Opini OBITUARI

Sang Maestro Gramatika Lamongan Telah Tiada

Sel, 13 Desember 2011 | 03:10 WIB

Oleh; Ali Shodikin dan Akhmad Faozan

“Biarlah orang tertawa ketika engkau keluar dari rahim ibumu.
Tetapi buatlah mereka menangis terharu sedangkan engkau tertawa
tatkala ajal menjemputmu (Pujangga Syair)<>

Inna lillahi wainna ilaihi raji'un. Telah kehilangan seorang tokoh besar masyarakat di wilayah kabupaten Lamongan dan sekitarnya. Khususnya para santri PP Matholi'ul Anwar dan PP Tanwirul Qulub, juga seluruh keluarga besar Yayasan Perguruan “Matholi'ul Anwar” serta civitas akademika Universitas Islam Darul Ulum (UNISDA) Lamongan. Beliau adalah KH. Mahsuli Efendi yang telah pulang ke Rahmatullah pada hari Kamis Kliwon, 8 Desember 2011. Kiai Mahsuli dikenal sangat mahir dalam hal ilmu gramatika (baca; nahwu sharaf).

Memang hidup manusia, sebagaimana dikatakan Martin Heidegger, adalah suatu kehadiran yang tertuju kearah kematian. Ada beberapa pandangan mengeni alur kehidupan ini. Ada yang berkeyakinan, jalur hidup ini berjalan ke depan secara linier. Ada yang berpendapat ke depan dalam bentuk spiral, dan ada pula yang berpaham bagaikan daur siklus. Namun, yang pasti, agenda kehidupan ini diyakini berjalan maju, sementara waktu dan peristiwa yang telah berlalu tidak bisa diputar kembali. Setiap saat merupakan momen dan peristiwa kehidupan baru yang berbeda dari yang sebelumnya.

Kiai: Sumber Belajar

Pondok pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren mempunyai sistem asrama dan kiai sebagai sentral utama, serta masjid sebagai pusat lembaganya dapat memanfaatkan sumber belajar yang ada secara optimal. Baik sumber belajar yang direncanakan atau yang dipakai. Dengan sumber belajar ini diharapkan dapat memecahkan problem belajar di pesantren. Sehingga dapat meningkatkan proses dan efektifitas hasil belajar.

Kiai sebagai sumber belajar akan selalu meluangkan waktunya untuk membelajarkan santri berdasarkan kemampuan-kemampuan santri. Hal ini sebagai perwujudan sikap kiai yang menganggap bahwa santri adalah makhluk terhormat. (Dhofier, 1985), serta diperlakukan secara manusiawi. Implikasi dari sikap ini adalah tanggung jawab kiai dalam menumbuhkan motivasi santri yang selalu menaruh perhatian dan mengembangkan watak pendidikan individual.  Santri dididik sesuai dengan kemampuan dirinya. Santri yang cerdas dan memiliki kelebihan kemampuan daripada yang lain diberi perhatian istimewa. Dan selalu didorong untuk terus mengembangkan diri dan menerima pendidikan pribadi secukupnya. Santri juga diperhatikan tingkah laku moralnya secara teliti, agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh sikap-sikap negatif yang dapat melemahkan ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Di samping itu juga kapasitas ibadah santri selalu diperhatikan, dimana santri diwajibkan untuk shalat berjamaah tiap waktu. Kewajiban shalat berjamaah ini merupakan implementasi dari ajaran agama, bahwa shalat berjamaah pahalanya berlipat duapuluh tujuh kali dari shalat sendirian.

Demikian besarnya perhatian kiai Mahsuli dalam membimbing dan mengarahkan para santri di atas menunjukkan keseriusan beliau untuk menjadikan santrinya sebagai manusia-manusia yang ‘alim dan shalih. Yaitu manusia yang berilmu agama yang kuat dan selalu berbuat kebaikan. Ukuran ‘alim bagi santri di pesantren dapat dilihat dari kuantitas dan kualitas kitab-kitab kuning yang pernah dipelajarinya. Semakin tinggi kitab yang dikaji, maka semakin ‘alim santri tersebut. Sedangkan ukuran shaleh dapat dilihat dari sikap, perilaku, dan ketaqwaan santri dalam menjalankan syariat agama. Implikasi dari ‘alim dan shaleh adalah mereka –para santri– belajar dan beribadah tanpa mengenal lelah (Stenbrink, 1980). Selalu bersikap sopan dan rendah hati kepada semua orang serta mengamalkan ilmunya kepada orang yang membutuhkan, baik pada waktu di pesantren apalagi ketika berada di tengah-tengah masyarakat. Dan tausiyah ini selalu didoktrinkan Kiai Mahsuli kepada para santri hampir di setiap kajian kitab kuning yang ia ampu.

Sebagai konsekwensi dari perhatian kiai yang demikian besar ini, maka apabila ada santri yang kurang serius dalam belajar dan melakukan tindakan amoral, maka kiai akan ‘marah besar’ bahkan kadang memutasi dari pesantrennya. Tindakan ini dilakukan semata-mata untuk mendidik para santri, agar mereka tidak mudah melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan dirinyaa dan orang lain. Sehingga mereka dapat kembali ke jalan yang benar.

Dengan model pendidikan dan wibawa kiai yang khas di atas, pesantren telah berhasil melahirkan beberapa alumni santri yang berhasil di tengah-tengah masyarakat. Dan indikator keberhasilan itu adalah banyaknya para alumni yang kebanyakan tersebar di berbagai lini kehidupan. Semisal sebagai tokoh masyarakat, politikus, pengasuh pesantren dan pakar-pakar dakwah yang handal.

Selamat jalan pembimbing kami, kiai kami dan pejuang masyarakat Lamongan yang tak pernah lelah ini. Jasa dan pengabdian Engkau akan ditetap terpatri didada kami. Allahumaghfir lahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu waj'alil jannata matswahu. Amin…


(Ali Shodikin; Pecinta tafaqquh fiddin di Matholi’ul Anwar Simo Lamongan dan Akhmad Faozan; Direktur Santri PP. Matholi’ul Anwar)