Opini

Rekonsiliasi Bukan Berarti Melupakan

NU Online  ·  Senin, 4 Oktober 2010 | 00:45 WIB

Oleh: Saiful H. Shodiq

Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB, 2/10) muncul dengan berita yang menggembirakan. Dengan didukung oleh MPR, FSAB mengadakan “rekonsiliasi anak tokoh bangsa” yang dulu pernah terlibat dalam konflik politik di Indonesia. Putri Bung Karno, putra Pak Harto, putra DNA dan lainnya terlibat di dalam forum itu.

Sebagai bagian dari jaringan anak muda NU yang menggagas dan bekerja untuk “rekonsiliasi akar rumput” atas tragedi politik 1965, saya sangat senang membaca berita itu. Saking senangnya hingga saya merasa perlu mengkonfirmasi bagaimana acara itu terjadi. Seorang yang ada di dalam acara itu berkata bahwa MPR berharap pada FSAB untuk memperkuat 4 (empat) hal: Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, yang dikembangkan dalam bingkai Anti Kekerasan.

Seketika terfikirkan dua hal dalam diri saya. Pertama, bagaimana mungkin peristiwa rekonsiliasi anak tokoh bangsa itu akan menjadi awal dari langkah-langkah konkrit ke arah grassroot? Kedua, apakah mungkin peristiwa itu akan mengubah paradigma penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dari “not forget to forgive” ke “forget to forgive”?

 ---o0o---

Sebagaimana diketahui, peristiwa pembunuhan 8 (delapan) jendral Jakarta dan di Yogyakarta telah diiringi oleh peristiwa tragedi 1965  yang dikategorikan sebagai tragedi kemanusiaan. Jutaan orang menjadi korban. Bisa jadi peristiwa tragedi kemanusiaan 1965 menjadi besar karena merupakan arus balik dari gegap gempitanya revolusi nasional.

Pemahaman saya atas berita FSAB itu, saya mengandaikan peristiwa itu akan mengawali satu fase tawaran penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, yakni forget to forgive. Buru-buru saya membawa berita koran itu ke seorang ketua organisasi korban 1965. Saya merasa perlu berdiskusi dengannya atas pemahaman yang saya dapat dari berita itu. Saya tanyakan kepadanya bagaimana mungkin rekonsiliasi dengan forget to forgive? Satu hal yang tidak mudah untuk menjawab, dan terlebih juga tidak akan mudah untuk menjalankannya.

Acara FSAB di MPR itu memiliki makna monumental karena dapat menjadi “pengingat” bagi siapapun; bahwa penting untuk memutuskan mata rantai rasa dendam masa lalu sebagai sesama anak bangsa. Meski dilihat dari skup luas korbannya tidak akan dapat memiliki makna apa-apa jika tidak dapat dilanjutkan dalam wujud yang nyata di dalam ruang kehidupan para korbannya. Artinya, bahwa tawaran bekerja untuk Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika juga tidak akan banyak manfaatnya jika keempat itu difahami sebatas (sebagai) simbol (ideologi dan dasar negara) saja. Ambil contoh tentang sila kelima dari Pancasila; Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Berpijak dari sila kelima itu, perlu kiranya disusun langkah-langkah konkrit di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya untuk mensikapi dampak-dampak dari masa lalu, sehingga dapat menjadi bagian dari penyelesaian problematika yang dialami korban hingga kini.

Demikian halnya bagaimana langkah-langkah nyata untuk menghapuskan “Penjara Seumur Hidup” bagi korban 1965 yang telah diciptakan dalam bentuk “ingatan kolektif” yang dijaga dan direproduksi dalam sistem informasi, sistem sosial, juga dalam pendidikan formal dan non formal.  Bagaimana pula memperkuat NKRI dengan jalan mempererat hubungan antar keluarga dan lainnya; sehingga jika semua dapat terumuskan dan diimplementasikan dengan baik maka gerakan FSAB itu akan dapat mewujud di dalam ruang nyata kehidupan korban.

Forget to forgive mungkin bukan satu pilihan yang lebih baik dari pilihan not forget to forgive. Namun, jika memang hanya ada kesempatan untuk memulai menyalakan lilin, kiranya itu lebih baik daripada selalu meratapi gelap gulitanya masa lalu bangsa ini. Wallahu a’lam


Saiful H. Shodiq, seorang penggagas Jaringan Kerja Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat) Indonesia, tinggal di Jalan Kramat Batang Jawa Tengah.

 <>