Pesantren

At-Tawazun, Pesantren Penyeimbang

NU Online  ·  Rabu, 21 November 2012 | 01:26 WIB

Pesantren At-Tawazun yang terletak di Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang,  berupaya mengarahkan santri untuk seimbang dalam menguasai ilmu dunia dan ilmu akhirat sebagai bekal hidup di masyarakat.<>

Menurut pengasuh pesantren yang didirikan tahun 2001 tersebut, KH Musyfiq Amrullah, penamaan At-Tawazun terinspirasi dari salah satu prinsip Nahdlatul Ulama (NU), yaitu tawazun, artinya seimbang.

“At-Tawazun mengedepankan keseimbangan pengajajran duniawi dan ukhrawi, salafi dan ashri, hablum minallah wahablu minan nas,” ujar kiai lulusan pesantren Daru Rahman, Jakarta, asuhan KH Syukron Ma’mun.

At-Tawazun mewajibkan setiap setiap santri mempelajari kitab kuning dan “kitab putih”, nyantri dan sekolah. Tidak ada yang salaf khusus, atau yang hanya sekolah, sehingga tidak  ada santri kalong. 

“Karena dua-duanya punya kelebihan. Makanya saya terapkan dua-duanya,” katanya ketika ditemui NU Online, di kediamannya, komplek Pesantren At-Tawazun, Kalijati, Ahad, (11/11). 

Menurut kiai yang juga Ketua PCNU Kabupaten Subang ini, sistem salafiyah di pesantren-pesantren NU sangat piawai dalam kitab kuning dan hafalan-hafalan, literatur-literatur kitab klasik. “Di samping itu, juga sistem ta’dim dan tawadhu kepada guru itu kita terapkan.” 

Kemudian, sambung kiai kelahiran Banten ini, At-Tawazun mengambil ashriyah untuk mengikuti perkembangan zaman melalui pendidikan sekolah umum.

“Karena kalau salafiyah saja, untuk di daerah Subang khususnya, tak akan “ laku”. Karena rata-rata, kalau hanya salafiyah maksimal 50 santri, sudah untung.” 

Jadi, menggabungkan keduanya adalah siasat untuk menghadapi kekinian. 

Meski demikian Kiai Musyfiq mengakui, pengalaman sebelas tahun berjalan, kekurangan integrasi salafi dan ashri adalah kedua-duanya tidak seratus persen didapat. 

“Salafiyah tidak mengambil seratus persen karena pasti berbenturan waktunya dengan ashriyah. Demikian pula dengan yang ashriyah. Tidak full,” ungkapnya.

Dalam praktiknya,supaya santri bisa mengakses ilmu salafiyah dan ashriyah, santri digenjot dalam bahasa. Percakapan sehari-hari diwajibkan menggunakan bahasa Arab dan Inggris.

Sebagai pembinaan bakat dan minat, At-Tawazun juga menyediakan fasilitas olah raga seperti voli dan sepak bola. Dalam bidang kesenian, diajarkan seni marawis, rebana. Bahkan alat musik khas Sunda seperti karinding dan celempung. 

At-Tawazun sudah meluluskan beberapa angkatan. Lulusannya, banyak melanjtukan ke perguruan tinggi dalam negeri bahkan ada yang ke luar negeri. Tahun kemarin, ada yang dikirim ke Yaman, empat santri; yaitu dua putera, dua puteri. 

Kunci sukses mengelola pesantren, menurut Kiai Musyfiq adalah selalu bermusyawarah dengan para santri dan terutama dewan guru. Musyawarah tersebut untuk selalu “menyegarkan” kembali tujuan pesantren, yaitu mendidik dan mengarahkan.

“Di sini setiap bulan kita berikan pencerahan kepada rekan-rekan guru untuk menyegarkan tujuan utama mereka pondok ini,” ungkapnya. 

Menengah ke Bawah

Kini, Pesantren At-Tawazun memiliki sekitar 550 santri, diasuh sekitar 60 ustadz. Mereka berasal dari sekitar Subang, dan setiap kabupaten Jawa Barat. Tetapi ada juga yang dari luar Jawa. 

Para santri tinggal di asrama yang berdiri di area 1 hektare. Mereka menimba ilmu di jenjang pendidikan Madrasah Tsanawiyah dan SMA. Di samping itu sudah berdiri pula TK/TPA Al-Quran, PAUD, dan Madrasah Diniyah.

“Ke depan, mudah-mudahan kita bisa membuka Aliyah dan SMK,” harap Kiai Musyfiq. 

Setiap santri, ditarik pembayaran Rp 320.000.00 per bulan. Biaya itu termasuk iuran bulanan dan makan. Meski terbilang murah, yang menunggak selalu ada, karena rata-rata santri berasal dari menengah ke bawah. 

“Sering pihak pengasuh menanggung 20 sampai 30 persen pembiayaan mereka.”  

Menurut Kiai Musyfiq, kesulitan yang dihadapi selama ini adalah para orang tua yang masih belum memahami aturan pesantren. Misalnya ketika pesantren memberlakukan santri tidak bolah pulang, beberapa orang tua sering memaksa. Kedua masalah finansial, terutama menanggung biaya santri-santri yang mustadhafin.



Redaktur: A. Khoirul Anam
Penulis   : Abdullah Alawi


Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua