“Germo” Ajengan Mamad di Saritem
NU Online · Sabtu, 21 November 2015 | 19:01 WIB
Salah satu gang di jalan Gardujati, Kota Bandung, itu tak ada bedanya dengan gang mana pun di dunia ini. Di sekitar mulutnya ada warung kecil menjual rokok, makanan ringan, dan warung-warung makan yang mekar tiap menjelang malam. Masuk ke gang, berderet rumah-rumah penduduk. Jika lewat gang itu menjelang Isya, akan bertemu dengan beberapa orang tua yang berkumpul di beranda rumah.
<>
“Bos, parkir di sini. Bos, parkir di sini,” ajak diantara mereka sembari tetap duduk seraya tangan melambai. Kata “parkir” yang keluar dari mulutnya semakna dengan yang tertera pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun memiliki makna sampingan yang tiada di tempat-tempat lain. Karena sudah masuk kawasan Saritem!
Jika berselancar di Google dengan kata kunci Saritem, akan ditemukan link dengan judul, “Cari Pekerjaan, ABG 14 Tahun Malah Dijual Kegadisannya”, “Separuh dari Tarif Kencan PSK di Saritem Disetor ke ‘Mami’”. Atau akan diarahkan kepada gambar juga video berkaitan dengan dunia “perlendiran”. Ya, Saritem sudah ratusan tahun berkelindan dengan dunia itu.
Menurut Sekretaris RW 7, Acep (bukan nama sebenarnya), nama Saritem sudah muncul sejak zaman penjajahan Belanda. Sebagaimana asal-usul nama sebuah kampung kecil, hampir tidak diketahui tanggal dan tahun persisnya. Ia mengaku mendapat cerita dari neneknya. Alkisah, di gang tersebut ada penjual jamu keliling bernama Sari. Ia tidak menyebut asal-usulnya, tapi sebab kulitnya hitam, perempuan itu sering disapa Sari Item.
Salah seorang Belanda, suatu hari, menyarankan satu hal kepadanya. Daripada Sari capek keliling menjual jamu, mending ”melayani” teman-temannya. Karena Sari mengamini, berkembanglah praktik-praktik “melayani”. Kemudian “melayani” menjadi bisnis yang mengundang pihak-pihak lain untuk mengambil keuntungan dari usaha itu. Terkait nama, orang tak melupkan asal-usulnya, disebut dengan mapan hingga kini, Saritem. Satu “i” disatukan kala diucapakan, tanpa spasi saat dituliskan.
Dua RW yang masuk wilayah Kelurahan Kebon Tangkil tersebut bercampur-baur penduduk Tionghoa, Sunda, dan berbagai etnis lain. Kini di sekitar mereka terdapat 200 penjaja cinta atau disebut Pekerja Seks Komersial (PSK). Beberapa tahun sebelumnya bisa mencapai 700-an lebih. sementara calo praktik itu sekitar 400 orang. Penduduk setempat merasa tak rugi dengan praktik itu, malah kecipratan rezeki hasil menjajakan makanan dan minuman.
Ajengan Mamad
Pada tahun 2003, Kang Mamad hadir di tengah-tengah Saritem. Padahal sejak kecil hidup di lingkungan pesantren. Tentu tak pernah berharap dan mimpi untuk tinggal di situ. Tapi karena taat pada orang tuanya, ia menjadi “germo” di situ. “Germo” di sini bukan berarti mucikari, induk semang PSK atau calo, melainkan “gerakan moral” melalui pesantren bernama Darut Taubah. Letak pesantren berimpitan dengan “Darun Ni’mah”, istilah dia untuk kamar-kamar praktik para PSK.
Sebelumnya bangunan Darut Taubah juga merupakan tempat Darun Ni’mah. Dulu kamar-kamar tempat tinggal santri atau kobong itu tinggal para PSK. Ketika tempat itu menjadi kobong, masih satu dinding dengan “Darun Ni’mah” di sampingnya. Karena sering terdengar suara-suara “aneh” yang tak mesti didengar para santri, tembok Darut Taubah dipertebal untuk meredamnya.
Di depan pesantren, akan mudah sekali mendapati perempuan berrok di atas lutut, berbaju ketat dan pendek, bergincu tajam, bercelak tebal. Jika jalan-jalan ke sebalah kiri pesantren, lirikkan saja mata pada bangunan-bangunan seperti salon dengan kaca tanpa gorden. Di situ, perempuan muda berpakaian serba minim tampak duduk berjajar di sofa dengan kaki disilangkan. Entah dari mana, lelaki hidung belang dengan ragam usia, mondar-mandir di sekitarnya. Tak habis-habisnya sehingga kedua belah laiknya baud ketemu mur.
Darut Taubah didirikan Ajengan Sonhaji pada tahun 1999 dan diresmikan 2 Mei tahun 2000 atas bantuan Wali Kota Bandung waktu itu, AA Tarmana. Ajengan Sonhaji adalah tokoh agama dari Pesantren Sukamiskin dan pernah menjabat Rais Syuriyah PCNU Kota Bandung empat periode sampai wafatnya. Ia berasal dari daerah Subang yang diambil menantu salah satu pesantren tertua di Kota Bandung tersebut. Setelah meninggal, Ajengan Sonhaji menitipkan Darut Taubah pada anak sulungnya, Ahmad Haedar yang akrab disapa Kang Mamad tersebut. “Sebelum meninggal, ayah saya berpesan, ‘sing bisa gaulna’ (harus pandai bergaul dengan mereka),” katanya.
Gerakan moral pria beranak tiga tersebut memang melalui pergaulan dengan mengedepankan akhlak. Kang Mamad mengajarkan ilmu-ilmu agama pada anak-anak Saritem. Putra-putri calo dan mucikari. Tidak ada santri anak PSK karena mereka datang atau didatangkan dari daerah lain tanpa membawa anak.
Orang tua mereka mengizinkan anaknya belajar di situ. Pada dasarnya, menurut Kang Mamad, mereka ingin memiliki anak-anaknya tidak mengikuti pekerjaan orang tua. Seperti diakui salah seorang mucikari, anaknya sejak TK disuruhnya belajar di Darut Taubah sehingga bisa mengaji.
Mulanya tiga sampai empat tahun Darut Taubah didirikan, penduduk sekitar tidak suka dengan kehadiran lembaga pendidikan itu. Imtihan (kenaikan kelas santri) saja pernah dijaga Banser dari Gerakan Pemuda Ansor NU. Menurut Kang Mamad, hal itu sangat wajar. Sebagai pendatang dengan 60 persen di dua RW tersebut nonmuslim, tentu sedikit banyak mereka merasa terusik.
Berada di tempat seperti itu, pria kelahiran Oktober 1968 tersebut melancarkan siasat pendidikan dan sikap hidup pesantren yang pernah dijalaninya di Priangan Timur. Ia nyantri 6 tahun di Cipasung, 6 tahun di Manonjaya (Tasikmalaya). Kemudian ngaji keliling tabarukan ke pesantren-pesantren lain seperti Sadang (Garut), ke Petir (Ciamis), Awi Pari (Tasikmalaya) selama 3 tahun.
Di pesantren, kata dia, santri berasal dari berbagai daerah hidup bersama. Santri dengan alamiah belajar saling memahami sesama mereka. Pesantren juga membebaskan santri untuk bergaul dengan masyarakat sekitar. “Saya juga dulu senang bergaul dengan masyarakat, bagaimana melihat kondisi masyarakat. Jadi sekarang tidak kaku. Saya banyak mendengar dari guru-guru saya harus tasamuh (toleransi),” terangnya.
Berdasarkan pengalaman itu, gerakan moral yang dilakukannya sedikit demi sedikit, meski risikonya membutuhkan waktu panjang. Ia melakukan pendekatan menyeluruh dari segala arah, mulai dari segi agama, sosial, hukum, budaya.
Kemudian berbaur dengan kehidupan masyarakat. Ia turut serta dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Pada umumnya kebiasaan muslim di Saritem sama dengannya. Misalkan kalau ada yang meninggal, mereka ingin ditahlilkan karena mati tanpa prosesi itu dalam pandangan mereka, seperti mati kucing. “Itu kita urus, kita bantu. Baik germonya, PSK-nya, calonya,” katanya. Ia juga mengikuti kebiasaan mereka dalam bidang olah raga seperti turut serta main bulutangkis serta meigikuti pertemuan-pertemuan warga.
Lama-kelamaan bergaul keduanya saling menerima. Sebagian dari mereka ada yang hadir ke pengajian umum pesantren dan mengikuti istigotsah malam Jumat. Ketika berceramah, Kang Mamad pun sangat hati-hati dalam menyampaikan pesan-pesan agama. Dalam istilah dia, dengan cara tidak “memukul”, tapi merangkul. Ia mengikuti cara ayahnya, Ajengan Sonhaji, tidak memberikan roti dengan cara dilempar.
Saat berceramah ia sangat memperhitungkan dampaknya. Jika bertemu ayat Al-Qur’an yang mengharamkan judi, minuman keras, zina, tidak disampaikan dengan vulgar. Karena penduduk di situ tahu hukumnya haram. Ia lebih percaya seperti yang telah dianjurkan dalam Al-Qur’an sendiri, Ud’u ila sabili robbiika bil-hikmah wal mauidhlitil hasanah, yaitu dakwah dengan bijaksana dan tutur kata baik.
Dengan cara itu, kedua belah pihak semakin memahami dan saling menghargai keberadaan masing-masing. Kemudian melakukan pertemuan-pertemuan santai seperti ziarah pada ulama Jawa Barat, touring ke tempat wisata atau sekadar jalan-jalan. Padahal awalnya, menurut Kang Mamad, jangankan ada yang mau datang ke pesantren, malah jika teler sengaja datang ke pesantren. Kini mereka paham bahwa pesantren tidak ingin memusuhi mereka.
Diantara mereka kadang membantu, baik makanan atau alat-alat kebutuhan pesantren. Kang Mamad menerimanya. Karena ia juga sebagai Katib Syuriyah PCNU Kota Bandung, hal itu jadi pembicaraan di tingkatan PCNU. Para ajengan kota kembang itu kemudian membuka kitab-kitab kuning untuk mencari hukum menerima uang pemberian dari hasil tidak dihalalkan agama tersebut. Mereka membahasnya melalui forum bahsul matsail.
Keputusan para ajengan menyebut sumbangan tersebut boleh diterima, tapi dengan catatan harus disalurkan lagi kepada yang membutuhkan, misalnya para santri. Di Darut Taubah, santri-santri tidak dipungut biaya sepeser pun. Bahkan makan dan minum ditanggung pesantren. Ajengan Sonhaji sudah menyediakan sawah wakaf untuk makan mereka. Kang Mamad tinggal mengelola dan menyedikan lauknya saja.
Kang Mamad yakin dengan menerima pemberian dari mereka adalah sebagian dakwah dengan baik. Memanusiakan mereka. Jika tidak diterima, tentu mercederai niat baik mereka.
Ia juga tidak yakin dengan dakwah menggunakan kekerasan sebagai solusi. Malah bisa menimmbulkan masalah. “Kalau dengan kekerasan akan semakin semrawut,” tegasnya.
Itu bukan omong kosong, tapi berdasar pengalaman. Darut Taubah pernah mengundang mubaligh “keras” dalam pengajian peringatan hari besar Islam. Besoknya diprotes masyarakat. Kemudian ia tak lagi mengundang mubaligh berkarakter seperti itu. Mau tidak mau mereka juga memiliki perasaan. Mereka punya hati.
Kini santri Darut Taubah bisa memukul rebana dengan keras. Azan setiap waktu disambungkan melalui pengeras suara. “Kalau sekarang, setiap waktu pengajian bebas. Azan Subuh melalui speaker pun bebas. Sebelumnya ada protes warga, ada yang langsung telepon,” terangnya.
Dengan apa yang dilakukannya, ia tidak berharap muluk, sebab yang mengubah jalan hidup tidak ada jalan lain selain mereka sendiri dan hidayah Allah. Kang Mamad hanya ingin memotong generasi, mengurus anak-anaknya supaya tidak mengikuti orang tuanya yang sudah terlanjur masuk dalam dunia mucikari dan calo.
Ia berpendapat, perubahan untuk Saritem bisa dengan cara menyiapkan pekerjaan yang jelas. Pemerintah tidak boleh menutupnya tanpa memikirkan hal itu. Karena pendekatan menutup tanpa solusi sebagaimana yang terjadi tahun 2007 sudah terbukti gagal. Mereka bukan tidak mengerti agama, halal dan haram -beberapa diantara mucikari pun seorang haji- tapi karena memang sudah mengakar dalam kebiasaan mereka.
Di lain pihak, Kang Mamad juga menjaga santri-santri yang berasal dari luar daerah, supaya tidak terpangaruh kehidupan Saritem. Ia menggunakan jargon, jangan melawan arus, tidak terbawa arus dan menyikapi dengan cerdas takdir yang sedang berjalan. Ia mencontohkan ikan di laut. Meski hidup di tempat asin, tubuhnyan tidak lantas menjadi asin.
Apa yang dilakukan Kang Mamad, diamini pengasuh pesantren Darut Taubah yang lebih muda, Kang Ubed. Menurutnya, Kang Mamad melakukan dakwah dengan lemah lembut. Lebih banyak dakwah dengan perbuatan. Tujuannya memutus kebiasaan generasi tua dengan melahirkan generasi baru dengan pendidikan agama dengan model pesantren salaf, yang mengajarkan santri-santri tentang akhlak melalui tasawuf, disamping ilmu nahwu, saraf, fiqih, hadits.
Kini jumlah santri Darut Taubah yang menetap sekitar 90 putra dan putri. Sementara anak-anak Saritem sendiri, karena dekat dengan rumah, mereka cuma santri kalong. (Abdullah Alawi)
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
4
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
5
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
6
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
Terkini
Lihat Semua