Oleh Asmawi Mahfudz
Membaca dan memperhatikan program kepengurusan Pengurus Besar Nahlatul Ulama periode 2015-2020, dibawah komando KH Ma’ruf Amin dan KH Said Aqil Siroj, terdapat satu hal menarik, yaitu tentang garapan pendirian Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU). Program ini patut diapresiasi sebagai usaha untuk mencerdaskan anak bangsa terutama warga Nahdliyin sebagai umat Mayoritas di Republik Ini.
<>
Tetapi tantangannya memang begitu beratnya, di samping sebagai janji pahala dari Allah Swt. Mungkin tantangan terberatnya adalah membuat common sense (kesadaran dan kebutuhan bersama) di internal NU akan terwujudnya PTNU. Karena Nahdlatul ulama sebagai ormas keagamaan sudah terbiasa melakukan gerakan-gerakan keagamaan secara bebas, merdeka dan individual. Sehingga program perjuangan keagamaannya lebih banyak ketergantungan kepada individu seorang tokoh. Sehingga kalaupun banyak lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal juga dinisbahkan kepada individu tokoh tertentu, bukan organisasi NU itu sendiri.
Maka tidak heran kalau lembaga-lembaga pendidikan itu milik “orang NU” bukan “milik NU” sebagai jam’iyahnya. Taruhlah contoh di NU ada Rabithah Maahid Islmiyah (RMI) dan Lembaga Pendidikan Ma’arif yang konsentrasi pada lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan NU. Tetapi realitanya mereka akan kesulitan untuk menyatukan visi dan misi sesuai dengan AD-ART NU, karena lembaga pendidikan yang mereka atur mempunyai AD ART sendiri-sendiri.
Walaupun demikian, seberapa besar dan berat tantangan yang dihadapi PBNU, kita patut apresiasi dan membantunya, sehingga program tersebut bisa sukses untuk dijalankan, dalam rangka berpartisipasi aktif dalam menjalankan dakwah pembangunan bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan Tinggi. Seiring dengan problematika sistem pendidikan yang ada di Indonesia, semoga PTNU nantinya dapat memberikan solusi progresifnya.
Ikhtiar untuk memperbaiki problematika tersebut sebenarnya sudah diupayakan. Jikalau di sana sini masih terdapat hambatan dan tantangan, itu merupakan by process menuju tujuan pendidikan nasional yakni mencerdaskan seluruh elemen bangsa Indonesia. Perbedaan pandangan tentang penyelenggaraan pendidikan adalah soal yang wajar, senyampang didasari oleh obyektivitas data dan fakta tentang kondisi pendidikan yang terjadi di Indonesia demi peningkatan kualitas, baik menyangkut pendidikan umum maupun pendidikan keagamaan.
Persoalannya sekarang adalah selama ini brain sistem pendidikan kita masih didominasi oleh pendidikan umum, di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan serta Kementrian riset dan Pendidikan Tinggi. Padahal sendainya kita memberikan perspektif pendidikan nasional dengan sudut pandang pendidikan Islam, kualitas pendidikan di Indonesia akan lebih cepat untuk sampai kepada tujuan pendidikan yakni mewujudkan masyarakat yang cerdas, baik lahir maupun batin. Tujuan pendidikan nasional Ini dapat terealisir seandainya dapat belajar dari sudut pandang pendidikan Islam.
Dalam Islam, pendidikan dimaknai sebuah wahana dalam rangka menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada seluruh umat manusia, dalam istilah agama disebut dengan tabligh al-risalah (menyampaikan ajaran). Artinya menyampaikan ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah Saw. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak zaman Rasul Saw. diteruskan oleh para sahabat, kemudian masih tetap eksis sampai sekarang ini.
Dari rentang waktu sekitar 15 abad, itu merupakan inspirasi awal bagi konsep pendidikan Islam ideal. Mungkin ini dapat diretas dari beberapa nilai-nilai yang ditanamkan oleh Rasul Saw dan para sahabat sebagai tipologi nilai (value) pendidikan ideal. Secara teologis, pernyataan ini dapat dilacak dari Hadits Nabi Saw. yang berbunyi “Khairul Quruni Qarni, tsumma alladhina Yaluuni, tsumma al-lladhiina yalunahum” sebaik-baik masa adalah masa di mana aku hidup, kemudian masa orang-orang sesudahku (sahabat), diteruskan masa orang-orang yang hidup sesudah sahabat (tabi’in). Hadits Nabi ini menyiratkan bahwa kualitas pemahaman dan pengamalan Islam yang paling baik adalah pada masa Rasul, sahabat dan tabi’in. Di mana pada saat itu Islam otentik (genuine) diajarkan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Artinya kualitas ke-Islaman seseorang diukur dari sisi komitmen pengamalan ajaran Islamnya, bukan dari sisi fase atau zaman di mana dia hidup.
Hal ini juga dinyatakan oleh pemikir Muslim Pakistan, Fazlurrahman; bahwa pada zaman Nabi Saw. dan sahabat hidup disebut dengan high tradition, sebuah kehidupan di mana pengamalan ajaran Islam otentik sesuai dengan al-Qur’an dan tuntunan Sunnah Rasul, belum banyak mendapatkan kontaminasi dan interest kepentingan ketika mengamalkan ajaran Islam. Pengamalan di maksud dapat berupa ubudiyah pengabdian kepada Allah dan Rasulullah yang selalu dengan niat yang ikhlas, politik ketatanegaraan untuk melayani rakyat (ummat), sisi ekonomi dalam rangka distribusi kebutuhan menegakkan keadilan, maupun dalam bidang pendidikan yang selalu didasari tujuan menghilangkan kebodohan dan transformasi ilmu pengetahuan.
Dalam konteks sosial Arab, budaya baca dan menulis hanya terbatas di komunitas Yahudi dan Nasrani, dua kelompok itu, yang dapat membaca dan menulis jumlahnya sangat terbatas. Untuk itu setelah terjadinya perang Badar, ada beberapa tawanan perang yang pandai membaca dan menulis. Maka Nabi memberikan tawaran kepada para tawanan ini, untuk bisa menebus dirinya mereka harus mengajarkan baca tulis kepada 10 orang Muslim untuk seorang tawanan (Asrahah:1999). Tradisi yang dilakukan Nabi Saw. dengan para tawanan ini, merupakan nilai kosmopolitanisme yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan Islam dalam konteks dunia modern. Sebuah perilaku pendidikan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat ideologi (keyakinan), genealogi (keturunan) ataupun latar belakang sosial apapun. Padahal konteks Arab pada masa Nabi hidup, budaya syu’ubiyah (fanatisme) golongan sudah mendarah daging dalam tradisi masyarakat Arab. Maka yang dilakukan Nabi dengan menyuruh orang-orang non muslim untuk mengajari baca tulis Arab (al-Qur’an) kepada orang-orang Islam merupakan lompatan budaya saat itu.
Untuk itu nilai-nilai seperti yang diterapkan oleh Nabi saw. itu dalam dunia kekinian, urgent untuk diterapkan, mengingat sering terjadinya ego sectarian dalam dunia pendidikan kita. Baik dunia pendidikan Islam di bawah naungan Kementrian Agama (Kemenag) maupun pendidikan umum di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemedikbud). Demikian juga dalam tradisi Nabi, hubungan antara guru dan murid lebih dari sekedar hubungan lahiriyah saja, tetapi guru dan murid memiliki hubungan baik dari sisi phisik (ajsam), arwah (psikis), dan akal. Dari ketiga sisi hubungan inilah seorang guru akan mampu untuk menyampaikan ilmu (transformation of knowleghe), membentuk kepribadian sampai kepada tanggung jawab dunia dan akhirat. Tradisi seperti inilah yang sulit diwujudkan oleh para pendidik saat ini, ditengah situasi kondisi sosiologis masyarakat, yang semakin hari semakin luntur komitmen perjuangan dan pengorbanannya.
Akhirnya, apabila mengaca dari profil pendidikan Islam masa klasik, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa pendidikan Islam mempunyai karakter yang berbeda dengan pendidikan umum, apalagi dengan pendidikan barat. Dalam pendidikan Islam terdapat perspektif ta’abudiyah-nya. Artinya kegiatan belajar mengajar yang dijalankan oleh komponen pendidikan adalah dalam rangka beribadah atau mengabdi kepada Allah Swt. Untuk itu pengabdian kepada Allah harus didasari oleh niat ikhlas dan penuh perjuangan. Juga pendidikan Islam adalah knowleghe oriented, artinya kegiatan dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan ansich, bukan materi, jabatan, atribut social atau yang lainnya.
Belajar dari karakteristis pendidikan Islam klasik itu, smoga PTNU bisa mengaktualisasikannya, dapat menyelesaikan problematika pendidikan Islam Indonesia sekarang ini. Baik masalah kita menyangkut komitmen atau profesionalisme para pendidik, siswa yang semakin hari semakin mengkhawatirkan kenakalannya atau semakin jauh dari akhlaqul karimah (akhlak mulia sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul) dan karakter bangsa.
Nampaknya aktulisasi dan revitalisasi nilai-nilai pendidikan Islam yang nantinya didirikan oleh NU, dapat mewarisi nilai-nilai pada zaman Rasul SAW. dan sahabat, menjadikannya momentum yang tepat, di tengah gersangnya nilai-nilai Islam di dunia pendidikan kita. Wa Allahu a’lam bi al-shawab.
Asmawi Mahfudz, pengajar IAIN Tulungagung, Pengasuh Ponpes al-Kamal Kunir, dan Mustasyar NU Blitar
.
Terpopuler
1
Pengurus JATMAN 2025-2030 Terima SK Kepengurusan dari PBNU
2
Hukum dan Tata Cara Shalat Sunnah pada Malam Nisfu Syaban
3
Arifatul Choiri Fauzi Pimpin PP Muslimat NU Periode 2025-2030
4
Profil Arifatul Choiri Fauzi, Nakhoda Baru PP Muslimat NU 2025-2030
5
4 Ragam Membaca Yasin pada Malam Nisfu Sya'ban
6
Khutbah Jumat: Beramallah, Rezeki Kita akan Berkah dan Bertambah
Terkini
Lihat Semua