Opini FIKIH DINAMIS

Tawaran Konseptual dalam Menjawab Problematika Sosial

NU Online  ·  Senin, 5 September 2011 | 11:48 WIB

Oleh: Fawaidurrahman SHI

Prolog
Secara teoritis, konsepsi dinamis dalam suatu norma hukum diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang membedakan teori hukum statis (nomostatic) dan dinamis (nomodinamic). Kelsen mengilustrasikan hukum ataupun norma statis dengan asumsi bahwa individu yang perbuatannya diatur oleh sebuah norma, maka ia harus berbuat sesuai dengan ketentuan norma tersebut.  Sedangkan teori dinamis memiliki obyek proses pembuatan hukum serta pelaksanaannya.
<>
Dari pembagaian tersebut dapat dimengerti bahwa suatu norma diasumsikan sebagai sistem norma statis karena validitas dan materinya ditentukan oleh norma dasar. Validitas dan kualitas norma ini karena dapat diderivasi ataupun dideduksi secara logis dari norma dasar tertentu. Bentuk umum dari norma yang valid berdasarkan nilai substansinya adalah norma moral. Norma dasar dari moralitas memiliki karakter yang statis. Sedangkan sistem norma dinamis terdapat pada suatu sistem di mana validitas suatu norma tidak dapat digantungkan kepada norma itu sendiri, akan tetapi dengan cara tertentu. Karakter dinamis ini menjadi karakter dari norma hukum di mana norma dasar dari suatu sistem hukum adalah aturan dasar yang mengatur pembuatan norma-norma dalam sistem tersebut.

Kaitannya dengan fikih, yang didefinisikan oleh Abdul Wahhab Khallaf sebagai sebuah disipsin keilmuan ataupun kumpulan hukum-hukum praktis  yang diambil dari dalil-dalil terperinci,  konsepsi dinamis menjadi sebuah tatanan yang menuntut nilai-nilai yang ada dalam dalil-dalil hukum tidak terjebak ke dalam lingkup tertentu dari ruang ataupun waktu.  Pada gilirannya, fikih dinamis kemudian diposisikan sebagai antitesis terhadap fikih mainstreem yang selama ini cenderung statis dan eksklusif yang berkontribusi bagi proses kejumudan intelektualitas dan etis—untuk tidak menyebutnya kemunduran dan kebusukan.

Diakui atau tidak, fikih selalu dijadikan sebagai barometer dalam melihat persoalan-persoalan umat. Hanya saja para tokoh yang dapat dikategorikan sebagai orang yang mengerti ilmu fikih, dalam melihat persoalan umat, dalam banyak kasus, cenderung menggunakan produk fikih masa klasik dari pada berupaya melakukan penalaran obyektif terhadap problem umat dengan dalil-dalil yang sudah ada atau tidak ada dalam nas}.

Proyeksi fikih dinamis sangat dibutuhkan guna mewarnai kerangka proses maupun hasil ijtihad para pakar dalam ilmu fikih. Ketidak-pekaan fikih dalam menyoroti masalah-masalah modern merupakan bentuk lain dari kebekuan fikih yang seharusnya dituntut untuk selalu bergerak bersama perubahan. Sebab jika fikih terlambat dalam menangani dan mengatasi suatu problem, fikih akan mengalami dua problem sekaligus:

Pertama, fikih akan manja dalam kemapanannya. Fikih akan selalu dianggap sebagai doktrin yang mapan dan tak memerlukan proses kreatif-progresif terhadap produk fikih yang sudah ada. Ketika yang terjadi demikian, umat Islampun hanya akan bermalas-malasan dengan perangkat produk lama dan tidak ada upaya mencari solusi baru guna menjawab persoalan fikih yang baru pula. Sebab, hingga kini, sebagian besar umat Islam, khususnya di Indonesia, masih meyakini bahwa fikih yang dihasilkan ulama-ulama masa keemasan Islam bisa menyelesaikan berbagai persoalan kekinian. Hal lain yang kemudian membawa fikih sebagai produk intelektual pada masa dan dalam konteks tertentu yang bersifat dinamis kini berubah menjadi stagnan serta kaku. Sebenarnya hakikat fikih bukan mengajarkan kekakuan, tapi pelaksana fikih itulah yang menganggapnya demikian.

Realitas demikian akan menyebabkan adanya upaya sakralisasi fikih. Pemahaman fikihpun dikaburkan dengan konsep syariat yang cakupannya lebih umum. Umat memandang fikih sebagai barang yang sakral karena diambil dari dalil-dalil al-Quran dan Sunnah. Dengan pandangan seperti ini, mengubah fikih dipahami sebagai tindakan mengubah syariat yang sakral. Padahal, konteks hukum yang selalu berubah dan perkembangan zaman yang menuntut partisipasi fikih merupakan fenomena yang tak terbantahkan. Pergantian dan perubahan dari satu hukum ke hukum lain menjadi hal yang mesti terjadi.

Kedua, peran fikih akan semakin sempit hanya pada masalah ritual belaka, yang kedua ini menjadikan fikih tidak berarti apa-apa dalam menjawab problem-problem riil umat. Fikih hanya akan menjadi sebongkah kata-kata yang berserakan dalam kitab-kitab klasik, yang hanya dibaca untuk mengetahui bagaimana tatacara shalat, wudu’, puasa serta pelbagai ritual lain dan mengesampingkan prolematika yang acapkali melanda umat secara umum.

Abd. A’la mengasumsikan, fikih atau jurisprudensi Islam “konvensional” sebagai rujukan keagamaan umat muslim, tidak akan bisa memberikan jawaban, lebih-lebih solusi yang memadai terhadap realitas kehidupan, selama umat muslim tetap terikat pada doktrin-legal dan dapat dipastikan umat muslim tidak akan dapat sepenuhnya terintegrasi ke dalam masyarakat plural.  Fikihpun akan menjadi kaku dan terbatas cakupannya.

Dari sinilah, umat muslim kemudian mempunyai tanggungjawab untuk menampilkan wajah fikih yang utuh dan adaptif (salah satunya dengan menghadirkan fikih dinamis) yang semestinya sangat jauh dari fikih yang diklaim statis, jumud dan eksklusif. Dalam konteks ini, kebutuhan terhadap fikih yang dapat mengakomodir pelbagai permasalahan umat sangat urgen untuk ditindaklanjuti secara serius.

Keberadaan fikih dinamis senyatanya memiliki dasar yang kokoh dan otoritatif. Fikih semacam ini bukan hanya berdasar pada subyektivisme. Melainkan lahir dari hulu ajaran Islam dan tumbuh dari akar peradaban Islam, yang dalam us}u>l al-fiqh disebut maqas}id asy-syariah. Dengan asumsi semacam ini menunjukkan bahwa awal dan ujung dari dinamisasi fikih adalah sejauhmana dapat membangun nilai-nilai moral yang menurut Fazlur merupakan aspek normatif dari ajaran Islam yang harus diwujudkan ke dalam kehidupan konkret sehingga menjadi Islam yang historis.

Ketika nilai-nilai Islam menyejarah ke dalam kehidupan, dan ia merupakan hasil interpretasi dari para umatnya, maka “Islam yang satu” kemudian berkembang menjadi “Islam yang beragam”  dengan kadar otensititas yang berbeda antara satu sama lain sesuai dengan perbedaan ruang dan waktu. Dengan demikian, konsepsi fikih dinamis diharapkan mampu menunjukkan pertanggungjawaban substansi nilai-nilai Islam yang merupan designer kehidupan umat secara teologis dan humanistik sekaligus, tanpa harus terjebak dengan tekstualitas berlebihan terhadap sumber hukum yang sudah dianggap otoritatif (al-Quran dan Sunnah).

Pada dasarnya, tidak satupun kalangan dalam tubuh umat Islam yag menolak fikih sebagai sebuah hasil penafsiran atas teks-teks primer Islam (al-Quran dan Sunnah). Hanya saja, sikap terhadap penafsiran ulama seringkali berlebihan bahkan sampai ke tingkat kultus. Akibatnya, posisi fikih meninggi dan menjadi pintu masuk untuk memahami kandungan teks-teks dasar. Fikih menjadi “korpus tertutup” yang lain di luar al-Quran dan Sunnah. Posisi fikih yang begitu agung dan melebihi proporsinya itu, mengakibatkan ketakutan berlebih untuk tidak berbuat bedasarkan kitab-kitab hasil ijtihad al-fiqhiyah.

Tanpa upaya dinamisasi dalam bentuk ijtihad, fikih tidak akan selalu relevan dengan pelbagai perubahan, baik ruang maupun waktu. Sebaliknya, fikih akan membuat umat manusia merasa sempit dan akan menimbulkan kekeliruan dalam memandang nilai-nilai hukum dalam Islam yang mengusung jargon rah}matan li al-‘Ālamīn sebagaimana tertera dalam firman Allah:


وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين.

Landasan Epistemologis Fikih Dinamis

Sebuah gagasan tidak pernah lahir dari ruang kosong. Ia muncul ke permukaan sebagai refleksi dari setting sosial yang melingkupinya. Sedemikian besar kondisi sosial berpengaruh terhadap sebuah konsep pemikiran, sehingga wajar jika dikatakan bahwa pendapat atau pemikiran tertentu dan bahkan kebijakan-kebijakan yang lahir dari suatu otoritas politik merupakan buah dari zamannya.

Asumsi tersebut mungkin akan sepenuhnya benar jika kita menggunakannya untuk melihat perhelatan hukum positif yang senyatanya lahir dari dan untuk masyarakat atau lahir dari suatu otoritas politik untuk masyarakat. Namun dalam melihat fikih, mengimplementasikan asumsi tersebut akan menciptakan keterjebakan dalam pola pemahaman yang menempatkan fikih sejajar dengan ilmu-ilmu sekular lainnya. Dalam hal ini, fikih baik pada masa-masa pembentukan maupun pengembangannya tidak pernah bisa terlepas dari intervensi "samawi". Inilah yang membuat fikih berbeda dengan ilmu hukum umum.

Fikih merupakan sesuatu  yang unik, yang mampu memadukan unsur "samawi" dan kondisi aktual "bumi", unsur lokalitas dan universalitas serta unsur wahyu dan akal pikiran. Oleh karena itu, memahami fikih dengan hanya mengandalkan paradigma ilmu-ilmu sosial dengan mengesampingkan unsur internal yang menjadi landasan istinbat} fikih siapapun tidak akan sampai pada “kesimpulan yang benar.” Melainkan hanya akan menjebak kisaran fikih kepada subyektifitas penafsir ataupun pemikir yang hanya memproduksi hukum individu dan hanya bisa menjadi solusi bagi kepentingan individu tertentu, bukan untuk kepentingan umum.

Namun demikian, meyakini fikih hanya sebagai sesuatu yang sakral juga kurang bijak. Pola pemahaman demikian merupakan arti lain dari pengingkaran terhadap kenyataan historis fikih itu sendiri. Sebab, pada awal perkembangannya terdapat fikih Iraq dan fikih Madinah, atau bahkan qaul qadim dan qaul jadid-nya Imam Syafi’i, fikih ma>liki, fikih Hanbali serta fikih-fikih yang lain. Hal ini membuktikan bahwa faktor peradaban sosial, disamping faktor kapasitas keilmuan masing-masing mujtahid, memberikan pengaruh cukup kuat terhadap dinamisasi produk fikih atau bahkan terhadap metode istinbat fikih.

Abdul H}alim ‘Uways mengemukakan faktor-faktor yang menyebabkan elastisitas fikih yang pada gilirannya dapat dijadikan patokan dalam merepresentasikan nilai-nilai fikih dinamis dalam menjawab problem kemanusiaan. Faktor-faktor tersebut antara lain:

Pertama, Allah sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken for granted segenap hal, bahkan Dia membiarkan adanya suatu wilayah yag luas tanpa adanya keterikatan dengan nash. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan, kemudahan dan rahmat bagi makhluknya.

Kedua, sebagian besar nash turun dengan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum universal yang tidak mengemukakan pelbagai perincian dan bagian-bagiannya, kecuali dalam hal yang tidak berubah karena perubahan tempat dan waktu seperti ibadah. Pada selainnya, nash hanya menetapkan secara umum dan global.

Ketiga, nash yang berkaitan dengan hukum-hukum parsial menghadirkan suatu betuk mukjizat yang mampu memperluas berbagai pemahaman dan penafsiran, baik secara ketat maupun longgar, baik harfiah maupun memanfaatkan substansi dan maksud teks. Jarang sekali ditemukan nash yang tidak menyebabkan variasi pemahaman di kalangan para ulama dalam menentukan makna dan penggalian hukum dari nash itu sendiri.

Keempat, dalam pemanfaatan wilayah-wilayah yang terbuka bagi penetapan ataupun penghapusan hukum, terdapat kemungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana yang beraneka ragam, yang menyebabkan para mujtahid berbeda pendapat di dalam penerimaan dan penentuan batas penggunaannya. Di sinilah kemudian muncul peranan penalaran secara qiyas, istihsan, istislah,’urf, istishab dan sebagainya yang merupakan sebuah upaya dalam mencari hukum yang tidak ada secara liretal di dalam nash.

Kelima, adanya prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala serta berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau meringankannya. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dan membantu manusia kerena kelemahannya dalam menghadapi keadaan yang memaksa serta kondisi-kondisi yang menekan. Dari sinilah kemudian lahir kaidah:


الضرورات تبيح المحظورات.


Berdasarkan ilustrasi tersebut, tampak jelas bahwa upaya apapun yang dilakukan untuk tujuan dinamisasi fikih menuntut kita memahami wawasan tentang watak bidimensional—dimensi kesakralan dan keduniawian—hukum syara’. Penglihatan serta penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara proporsional agar pengembangan fikih dapat sejalan dengan watak aslinya. Fikih tidak hanya menjadi produk pemikiran "liar" yang terlepas dari bimbingan wahyu dan pada saat yang bersamaan fikih juga tidak menjadi produk pemikiran yang kehilangan watak elastisitasnya. Dengan demikian, faktor teologis maupun etika harus menjadi dasar pertimbangan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam melakukan ijtihad hukum, di samping itu, tentu saja faktor perubahan sosial kultur itu sendiri.

Pembacaan terhadap realitas sosial akan menghantarkan pada suatu kesimpulan bahwa terwujudnya fikih dinamis merupakan keniscayaan. Nash Al-Quran maupun Sunnah sudah berhenti beberapa abad yang lalu, sedangkan kondisi sosial masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai permasalahannya yang demikian komplet. Banyak permasalahan sosial budaya, politik, ekonomi dan lainnya yang muncul belakangan perlu segera mendapatkan legalitas fikih. Sebagai bentuk paling praktis dari Syariah, wajar jika fikih dianggap yang paling bertangung jawab untuk memberikan solusi agar perubahan dan perkembangan masyarakat tetap berada dalam bimbingan atau koridor substansial dari Syariah.

Fikih berbeda halnya dengan syariah yang memiliki kompetensi dalam melakukan tasyri’ hanya di tangan Syari’ (Allah), karena Dia merupakan sang pencipta sementara aturan-aturan hukum yang tertuang dalam Al-Quran merupakan ketentuan yang mengatur ciptaan-Nya. Di sisi lain, Allah telah memberikan suatu otoritas kepada Rasulnya (dalam hal ini Muhammad) untuk menyampaikan dan menerangkan norma-norma dan aturan aturan hukum melalui Sunnah-Nya.

Namun demikian, pernyataan-pernyataan eksplisit Al-Quran dan Sunnah pada level tertentu tidak secara langsung dapat diterapkan, maka dalam hal ini dibutuhkan proses penalaran kritis-aplikatif sebagai penjelasan lebih lanjut terhadap tuntutan nash dalam menjawab problematika sosial yang belum terakomodir secara tegas di dalam nas}. Inilah wilayah teritorial fikih yang memang tidak bisa dipisahkan dengan syariah karena meminjam Istilah yang digunakan Nourouzzaman, syariat tiada lain merupakan hukum in abstracto, sedangkan fikih merupakan hukum in concreto.

Meskipun fikih merupakan produk pemikiran manusia, fikih tetap dikategorikan sebagai hukum agama selama masih dikaji dengan merujuk kepada al-Quran dan Sunnah, dengan berbagai pendekatan sesuai dengan disiplin keilmuan penarsifnya. Oleh sebab itu, upaya penalaran fikih semestinya merujuk kepada nas}, sehingga dapat memperoleh kekuatuan otoritatif dari nash tersebut.

Musahadi mengasumsikan hukum dalam kajian keislaman memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi šubt (immutable), bahwa syariat yang bersifat universal sekaligus eternal yang menjadi asas pemersatu dan mempolakan arus utama aktifitas umat manusia. Kedua, dimensi tagayyur (adaptable), bahwa produk pemikiran manusia dapat memahami tujuan syariah tersebut (ijtihad) dengan proses penalaran obyektif. 

Dimensi kedua inilah yang dapat memberikan kemungkinan epistemologis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat saja menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda karena perbedaan latar sosial, politik, sejarah, serta peradaban masing-masing. Demikian pula ia memberikan kemungkinan epistemologis hukum bahwa setiap orde sosial tertentu dapat merumuskan dan menetapkan hukum yang berbeda dengan orde sosial lain karena perbedaan temporal.

Berdasarkan landasan epistemologis tersebut (ijtihad), setiap masa berhak melakukan dinamisasi fikih sesuai dengan tuntutan sosial dan manifestasi rasa keadilan yang mencoba mengupayakan terwujudnya kemaslahatan umat yang memang merupakan tujuan dari adanya syariat Islam. Dalam proses penalaran hukum, ada dua hal yang menjadi fokus utama. Pertama, upaya menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya (ijtihad istinbat) dan kedua, upaya penerapan hukum tersebut secara tepat terhadap suatu kasus tertentu (ijtihad tatbiqi).

Fokus dalam ijtihad istinbati> adalah sumber-sumber hukum Islam, baik melalui pendekatan kebahasaan maupun melalui pendekatan memahami maksud syari’ (maqasid asy-syari’ah). Pendekatan ini dengan seperangkat kaidah yang memang diharapkan mampu mengantar siapapun yang mencoba menggali hukum kepada sebuah kesimpulan yang lebih obyektif. Ijtihad ijtihad tatbiqi mencoba mencari gagasan di balik makna manifest teks hukum. Informasi mengenai cakupan teks, landasan filosofis dan kemungkinan adanya alternatif dalam makna tersirat teks sangatlah penting utnuk diketahui, sebab dengan semua informasi itu, upaya penerapan hukum secara tepat dan dinamisasi hukum secara maksimal dapat dilakukan.

Sedangkan ijtihad tat}biqi dengan seperangkat kadiahnya dilakukan untuk mengantarkan kita pada penerapan hukum secara tepat dalam suatu kasus. Dalam proses ini seseorang dituntut mengetahui hukum materiil dan metode pengembangannya. Sedangkan yang menjadi obyek kajiannya adalah hal-hal yang meliputi perbuatan manusia yang menjadi subyek budaya serta perubahan-perubahannya.

Dengan demikian, sejatinya ijtihad memberikan kemungkinan epistemologis dalam upaya mewujudkan fikih dinamis, disebabkan ijtihad mencakup dua pripsip. Pertama, istinbat dalam arti mengeluarkan hukum dari sumbernya, dan kedua, tat}biqi yang mencakup aplikasi hukum terhadap kasus-kasus aktual untuk sebuah tuntutan mewujukan kesejahteraan. Tatbiqi juga dapat mengandung konsep pengembangan dan dinamisasi, karena rumusan hukum harus selalu dapat diadaptasikan sehingga mampu mengakomodir perkembangan baru sebagai hasil responsi manusia terhadap perubahan sosial dan pergesekan peradaban.

Orientasi Fikih Dinamis

Fikih dinamis, sebagai bahasan terpenting dalam upaya memberikan solusi terhadap problem mendasar hukum dalam kajian keislaman, menuntut aplikasi ijthad dalam menemukan ketentuan hukumnya. Dalam konteks ini ijtihad merupakan kewajiban dalam upaya (1) menjelaskan bahwa syariat Islam selalu sesuai dengan segala bentuk ruang dan waktu, (2) menjadi dakwah nyata bagi semua muslim untuk menyelesaikan masalah hukum dalam kehidupan mereka dengan tetap menggunakan nas} sebagai sumber patokan, (3) sebagai jalan masuk utama proses pembaharuan fikih, (4) sebagai upaya menemukan kebutuhan pokok masyarakat muslim dalam menjawab persoalan kontemporer yang mereka hadapi.

Fikih dinamis membutuhkan lebih dari sekedar ijtihad dalam pemahaman pada umumnya, yakni ijtihad yang memiliki visi yuristik yang mendasarkan pada tujuan syariat dalam kaitannya dengan kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat muslim dalam lokus-lokus yang berbeda, dengan tetap menjaga yang dahulu, tanpa takut melakukan inovasi, memunculkan sesuatu yang baru yang lebih menyentuh wilayah inti dari problem kemanusiaan.

Setidaknya ada beberapa sebab yang mengindikasikan fikih klasik kemungkinan tidak dapat dicanangkan dalam menjawab problematika masyarakat modern ini. Pertama, wilayah teritori masyarakat muslim sekarang lebih global, seringnya umat melakukan perjalanan ataupun perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, bisa dibilang merupakan sesuatu yang sulit sekali dilakukan pada waktu perancangan produk fikih klasik. Kedua, konsep kebangsaan seperti saat ini berbeda dengan konsep awal perkembangan fikih yang masih menggunakan sistem kekhalifahan. Ketiga, para ahli fikih klasih tidak hidup di dunia global dan firtual seperti sekarang ini, di mana semua manusia dianggap hidup dalam satu bumi yang sama dengan pola interaksi yang dinamis.

Dari sinilah fikih dinamis perlu untuk diwujudkan guna mempermudah kehidupan keberagamaan, mengadvokasi Islam sebagai agama yang memiliki hukum elastis dan fleksibel. Tanpa kehadiran fikih dinamis, umat Islam akan mengalami kebingungan dalam mencari status hukum yang sesuai dengan realitas kehidupannya. Di sisi lain, opsi-opsi hukum yang ada dalam fikih klasik yang tidak relevan lagi dengan konteks kehidupan keberagaman umat, hanya akan memaksa untuk melakukam dua pilihan, antara menjalankannya dengan penuh keraguan dan keterpaksaan yang menyiksa, atau meninggalkannya sama sekali dan menjalani hidup tanpa pedoman yang jelas.

Dalam upaya menghadirkan ketentuan hukum, fikih dinamis tetap menjadikan ketentuan fikih klasik sebagai pertimbangan (consideration) di samping juga sosio-kultur dan suasana politik setempat sebagai upaya untuk membumikan nilai-nilai universalitas Islam yang direpresentasikan ke dalam fikih dinamis.

Fikih dinamis juga mempunyai orientasi dan misi pembebasan sebagaimana yang menjadi cita-cita Islam progresif. Pembebasan dalam kajian fikih dinamis bermakna melakukan dekonstruksi ataupun rekonstruksi terhadap pranata tekstualitas dalam penafsiran nas}, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab. Fikih dinamis dalam pemahaman ini juga ingin menjadi seperangkat aturan-aturan transenden yang mempunyai bobot praksis yang bertitik tolak dari landasan teoritis fikih, yaitu teori-teori ushul fikih yang sudah direvitalisasi.

Fikih dinamis bukanlah suatu eksepsi terhadap asumsi mayoritas yang menempatkan empat hal yang dapat menjadi sumber hukum.  Hanya saja, dalam mewujudkan fikih dinamis harus ada upaya untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai univeslitas Al-Quran sebagai dasar utama penentuan hukum dari masalah yang dihadapi. Sunnah dipahami sejalan dengan prinsip-prinsip umum Al-Quran. Yang beda dalam fikih dinamis adalah cara menempatkan qiyas, istihsan, islislah dan dalil-dalil lainnya, bukan sebagai sumber melainkan lebih sebagai pendekatan dalam melakukan proses penalaran hukum agar lebih mengkoptasi pelbagai macam persoalan kemanusiaan.

Secara aplikatif, pelbagai pendekataan dalam ushul fikih, semuanya digunakan secara opsional disesuaikan dengan tingkat kesesuaiannya dengan kemaslahatan yang diharapkan dan tingkat kemudahannya dalam penerapan hukum. Dalam konsepsi fikih dinamis, hukum yang dipilih tidak harus didasarkan pada kekuatan dalil, melainkan lebih kepada keberpihakannya pada kemaslatan umat, karena hukum yang dihasilkan diharapkan merupakan yang paling mungkin untuk diterapkan.

Fikih dinamis merupakan bentuk inovasi dan progresivisme pemikiran hukum Islam yang ingin mengembalikan misi ajaran Islam pada otentisitasnya, yaitu semangat pembebasan yang bertumpu pada nilai-nilai kemaslahatan umat. Membebaskan umat dari bentuk-bentuk kerangkeng kesewenang-wenangan yang telah membuat umat menjadi terbelakangan dalam memperoleh status hukum dalam lingkup kehidupan sehari-hari.

Konsepsi fikih dinamis, akan membawa kisaran fikih lebih elastis dan praktis. Sebab, suatu hukum tertentu, secara filosofis, akan semakin eksis dan bermanfaat apabila dibiarkan hidup dan berkembang dalam masyarakat, dengan wujudnya yang beragam. Wajah plural hukum merupakan manifestasi ideal sistem fikih dinamis, sebagai refleksi pluralitas akal dan daya interpretasi manusia akan kehendak Tuhan yang abstrak. Adanya ruang difference (perbedaan) dan heterogenitas merupakan ciri intrinsik dan implikasi tak terhindar dari taksonomi fikih dinamis yang dikaji secara filosofis.

Demi mewujudkan itu semua, pola penalaran hukum dalam fikih dinamis dimaksudkan untuk menggabungkan realitas obyektif dan ketentuan wahyu dengan lebih banyak melibatkan rasionalitas dan empirikal yang mengitari problem yang muncul di suatu lokal masyarakat tertentu. Dengan kata lain, konsepsi seperti ini merupakan tawaran kongkret yang memberikan proporsi yang bertanggung jawab bagi tuntutan dinamis masyarakat dan membuat kisaran fikih lebih mampu berhubungan langsung dengan realitas umat modern.

Hal ini terjadi karena konsepsi fikih dinamis mencoba menggali hukum dengan berangkat dari realitas masyarakat (bottom up) dan bukan berangkat dari ketentuan Syari’ (top down). Pelbagai ketentuan literal yang ada dalam nas} lebih dijadikan sebagai referensi bagi kreasi manusia dalam menemukan status hukum yang lebih humanis-aplikatif. Dengan demikian, konsepsi ini ingin menghindarkan fikih dari otoritarianisme hukum dan absolutisme penafsiran tertentu.

Epilog

Konsepsi fikih dinamis lebih diposisikan sebagai antitesis terhadap fikih mainstream yang selama ini cenderung statis dan eksklusif yang berkontribusi bagi proses kejumudan intelektualitas dan etis—untuk tidak menyebutnya kemunduran dan kebusukan. Fikih dinamis juga mempunyai orientasi dan misi pembebasan sebagaimana yang menjadi cita-cita Islam progresif. Pembebasan dalam kajian fikih dinamis bermakna melakukan dekonstruksi ataupun rekonstruksi terhadap pranata tekstualitas dalam penafsiran nash, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab. Fikih dinamis dalam pembahasan ini juga ingin menjadi seperangkat aturan-aturan transenden yang mempunyai bobot praksis yang bertitik tolak dari landasan teoritis fikih, yaitu teori-teori Ushul fikih yang sudah direvitalisasi.

Akhirnya, apoligia prolibro suo, tiada gading yang tak retak. Sebagai sebuah karya kreatif manusia, tulisan ini masih jauh dari kesempunaan. Dengan demikian, penulis mengharap kritik-saran dari para pembaca yang budiman demi lebih baiknya tulisan-tulisan selanjutnya.

*] Santri Nawesea English Pesantren yang sekarang menjabat sebagai Peneliti Ahli The Annuqayah Institute dan Pengurus PMII UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.