Opini SERIAL ILMU NAHWU

Tokoh-Tokoh Aliran Kufah

Sen, 30 Juni 2014 | 12:00 WIB

Oleh Syafiq Hasyim
Lalu siapa tokoh-tokoh utama dari aliran Kufah ini? Tokoh pertama adalah Abu Jaʿfar Ar-Rawa’isi. Tanggal lahir dari tokoh ini tidak saya ketahui, namun nama lengapnya adalah adalah Muḥammad b. Abi Sarah.
<>
Beberapa kalangan meyakini dia merupakan peletak dasar Nahwu aliran Kufah yang terlihat dari kitab-kitab yang ditulisnya seperti Ma’anil Qur’an, Kitab Al-Fayaal, Kitab At-Taṣgir wal-Waqf wal-Ibtida.’ Berdasarkan sumber dia pernah ke Basrah namun ulama Basrah konon tidak terlalu memandang penting buku-buku dan juga pemikiran dari Ar-Rawa’isi ini. Tokoh dekat dari Ar-Rawa’isi adalah keponakannya sendiri yang bernama Muʿadh b. Muslim al-Harra’ yang konon merupakan guru dari salah satu tokoh penting aliran Kufah, yakni Imam al-Kisa’i.

Meskipun sejarah tidak terlalu banyak mengupas kedua tokoh ini, namun ar-Rawaa’isi dan al-Harra’ adalah tokoh babak awal yang menulis model-model Kufah dalam Nahwu dan Ilmu Bahasa. Ar-Rawa’isi ternyata berguru kepada Aba Amr al-Alla’ dan ʿIsa b. Amar at-Thaqafi. Al-Suyuṭi dalam kitabnya Bughya Wu’at, menyatakan bahwa Muʿadh al-Harra’ adalah penemu ilmu tasrif (fa’ala-yaf’ulu-fa’lan, dst.).

Sebagaimana saya katakan tadi, meskipun kedua tokoh ini penting dalam horison tradisi Kufah, namun nama keduanya menjadi terkenal ketika al-Kisa’i berguru dengan Mu’adh al-Harra’. Al-Kisa’i mendiskusikan pemikiran kedua tokoh ini dengan Imam Khalil dan juga diperkaya lagi dengan perjalanannya ke pelbagai suku dan etnis Arab saat itu. Karena upaya inilah sehingga al-Kisa’i pantas dinobatkan sebagai Imam Madhhab Kufah dalam bidang Nahwu.

Perlu diketahui bahwa al-Kisaa’i sendiri banyak berbeda pendapat dari kedua tokoh ini. Shaqi Ḍayf dalam al-Fihrasa li Ibn Nadim menyatakan: “innal-Kisa’i ikhtalafa ila halaqa ar-Rawa’si wa qara’a kitabahu “al-Faysal” wa lam yazid ‘indahu ma yarju”, terjemahan bebasnya: “sesungguhnya al-Kisa’i berbeda dengan lingkaran ar-Rawa’isi, dia membawa buku al-Faisal namun tidak menemukan apa yang dia harapkan.”

Tokoh ketiga adalah al-Kisa’i, bernama lengkap Abu al-Ḥasan ʿAli Hamzah al-Kisa’i al-Kufi. Dia yang lahir pada 119 H dan meninggal pada 189 H dijuluki juga sebagai al-ustadz al-jaami’, mungkin titel ini dianugerahkan padanya karena kemampuannya dalam mengumpulkan pelbagai ragam dan cabang ilmu pengetahuan Islam di dalam dirinya.

Banyak kalangan yang menyebutkan bahwa al-Kisa’i ini adalah seorang Syi’ah. Ia memang terlahir dari lingkungan Syiah, tepatnya dari keluarga Sawad di kawasan Bahamsha, Dudjal, Utara Baghdad. Banyak kisah yang kadang berbau mitos akan kehebatan al-Kisa’i ini, namun saya tidak kan mengulasnya pada kesempatan ini.

Al-Kisa’i dikenal sebagai Imam Qira’at dan sekaligus Imam ilmu-ilmu Bahasa (ʿulum al-lugha, plural karena ilmu bahasa tidak hanya terbatas Nahwu, namun juga ilmu-ilmu lain), meskipun dia juga seorang muhaddith –ahli dan periwayat hadis– handal. Abu Bakar al-Ambari memuji al-Kisa’i sebagai orang yang benar-benar ahli dalam bidang Al-Qur’an, bacaannya sangat sempurna, dan mereka yang mendengarkan mencatatnya sehingga sebagian pengharakatan, pembacaan berdasarkan suku kata atas Al-Qur’an dan lain sebagainya didasarkan pada bagaimana al-Kisa’i membaca Al-Qur’an.

Al-Anbaari menyebutnya sebagai seorang yang sangat ahli dalam bidang Nahwu dan ilmu-ilmu sulit lainnya. Pernyataan al-Anbari ini kemudian dikuatkan oleh Imam Shafiʿi yang menyatakan bahwa “man arada ay yatabaḥḥara fin-naḥwy fahuwa ʿiyal ʿalal-Kisa’i”, barang siapa yang menginginkan melaut (ilmunya ibarat laut) dalam bidang Nahwu, maka dia adalah bagian dari keluarga al-Kisa’i (kisah-kisah ini dimuat dalam kitab Inba al-Ruwwa).

Dalam hal ini, peranan al-Kisa’i dalam aliran Kufah itu sebenarnya sangat mirip dengan peranan Imam Khalil dalam aliran Basrah. Al-Kisa’i adalah pelopor teori-teori Nahwiyah tradisi Kufah. Selain itu, al-Kisaa’i adalah orang pertama yang memperhatikan pentingnya melakukan ʿi’lal atas beberapa fragmen qira’ah dan mengaitkannya dengan qiyas yang bersifat Nahwiyyah. Ada dua kitab karangan al-Kisa’i yang sangat penting terkait dengan masalah ini yaitu Ma’ani Al-Qur’an (Makna-makna Al-Qur’an) dan Kitab al-Qira’a (Buku tentang Qira’at).

Tokoh berikut dari aliran Kufah adalah Abu Zakariyya Yaḥya b. Ziyad al-Daylami, yang kemudian terkenal dengan sebutan al-Farra’ (144-207 H). Berbeda dengan al-Kisa’i, gurunya, al-Farra’ adalah seorang imam dalam bahasa Arab (al-imam fi al-ʿarabiyya). Al-Zabidi dalam Tabaqa an-Naḥwiyyin, h. 132) memuncakkan pujian atas al-Farra’ dengan ungkapannya “jika tidak ada al-Farra’ apalah jadinya bahasa Arab karena dialah yang menjaga dan membatasinya, jika tidak ada al-Farra’ maka gugurlah bahasa Arab karena dialah yang menggiatkan dan mendakwahkannya pada setiap orang yang ingin dan dialah yang mengajarkannya pada manusia sesuai dengan kadar akal mereka”,….Keistimewaan al-Farra’ adalah kemampuannya dalam menggabungkan pemikiran dari dua imam besar yang berasal dari dua tradisi yang berbeda yakni Sibawayhi (Basrah) dan al-Kisa’i (Kufah).

Kitab karangan al-Farra’ menurut perkiraan sebanyak dua puluhan dan dua di antaranya yang sangat penting adaalah Kitab al-Ḥudud dan Kitab al-Ma’anil-Qur’an. Perlu diketahui sedikit di sini bahwa kalangan ahli Nahwu dan Bahasa Arab pada masa ini seringkali memberikan judul pada karangan mereka dengan istilah-istilah seperti “maʿanil-Qur’an,” “majaz Al-Qur’an,” atau “Ta’wil Mushkila Al-Qur’an,” dan lain sebagainya. Dan kitab-kitab yang beredar dan terkenal dengan menggunakan judul-judul di atas misalnya adalah Maʿani Al-Qur’an, karangan al-Akhfash, Maʿani Al-Qur’an karangan al-Farra’ sendiri, Majaz Al-Qur’an karya Maʿmar b. al-Muthanna Abi ‘Ubayda, dan Ta’wilu Mushkila Al-Qur’an karangan Ibn Qutayba.

Dalam konteks ini, Maʿani Al-Qur’an karangan al-Farra’ merupakan refleksi metodologis yang komplit dari zaman itu. Kitab ini membeberkan paradigma teoritis para ahli Nahwu dari kelompok Kufah. Kitab ini mengupas hal-hal yang dipandang gharib (sulit atau aneh) dalam ilmu Nahwu dan Bahasa Arab. Al-Farra’ mengemukakan beberapa contoh iʿrab yang susah seperti pada Al-Qur’an surat Hud: , “alif-lam-ra’, kitabun.” Kitabun di sini dibaca ḍamma karena dimarfuʿkan oleh huruf “alif-lam-ra” yang disebutnya dengan istilah al-hija’.

Dia juga meneguhkan qira’a ʿAbdullah b. Masʿud dalam banyak hal misalnya penghilangan kata al-qawl pada surat al-Baqarah: 127, “wa idh yarfa’ ibrahim al-qawa’id min al-bayt wa isma’il rabbana taqabbal minn.a”Menurut al-Farra’, sebelum kata rabbana di atas ada kata “wa yaqulani” yang dihilangkan. Dia juga membaca nasab (fatah) pada kata setelah ḥatta dalam al-Baqarah 214, “wa zulzilu ḥatta yaqula al-rasul” (sama dengan mushaf yang dianut di Indonesia) karena ada fi’il sebelum ḥatta. Dia mengutip qira’at Ibn Mas’ud “wa zulzilu thumma zilzilu wa yaqul al-rasul.”

Dia juga membolehkan fiʿil mudhakkar (bentuk maskulin) untuk faʿil mu’annath (pelaku feminin), dimana biasanya antara fi’il dan faa’il haruslah sepadan, artinya jika fi’il mu’annath, maka faa’il harus mu’annath pula atau sebaliknya sebagaimana terjadi pada al-Baqarah: 212, “zuyyina li al-ladhiina kafaruu al-hayaatu al-dunya.”

Tapi hal ini dengan syarat faa’ilnya terdiri dari isim masdar (kata dasar). Contoh-contoh lain dalam Al-Qur’an misalnya, al-Baqarah: 275, “faman ja’ahu mawʿiẓa min rabbihi, al-Anʿam: 104,”qad ja’akum basa’ir min rabbikum,” dan Hud: 67, “wa akhadha al-ladhina ḍalamu al-sayhatu.”

Perhatikan semua kata yang saya tebalkan, pasti sebagai santri anda akan menemukan letak permasalahannya. Al-Farra’ juga membahas kembalinya dhamir tunggal mudhakkar “hu” pada “al-An’am” (plural) dalam ayat al-Nahl: 66, “wa inna lakum fi al-an’aami la’ibrah nusqiikum mimmaa fii butuinihi. Hi di sini kembali bukan pada bentuk jadi plural al-an’aami, tapi pada bentuk asalnya yaitu, al-niʿim. Apa yang bisa diambil dari al-Farra’ dalam hal ini adalah terselesaikannya persoalan teoritis Nahwiyah tentang ketidakkeseragaman bentuk fiʿil dan faʿil yang banyak sekali kita jumpai dalam Al-Qur’an.

 

Bahasan serial Ilmu Nahwu ini merupakan bagian kedelapan. Silakan diikuti pembahasan selanjutnya yang dikupas Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman, Syafiq Hasyim. Belum lama ini ia meraih gelar Dr. Phil dari BGSMCS, FU, Berlin, Jerman.