Pesantren PESANTREN DARUL QUR'AN WAL IRSYAD

Cetak Santri Berwawasan Qur’ani

NU Online  ·  Rabu, 27 Maret 2013 | 05:02 WIB

Berawal dari hibah 13 kamar, pesantren ini kemudian berkembang dan bertekad mewujudkan generasi yang memiliki dasar pengetahuan keilmuan yang Qur’ani.<>

Selepas maghrib, dengung suara santri mendaras al-Qur’an, juga sebagian menghafal nadzam (bait syair) ‘Imrithi saling bersahutan, berpadu menggetarkan hati. Tiap maghrib, bahkan menjelang dan selepas subuh, aktivitas itu selalu hadir di masjid, ruang kelas, juga kamar dan bilik santri. Suasana seperti itu bisa ditemukan di Pondok Pesantren Darul Qur’an wal Irsyad (PP DQI), pesantren yang berdiri 13 tahun yang lalu di pinggir kota Wonosari, Gunungkidul. 

Pondok Pesantren Darul Qur’an wal Irsyad atau lazim dikenal dengan Ma’had Darul Qur’an wal Irsyad memang mengajarkan kepada santri untuk memperbanyak hafalan, baik al-Qur’an maupun disiplin ilmu yang lain, seperti hadits, nahwu-sharaf, dan fiqh. Menurut Drs. KH. A. Kharis Masduqi, M.Si., pengasuh Pondok Pesantren Darul Qur’an wal Irsyad, dengan hafalan tersebut santri akan lebih siap dalam mempelajari berbagai bidang keilmuan dan kelak ketika terjun di masyarakat untuk berdakwah akan sangat bermanfaat. 

Pesantren Darul Qur’an wal Irsyad (PP DQI) yang berlokasi di Jalan Nusantara 17, Ledoksari, Wonosari, Gunungkidul, berdiri pada 27 Agustus 1999 bertepatan dengan 15 Jumadil Awwal 1420. Pesantren ini bermula dari hibah 13 kamar kos-kosan dari H. Slamet, seorang pengusaha surat kabar di Gunungkidul untuk kemudian diserahkan kepada Drs. KH. Musta’id, seorang da’i dan aktivis NU Gunungkidul. Pada saat itu, KH. A. Kharis Masduqi baru kembali ke tanah air dari menimba ilmu di Ma’had Daruttauhid, Mekkah, asuhan Prof. Dr. Sayyed Muhammad Al-Maliki. Sebelumnya, beliau mendapatkan tawaran untuk merintis pesantren di Turi, Sleman dan di Gunungkidul. Dengan kemantapan hati dan pertimbangan kemaslahatan, maka beliau kembali ke tanah kelahiran, Gunungkidul, untuk membangun pesantren.

Atas restu dari mertua beliau, KH. Nawawi Abdul Aziz, pengasuh Pesantren An-Nur Ngrukem, Bantul, dan KH. Asyhari Marzuqi, pengasuh pesantren Nurul Ummah Kotagede, bersama tokoh yang lain yakni, KH. Habib Wardani dan KH Musta’id, maka didirikanlah Pesantren Darul Qur’an wal Irsyad (PP DQI). Pesantren tersebut pada pendiriannya menempati tanah seluas + 300 m. 

Awalnya, hanya ada tujuh santri yang menimba ilmu dan menetap di pesantren. Kesemuanya dari Getas, Playen, Gunungkidul. Saat itu, santri-santri tersebut difokuskan untuk menghafal al-Qur’an. Kepada santri awal, KH. A. Kharis Masduqi menekankan kedisiplinan dan kesetiaan kepada pesantren agar pesantren dapat berkembang dengan baik. “Kedisiplinan dan kesetiaan santri kepada pondok adalah salah satu kunci pesantren dapat berkembang,” tegas KH. A. Kharis Masduqi.

Saat ini, Pesantren Darul Qur’an wal Irsyad (PP DQI) telah memiliki tanah seluas + 3 ha, dan lembaga pendidikan yang ada sudah banyak berdiri, baik formal maupun non-formal. Pendidikan yang ada di pesantren meliputi madrasah diniyah, tahfidz, TPQ, majlis ta’lim dan lain-lain. Sementara pendidikan formal yang dikelola adalah PAUD & RA, MTs, MA, dan SMK. Selain itu, pesantren ini juga menyelenggarakan pengajian umum setiap malam Rabu yang diikuti oleh masyarakat Gunungkidul dari berbagai daerah. 

Menurut KH. A. Kharis Masduqi, dalam menjalankan pendidikan di pesantrennya itu, beliau menerapkan konsep yang diajarkan Abuya Muhammad Alawy Al-Maliki, yakni membangun karakter ilmu (intelektual), wirid (spiritual), dan khidmah (pengabdian). Tiga pesan itulah yang dipegangi oleh beliau dalam menjalankan pendidikan pesantren yang berkarakter. Selain itu, beliau juga memegangi pesan sang mertua, KH. Nawawi Abdul Aziz, yakni agar menjadi kiai atau pengasuh yang penuh, tidak setengah-setengah. Sebab, mengelola pesantren butuh totalitas.  

Pesantren Darul Qur’an wal Irsyad (PP DQI) saat ini telah berkembang pesat, memiliki 350 santri yang datang dari berbagai daerah di Indonesia dan sekitar 20 ustadz/ustadzah yang membantu di pengajaran di pesantren. Belum lagi jumlah 40-an guru yang mengajar di sekolah formal di bawah naungan Pesantren Darul Qur’an wal Irsyad (PP DQI). 

Pendidikan di pesantren ini cukup ketat dan padat. Dimulai sejak jam 2 dini hari untuk santri penghafal al-Qur’an maupun yang lainnya dilanjutkan pengajian ba’da shubuh. Selepas sekolah, sekitar jam 2, santri diwajibkan mengikuti madrasah diniyah sampai ashar, kemudian dilanjut hingga menjelang maghrib, dan dilanjutkan sampai ba’da ‘Isya. Usai ngaji maraton tersebut, santri diberi kesempatan untuk belajar mandiri. Dengan kegiatan yang padat tersebut diharapkan santri dapat mengelola waktu dengan sefektif mungkin. 

Lebih lanjut, KH. A. Kharis Masduqi menegaskan bahwa penguasaan al-Qur’an merupakan dasar bagi seorang santri untuk mengembangkan keilmuannya. “Ulama-ulama dulu, semisal imam Syafi’i, imam al-Ghazali, imam Bukhari, dan lain sebagainya, adalah para penghafal al-Qur’an yang baik yang kemudian memiliki keistimewaan dan kekhasan keilmuan yang mumpuni,” terangnya. Bagi beliau, dengan penguasaan al-Qur’an yang baik, maka kelak santri dapat mengembangkan disiplin ilmu apapun. “Jadi, al-Qur’an menjadi landasan kita berilmu,” terang beliau. 

Dengan sistem pendidikan yang memadukan pendidikan pesantren dan formalnya, pesantren ini berusaha untuk mencetak alumni yang berwawasan luas dan Qur’ani. Diharapkan, alumni dari pesantren ini dapat melanjutkan pendidikan di luar negeri dan dapat berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Dan, suatu saat tatkala para santri telah menyebar, berdakwah di berbagai wilayah dan di berbagai bidang, beliau mengharapkan pesan Abuya Sayyed Muhammad al-Maliki dapat diterapkan, yakni “dakwah yang memberi ruang kepada orang lain, tetapi tetap memegangi dan tidak menggerus prinsip sendiri”. (Rokhim Bangkit dan Ahmad Munir/Red:Anam).

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua