kelak mengantikannya memimpin pesantren ini masih sedang asyik berpetualang: ke Bangkalan belajar kepada Kiai Kholil mengikuti jejak ayahnya, lalu ke Tebuireng belajar kepada Kiai Hasyim Asy’ari, lalu ke Mekkah selama setahun lamanya, kemudian kembali ke Tebuireng sampai ayahnya meninggal.

Sejak awal berdiri, pesantren Darul Ulum menerapkan sistem tradisional yang disebut dengan sorogan dan bandongan. Dalam sistem sorogan, satu persatu santri menghadap kepada kiai dan membaca dan menghafal pelajaran sebelumnya dan kiai memberikan pelajaran baru. Sistem ini lazim dipakai dalam pengajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an. Dalam sistem sorogan (sorog dalam bahasa Jawa berarti menghadap satu persatu) santri menyidorkan kitab ke kiai dan meminta diajarkan. Sementara bandongan atau bandungan atau ngebandungan berarti menyimak atau mendengarkan secara seksama. Sang kiai membacakan kitab, memaknai kata-perkata dan menjelaskan maksud kandungannya kepada para santri yang berkumpul di langgar. Sementara para santri mendengar dan menyimak, serta mencatat makna dan penjelasan dari kiai. Sistem bandongan juga disebut wetonan (dari kata wektu atau waktu) karena mengiringi waktu-waktu tertentu, misalnya sebelum atau sesuadah shalat atau di tanggal dan bulan tertentu.

Sistem klasikal mulai diterapkan di Pesantren Darul Ulum Jombang pada tahun 1940-an. Kiai Romli Tamim dibantu beberapa santri dari Tebuireng dan Kiai Dahlan Cholil sepulang mengembara dari Makkah, memilah para santri berdasarkan kemampuan membaca kitab kuning. Ada sifir awal (tingkat pertama) dan sifir tsani (tingkat kedua). Sifir awal diperuntukkan bagi mereka yang baru mulai belajar huruf hijaiyah dan baca Al-Quran. Sifir tsani merupakan tingkat lanjutan. Para santri pada tingkat ini mulai belajar fikih Taqrib, tauhid Aqidatul Awam, dan gramatikal Arab Jurumiyah-imrithy. Tahun 1949 mulai dibuka tingkat yang lebih tinggi muallimin (putra) dan muallimat (putri) yang msing-masing mempunyai dua tingkat: tingkat pertma dan tingkat atas. Perkembangan jumlah santri mengharuskan pesantren menambah bangunan-bangunan kelas yang kemudian disebut madrasah.

Perkembangan pesantren Darul Ulum memasuki masa paling penting ketika mulai mendirikan sekolah-sekolah umum yang kemudian mendapatkan legalitas formal dari pemerintah, baik melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atau Departemen Agama. Pada tahun 1960-an Kiai Mustain, putra Kiai Romli yang pulang dari Jerman memprakarsai pendirian sekolah umum di pesantren. Beberapa tahun sebelumnya para pengasuh inti meninggal dunia secara berurutan dalam waktu yang tidak lama: Kiai Dahlan Kholil meninggal pada 16 Maret 1958, sebulan setelah itu Kiai Romli juga meninggal dan Kiai Ma’shum Kholil pada 1961. Tahun 1964 oleh Kiai Musta’in Romli, Madrasah Muallimin Atas diubah menjadi Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan kurikulum standar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, setingkat SMA Negeri. Kemudian Muallimin Tingkat Pertama diubah menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan kurikulumnya pun disesuaikan.  Pada tahun 1965 didirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) di bawah wewenang Departemen Agama. Pada tahun itu pula Madrasah Muallimat (putri) tingkat pertama dan atas masing-masing diubah menjadi Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah yang memenuhi standar Kementerian Agama.

Kiai Musta’in Romli dibantu Kiai Bisri Kholil, Kiai Baidlawi Chalil dan Kiai As’ad Umar memprakarsai berdirinya universitas yang berlokasi di luar lingkungan pondok pesantren, tetapnya di jantung kota Jombang yang bernama Universitas Darul Ulum. Kiai Mus’tain mempunyai jaringan yang luas. Pendirian universitas juga dibantu oleh beberapa tokoh di Jawa Timur seperti Muhammad Syahrur dari malang dan Muhammad Wijono mantan gubernur Jawa Timur. Kiai sekaligus politisi ini juga cukup dekat dengan pemerintah Orde Baru dan Golkar. Pada acara peresmian Universitas Darul Ulum para pejabat negara hadir, antara lain Jenderal A.H. Nasution dari Jakarta. Fakultas pertama yang dbuka adalah Fakultas Hukum, lalu disusul Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, serta Fakultas Pertanian. Pada tahun 1969 baru berdiri fakultas agama dengan nama Fakultas Alim Ulama, yang kemudan diganti dengan Faultas Ushuluddin. Pada tahun berikutnya berdiri fakultas umum lagi, yakni Fakultas Pendidikan, disusul Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomi, Fakultas Psikologi dan Program Diploma-3.

Pengembangan dan perubahan terus terjadi di Pesantren Darul Ulum Jombang. Pengajaran kitab kuning dan materi-materi keislaman kurang mendapatkan perhatian. Pesantren tidak lagi berorientasi mencetak santri yang mahir membaca dan memahami kitab kuning. Pada tahun 1985, dalam acara silaturrahim alumni, sebagian alumni yang telah menjadi wali murid menyampaikan kritik bahwa pesantren Darul Ulum tidak lagi mencetak kiai Qur’an, tetapi kiai koran. Sebagian alumni merasa perlu memindahkan anak-anak mereka ke pesantren lain. Kiai Mustain Romli bahkan sempat agak jengkel mengatakan begini: “Kalau santriku ingin sekolah di luar Darul Ulum tidak saya ridloi. Pondok Pesantren Darul Ulum sudah lengkap jenjang pendidikannya, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tetapi saya akan memberi ridlo apabila santri saya bercita-cita mahir dalam bidang kitab kuning, akan saya antar ke podok pesantren lain, seperti Pesantren Ploso Kediri atau Pesantren Langitan Tuban atau kemana saja yang dituju.”

Beberapa pengasuh mengambil inisiatif menggalakkan lagi pengajian kitab kuning. Jadwal pengajian kitab (bandongan) dipasang di dinding lengkap dengan nama kitab dan ustadz pengajarnya. Kiai Hannan Ma’sum sebagai koordinator pondok pengatakan, jangan sampai sampai santri enggan mengaji kitab kuning karena mementingkan sekolah-sekolah umum. Pernah juga diterapkan madrasah diniyah atau kegiatan ekstrakurikuler, namun hanya berlangsung beberapa bulan. Lambat laun tidak ada santri yang mengikuti kegiatan medrasah diniyah ini. Materi agama dan kitab kuning hanya diterapkan secara tidak ketat dan itupun hanya setingkat dasar.

(A. Khoirul Anam. Dikutip dari Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren karangan Sukamto, LP3ES Jakarta: 1999)

*)Pembahasan sengaja dibatasi tahun 1960-1980an. Perubahan memang telah banyak terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Fragmen ini hanya memberikan gambaran mengenai respon pesantren pada periode itu terhadap berbagai kebijakan kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan kementerian Agama. Berbagai perubahan dan perkembangan mungkin mirip dengan yang terjadi di beberapa pesantren besar lainnya di pulau Jawa.

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua