Opini

Stroke Warnai Kisah Penciptaan Kasidah Burdah

Ahad, 11 Desember 2016 | 20:02 WIB

Oleh Diana Manzila

Al-Burdah adalah kata yang diambil dari bahasa Arab yang berarti jaket belang (bisa hitam dan putih, atau yang lain). Maknanya sama dengan بطا ء ن yang memiliki arti sama secara harfiah, بطا ء ن  semisal jaket biasa yang digunakan kebanyakan orang. Korelasi kasidah burdah yang ternama dengan makna burdah bermakna jaket memiliki kisah tersendiri. 

Konon, pada masa Rasul, ada penyair “sakti” bernama كعب بن زهير بم سلمى (wafat pada 662 M). Penyair tersebut dalam tiap rajutan kata yang dikemas dapat menjadi sihir tersendiri bagi pembaca atau pendengarnya. 

Pujangga satu ini adalah seorang penyair ternama pada masanya. Namun sayang seribu sayang, sebelum masuk Islam, untaian syairnya tertuju pada olok-olok pada ابى زهراء , yakni nabi Muhammad. Jelas saja, kala itu aktris bagi bangsa arab atau orang terpandang kala itu menjadi buah bibir.  Ada tiga golongan yang saat itu menjadi sorotan; شا عر  (pujangga), سا خر (tukang sihir), dan كا هن  (dukun). 

Syair-syair luar biasa karya Ka’ab, membombardir hati para pembenci Nabi untuk lebih membenci beliau. Kala rentetan kata ia lontarkan, masyarakat setempat langsung hafal dan membacanya. Bahkan anak kecil pun ikut memeriahkan olok-olok pada Muhammad. 

Hal itu membuat resah segenap sahabat dekat Rasul. Mereka kemudian menemukan ide jitu untuk membumihanguskan penyair tersohor tersebut. Ide tersebut ternyata diamini Rasul. Setelah diadakan musyawarah singkat, para sahabat berlomba untuk bisa melenyapkan penyair ulung yang kerap menjelek-jelekkan utusan tuhan di depan khalayak.

Suatu ketika, saat Muhammad, pemuda padang pasir berkumpul dengan sahabatnya, datang seorang misterius bercadar hitam berlutut di hadapan beliau seraya berkata;

“Hai Muhammad, aku dengar ada penyair yang memprovokasi masyarakat untuk membencimu?” tanyanya.

“Benar,” jawab singkat Nabi.

“Dan lagi, kauhalalkan sahabat-sahabatmu untuk membunuhnya?” ujarnya lagi.

“Ya,” lanjut beliau.

“Bagaimana jika sang pujangga bersimpuh padamu dan bertobat atas perbuatan nistanya?”

“Aku akan memaafkannya,” jawab Nabi lugas.

Hening sesaat, lelaki dibalik cadar tiba-tiba membuka cadar dan mempersilahkan Nabi untuk bertindak apa saja terhadap dirinya. Seketika itu banyak sahabat berebut ingin membunuh Ka’ab, tapi sebelum hal itu terjadi, Ka’ab mengajukan permintaan pada Nabi. Permintaannya adalah, sebelum dirinya menjadi bangkai, ingin membacakan puisi di hadapan Nabi.

Puisi tersebut berisi 63 bait, yang secara keseluruhan memuji sagala sifat-sifat Nabi. Belum selesai Ka’ab mengeksplore segala kekagumannya, Nabi memintanya berhenti dan menyematkan burdah sebagai bentuk hadiah kepadanya. Puisi pertama berkisah Nabi tersebut bernama Banaat Su’ad yang dibaca secara spontanitas oleh sang penyair ulung Ka’ab bin Zuhair.

Sampai pada keempat kholifah, burdah tersebut di jadikan jubah kebesaran tiap pemimpin umat Islam. Hingga pada masa Bani Umayyah, jubah tersebut diburu oleh petinggi Islam pada masanya hingga proses pembelian terhadap Ahlul Bait Ka’ab bin Zuhair. 

Sekarang, jubah fenomenal tersebut berada di museum Topkavi (Konstantinopel, Istambul, Turki).  

Kilas Sejarah 

Kehidupan dunia tidak lebih dari perpindahan parodi antara digelar dan dinalar. Laju sang detik tidak pernah berdiam barang berulang. Demikian pula kehidupan sang puitis negara bernama شرا ف الدين ابن عبد الله محمد بن صلا ح بن منها ج البشرى, tidak lain pengarang terbaik dunia yang dikenal dengan nama Imam Busyiri. Sejatinya nama tersebut diambil dari kota di mana sang cendekia itu berdomisili.

Mahakarya agung Imam Busyiri yang popular dengan nama“Burdah” memiliki cerita unik. Puisi ini sejatinya bernama" كوا كب الد رية فى مد ح خير البرية.  Begitu banyak barisan kata indah teruntai dari ucap dan cakap sang pujangga, seringkali sang Busyiri dipanggil menteri bahkan kepala negara untuk bersyair di istana. Ia diminta merangkai huruf dan menulis untuk memuji tindak tanduk dengan seronai kata. Lama pekerjaan itu ia lakoni. Berjalan kesana ke mari sembari berpusi. Siapa yang tidak mengenalnya kala itu. Namanya tersohor di semua penjuru negeri. 

Ada setitik jenuh dalam hati sang pujangga ternama ini. Ia mulai gunda-gulana dengan segala aktivitas bersyairnya. Di puncak rasa sedihnya, ia menemukan secercah cahaya dan hatinya berkata, ”Bagaimana bisa saya salama ini merangkai untaian kata dengan mudahnya pada seseorang petinggi negara. Padahal terkadang aku manipulasi isi dan teras kata-kataku. Sedangkan hampir tidak pernah aku memuji Sang Musthofa (Nabi Muhammad), perangai seseorang yang Tuhannya pun berkata mulia.”

Pikirannya membuat ia diterpa resah yang berkepanjangan. Resah hingga ia terkulai lemah dan jatuh sakit. Sakitnya ini, tercatat dalam sejarah adalah sakit فليج (stroke). Dalam diam sakit yang melanda, hati yang gundah-gulana, nestapa yang tidak bermuara, ia bergumam syair tentang sang junjungan Nabi akhir zaman. 

Hingga suatu malam sang Rasul datang bertandang, menyematkan “burdah” pada tubuhnya. Sang pecinta Muhammad pun bangkit dari sakit yang memasungnya dari berbagai aktivitas selama ini. Ia sembuh total keesokan harinya. 


*Tulisan ini dibuat saat penulis mengikuti kajian Burdah di Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi