MTs-MA Ma’arif Kalonding, Oase Pendidikan di Daerah Pedalaman
NU Online · Selasa, 27 Oktober 2015 | 05:00 WIB
Madrasah Tsanawiyah (MTs) Maarif Nahdlatul Ulama di Dusun Salukue, Desa Kolanding, Kecamatan Sampaga, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, berdiri pada 2009 atas dasar keprihatinan. Ia hadir di tengah kondisi langkanya akses pendidikan menengah pada masyarakat yang serbaterbatas di daerah pedalaman.
<>
Desa Kolanding juga terkenal dengan akses transportasi serba susah. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan setelah SD juga minim. Inilah mengapa warga di sana lebih banyak hanya lulusan sekolah dasar, lalu bekerja membantu perekonomian keluarga sebagai petani coklat atau lainnya. Keadaan ini perlahan berubah setelah Zahril, pemuda NU asal Makassar tinggal di sana selepas menikahi gadis asli Desa Kolanding pada 2008.
Zahril yang sehari-hari menjadi petani coklat ini bersama istri dan tokoh masyarakat mendirikan MTs Maarif Nahdlatul Ulama. Respon penduduk cukup bagus. Mereka berbodong-bodong mengumpulkan kayu dan membangun madrasah itu sekaligus rumah bagi Zahril secara suka rela. Seperti kecambah tersiram hujan, kesadaran pendidikan yang semula layu berangsur tumbuh segar, meski tak semua warga bersikap begitu.
Dibukanya sekolah menengah pertama di Desa Kolanding secara otomatis mengurangi kebiasaan anak-anak kampung setempat putus sekolah begitu mereka lulus dari sekolah dasar. Mereka tak perlu lagi khawatir capek karena jarak sekolah yang jauh, atau menghabiskan waktu lama lantaran sulitnya mencari kendaran umum yang menuju ke sana. Lalu bagaimana nasib kelanjutan studi para remaja itu setelah lulus MTs? Pertanyaan ini sudah diantisipasi lama oleh Zahril. Tanpa berpikir panjang, ia bersama warga mendirikan sekolah jenjang selanjutnya bernama Madrasah Aliyah Maarif Nahdlatul Ulama pada tahun 2012. Sembilan siswa angkatan pertama berasal dari para lulusan MTs sebelumnya. Sekarang secara keseluruhan MA Maarif NU Kolanding memiliki 22 peserta didik dari berbagai desa dan latar belakang ekonomi. Tahun ajaran ini MA Maarif NU meluluskan angkatan pertama.
Dibandingkan MTs, MA Maarif NU Kolanding relatif sederhana dari segi bangunan fisik. Bangunan memang sudah terdiri dari tiga kelas. Namun ia berasal dari satu bagunan. Ia merupakan rumah panggung adat Bugis yang semula milik warga kemudian dibeli. Jumlah siswa SMA yang sedikit juga menggambarkan betapa kesadaran akan pendidikan tingkat ini juga masih minim. Jika pendidikan jenjang menengah pertama saja masih acuh tak acuh, apalagi sekolah menengah atas. “Padahal, anak-anak di sini memiliki potensi yang sangat bagus. Sayang jika tidak digali dan dikembagkan,” ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Mamuju ini beberapa waktu lalu.
Panen Prestasi
Kedua madrasah tersebut diselenggarakan secara gratis alias tanpa penarikan biaya SPP. Selain meringankan warga secara ekonomi, kebijakan ini menjadi bagian dari strategi menyedot minat warga agar mau menyekolahkan anaknya ke situ. Keduanya berada berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama, lembaga yang membidangi urusan pendidikan formal di jenjang sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas di NU. Sekolah-sekolah yang berada di bawahnya memiliki ciri khas pendidikan keagamaan yang kuat dan pengutamaan pada pendidikan karakter. Hal ini pula yang hendak dikembangkan Zahril.
Ia mengaku mengadopsi sistem “semi pesantren” sebagai model pembelajaran murid. Jika pagi hari peserta didik menjalani proses belajar di madrasah, maka sore atau malam hari mereka mengaji dengan sejumlah materi seperti hafalan al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran ala madrasah diniyah lainnya. Suasana ini sengaja diciptakan Zahril karena dulu ia memang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Madinah Makassar selama tiga tahun. Meski ngaji sore atau malam tidak wajib, dengan menerapkan model pendidikan semacam ini, ia berharap terjadi penguatan wawasan keagamaan pada maasyarakat sekitar. Desa Kolanding termasuk kampung yang tak cukup beruntung memperoleh pendidikan agama secara memuaskan.
Salah satu efek konkret dari pengalaman Zahril adalah adanya kegiatan ekstrakurikuler berupa pelatihan hadrah. Hingga ia yang pernah belajar rebana saat nyantri berhasil membawa anak didiknya pada tingkat “piawai” sehingga percaya diri mengikuti sejumlah kompetisi. Keterampilan ini juga mendapat sambutan positif di masyarakat yang sebenarnya asing dengan seni hadrah sebelumnya. Para pemusik hadrah sering diundang pada acara-acara tertentu, misalnya pernikahan, khitanan, forum-forum pengajian, dan sejenisnya.
Prestasi yang pernah ditorehkan MTs Maarif NU Kolanding bisa dilihat dari piala kejuaraan yang merekah raih dalam sejumlah ajang perlombaan di tingkat kabupaten. Dalam lomba Qasidah Modern tingkat Kabupaten Mamuju, anak didik Zahril mendapatkan juara I. Selain hasil dari lomba kasidah, di lemarinya kini juga sudah berjejer lima piala lainnya, yakni juara I lomba pidato bahas arab, juara I Kemah Bakti Pramuka, juara harapan 1 lomba qori’ (MTQ) remaja, juara I lomba sari tilawah al-Quran, juara I lomba pamulasaraan jenazah. Keenam piala tersebut diraih oleh pelajar tingkat tsanawiyah. Sebagai madrasah rintisan, prestasi cukup menakjubkan, dari remaja dengan perhatian minimalis dalam hal pendidikan sampai menjadi pelajar kebanggaan tak hanya bagi Desa Kolanding yang terpencil itu, tapi juga Kabupaten Mamuju secara umum.
Hal ini termasuk perkembangan menakjubkan untuk ukuran sekolah rintisan. Pendirian memang dilakukan secara pelan-pelan, tetapi dalam tahapan itu pula MTs dan MA Ma’arif NU Kolanding tumbuh linier. Zahril memulai usaha penyadaran pendidikannya dengan membuka lembaga taman pendidikan al-Qur’an (TPA) lalu madrasah diniyah (Madin). Sambutan masyarakat cukup antusias. Secara berangsur santri bertambah, dan menunjukkan peningkatan kualitas pendidikan agama di daerah setempat. Pengalamannya sebagai santri menjadi bekal baginya untuk melakukan improvisasi di dunia pendidikan. Dengan melatih peserta didiknya bermain rebana dan kasidah, misalnya. Materi baca al-Qur’an dan bahasa Arab tentu menjadi bahan ajar pokok di lembaga pendidikan yang masih seumur jagung ini.
Pria kelahiran 31 Desember 1977 ini bercerita, awalnya dirinya ragu bisa mendirikan madrasah ini. Sebab, untuk mengambil bahan baku pembuatan gedung dan fasilitas belajar mengajar dibuthkan keterlibatan banyak orang yang dimulai dari proses penebangan pohon, mengangkut meterial berat, hingga proses pembuatan fasilitas belajar mengajar yang harus dilakukan secara manual. Ternyata semua itu teratasi secara tak terduga dengan banyaknya atensi dan kerja sama dari warga.
“Pengalaman paling menarik bagi saya adalah semua kami kerjakan dengan cara gotong-royong dan swadaya,” tutur Zahril. Ia mengaku belum mendapatkan bantuan apa-apa dari pemerintah dalam usahanya ini. (Mahbib Khoiron)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menyiapkan Bekal Akhirat Sebelum Datang Kematian
2
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
3
Khutbah Jumat: Tetap Tenang dan Berpikir jernih di Tengah Arus Teknologi Informasi
4
Resmi Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Pengurus PP ISNU Masa Khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Perhatian Islam Terhadap Kesehatan Badan
6
Tuntutan Tak Diakomodasi, Sopir Truk Pasang Bendera One Piece di Momen Agustusan Nanti
Terkini
Lihat Semua