Opini

Pendidikan Bina Damai untuk Keamanan Umat Manusia

Jum, 14 Desember 2018 | 04:30 WIB

Pendidikan Bina Damai untuk Keamanan Umat Manusia

Ilustrasi damai (via Selasar)

Oleh A. Rifqi Amin

Penggunaan istilah human security baru dipopulerkan sekitar awal 1990-an. Lebih tepatnya pasca berakhirnya Perang Dingin. Salah satu fungsinya saat itu untuk menjamin “keamanan” umat manusia pada berbagai isu sosial, ekonomi, politik, dan kemanusian. Dengan nilai tersebut, diharapkan dapat meringankan penderitaan manusia secara global. Terbebas dari penyakit, kemiskinan, kelaparan, peperangan, dan lain-lain. Terutama yang berada di negara berkembang. Kemudian pada sekarang ini pemahaman terkait human security mulai dipersempit hanya pada bidang perdamaian (nirkekerasan atau bina damai).

Human security merupakan paradigma baru yang dibangun untuk menjamin keamanan yang tidak hanya dalam sekup wilayah tertentu atau negara, tetapi hingga pada level tiap individu. Artinya, cara pandang tersebut berfokus untuk menjamin hak-hak individu serta menjunjung nilai perdamaian sehingga pada puncaknya tercipta keamanan global. Konsep ini lebih menekankan pada proses tindakan yang cerdas, kreatif, dan damai (nirkekerasan) dalam penyelesaian masalah. Dari sini ditemukanlah pembeda antara human security dengan human devolepment.

Intinya, apa pun itu yang bisa berpotensi merusak perdamaian seperti kekerasan biasa hingga kekerasan ekstrim seperti terorisme bisa diredakan menggunakan pendekatan human security maupun melalui pendidikan bina damai (peace education). Dengan demikian, sudah seharusnya konsep tersebut dijadikan norma (nilai) bersama sehingga menjadi moral luhur yang dijunjung tinggi.  Dengan penerapan etika itu maka setiap individu diharapkan akan terbebas dari rasa takut, ancaman, hingga tindak kekerasan. Baik kekerasan verbal maupun nonverbal. Baik kekerasan yang dilakukan untuk memenuhi faktor kebutuhan biologis hingga faktor ideologis-psikologis.

Manusia dan Kekerasan

Wacana tentang pengembangan human security maupun pendidikan bina damai akan selalu relevan sampai kapan pun. Sebab hubungan manusia dengan kekerasan adalah suatu yang tidak bisa dilepaskan. Dalam perjalanan hidup manusia dari masa prasejarah hingga sekarang ini masalah kekerasan selalu menghiasi. Adapun pembedanya dari masa ke masa terletak pada tingkat besar kecilnya dan pola kekerasan yang dilakukan. Oleh sebab itu, sampai kapan pun permasalahan human security dan pendidikan bina damai sangat penting untuk dikembangkan.

Klaim manusia sebagai makluk berperadaban, berbudi, dan memiliki konstruk cita-cita mulia masih layak dipertanyakan. Alasannya, masih ada manusia yang tidak berbudi, tidak beradab, dan tidak punya visi misi mulia. Tidak sulit dijumpai individu yang berlabel manusia sadis, perusak, dan tak beradab. Bisa dikatakan mereka dapat disebut individu anti-human security. Yakni, manusia mekanis-pragmatis yang hanya fokus pada kepentingan diri. Tanpa peduli terhadap kemanan dan hak damai yang dimiliki manusia lainnya.

Hubungan manusia dan kekerasan dalam sejarah memiliki kenyataan yang tak terhindarkan. Pada zaman dulu kekerasan (memberi ancaman, menyiksa, dan membunuh) digunakan untuk memuaskan hasrat biologisnya. Mereka bersedia melakukan kekerasan atas nama demi memenuhi hasrat seks dan mendapat makan atau minum yang cukup. Tentu kekerasan dilakukan juga demi menjaga wilayah kekuasaan atau bahkan untuk mendominasi manusia lainnya yang lemah. Waktu itu bentuk kekeresan masih didominasi oleh motif alamiah.

Sekarang, kekerasan yang dilakukan manusia telah berevolusi (bergeser). Kekerasan yang dilakukan tidak lagi terkait masalah ragawi semata. Juga tidak untuk mempertahankan maupun merebut kekuasaan dari pihak lain. Kekerasan dan terorisme dewasa ini dilakukan demi mendapat kepuasan batin hingga sebagai bentuk penyucian diri di hadapan Tuhan. Akibatnya, potensi ancaman seperti itu tidak akan pernah reda bila hanya dengan cara memenuhi kebutuhan fisik pelakunya. Masih diperlukan cara lain dengan pendekatan spiritualis, psikologis, idiologis, dan batiniah melalui pendidikan bina damai. 

Ancaman dan Tawaran Solusi

Aksi kekerasan maupun terorisme sebagai musuh dari human security dan lawan bagi pendidikan bina damai telah mengkhawatirkan keamanan bangsa. Meski beberapa bulan terakhir terjadi penurunan, tapi peluang muncul kembali masih besar. Cuma menunggu situasi dan waktu yang tepat maka bukan mustahil akan meledak di kemudian hari.

Tentu potensi itu tidak hanya pada sumber daya finansial maupun peralatan. Namun, yang patut dikhawatirkan adalah kekuatan doktrin ideologis dan psikologis yang sulit untuk dilacak maupun dihapus. Apalagi bila orangnya tertutup dan bibit radikal terlanjur tumbuh mekar.

Masih banyak ditemui kasus berbagai kalangan yang tak acuh terhadap keselamatan dan keamanan manusia lain. Mereka cenderung peduli hanya pada manusia yang ada di dalam kelompoknya. Konsep human security masih diaplikasikan pada sesama kelompok (dilokalisir). Semangat primodial dan hegemoni simbolis menyebabkan mereka menafikkan komunitas lain. Akibatnya, untuk menunjukkan keunggulan kelompok dengan ringan mereka memberi cap salah, kafir, dan sesat (bidah) pada pihak lain. Bahkan mereka membawa nama Tuhan hingga ancaman masuk neraka untuk menabur keresahan. Tentu tak peduli kondisi psikologis dan sosiologis individu lain.

Dalam menghadapai masalah di atas, salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah melalui media pendidikan. Tepatnya pendidikan bina damai yang bermuatan nilai-nilai human security. Bisa dikatakan pendidikan bina damai menjadi salah satu cara memperkokoh paradigma human security tersebut. Terlebih, semakin elok bila peserta didik sejak dini dibiasakan menggunakan bakat yang dimilikinya untuk menciptakan dan membangun keamanan hidup bagi sesama.

Diharapkan kemudian hari saat menjadi aktivis LSM, aktivis mahasiswa, aktivis kemanusian, dan lain-lain tidak akan melakukan aksinya dengan tindak kekerasan. Misalnya membakar ban bekas, memblokir jalan raya, melempari polisi, mencaci maki pihak lain, atau perbuatan radikal yang semacamnya.

Aksi-aksi ganjil di atas dapat mengganggu keamaan orang lain secara langsung maupun tidak. Menimbulkan kepanikan, kesusahan, dan kecemasan bagi orang lain. Akan jauh lebih baik bila aksi atas nama Tuhan maupun atas nama kemanusiaan dilakukan dengan cara damai, elegan, cerdas, dan kreatif. Misalnya dengan menampilkan wajah agama dengan menggunakan narasi yang positif. Bisa juga dengan berkampanye atau menyalurkan aspirasi melalui media online.

Contoh saja seperti membuat tulisan di blog, meme (tulisan bergambar), video pendek, serangan hastag bersamaan di medsos dan lain-lain. Usaha tersebut akan jauh lebih menarik dan menimbulkan simpati masyarakat. Pada akhirnya tujuan dan pesan perdamaian (human security) yang ingin disampaikan akan mudah diterima masyarakat.

Gampangnya, sebuah kearifankah tatkala ingin memperjuangkan harkat kemanusiaan secara umum tapi di sisi beda malah mengorbankan keamanan manusia lain? Seharusnya ketika seseorang hendak menjunjung nilai kemanusian maka tuntaskan masalah pada diri sendiri terlebih dulu. Apakah ia sudah menerapkan nilai-nilai human security atau belum.

Sebab, ibaratnya melawan api dengan api dengan tujuan menyita perhatian semua pihak maka sebenarnya masalah baru akan muncul. Alih-alih perjuangannya akan mendapat simpati malah sebaliknya akan menjadi blunder. Bukannya membantu membangun peradaban malah merusaknya dalam tempo singkat.

Internalisasi Nilai Human Security

Dalam upaya pencegahan aksi kekerasan hingga terorisme, konsep human security sangat berguna. Bagaimana tidak, dengan nilai-nilai tersebut manusia akan peduli hingga ikut menjaga keamanan manusia lainnya. Artinya, di dalamnya terdapat saling memiliki, mengasihi, percaya, dan terjadi dialog antar sesama manusia. Semua didudukan setara, sederajat, dan tanpa sekat dalam penyelesaian permasalahan kehidupan bersama. Di sinilah akan terjadi saling mengisi. Tidak ada yang merasa terpojok, tertekan, serta tidak ada yang merasa jadi korban akibat kerakusan manusia lainnya.

Harus diakui bahwa para pelaku kekerasan hingga terorisme mayoritas adalah remaja usia sekolah dan kuliah. Dari kenyataan itu wajar bila ada pertanyaan besar apa yang salah dengan pola pendidikan kita? Mengapa sistem pendidikan secara luas gagal dalam mengkader generasinya sehingga tidak sensitif lagi terhadap penerapan konsep human security? Internalisasi nilai apa saja yang sejauh ini ditanamkan dan dibiasakan pada peserta didik? Tentu masalah ini tidak hanya terjadi pada pendidikan formal tapi juga di ranah pendidikan informal hingga nonformal.

Bisa disimpulkan, bahwa internalisasi nilai human security mampu dilakukan melalui pendidikan dalam arti luas. Di mana, pendidikan bina damai yang bermuatan human security tersebut diajarkan sikap peduli (empati) terhadap perbedaan antar manusia lain, menghormati hak asasinya, menghargai keamanan fisik hingga psikologi mereka, serta bisa berdialog maupun bekerja sama secara produktif dengan siapa pun. Dengan itu para peserta didik bisa menjadi manusia yang terbuka (inklusif) baik secara pemikiran maupun dalam pergaulan.

Selain hal di atas, dalam pendidikan bina damai para peserta didik juga diajarkan passing over. Yakni, melompat batas (sekat) pemisah untuk mengenali dan memahami pihak di luar kelompoknya. Bersamaan itu, diharapkan akan tumbuh empati terhadap sesama manusia yang punya perbedaan. Dengan tumbuhnya empati maka nilai luhur dan kebijaksanaan akan bersemi. Konsep itu sesuai dengan tujuan akhir pendidikan secara umum yaitu tercapainya kebijaksanaan. Pada pencapaian tahap ini manusia akan menjadi jauh lebih berderajat tinggi.


Penulis adalah Dosen STAI Hasanuddin Pare, Kediri, Jawa Timur