Opini SURAT PEMBACA

NU Online dan Deradikalisasi

Selasa, 26 Januari 2016 | 02:30 WIB

Oleh Achmad Faiz MN Abdalla*
Pada Senin 11 Januari 2016, Harian Kompas memuat artikel tentang NU Online di kolom teratas rubrik Politik dan Hukum. Antony Lee, Wartawan Kompas yang menulis artikel tersebut memberi judul “NU Online: Islam Moderat di Dunia Maya” pada artikel sepanjang 16 paragraf tersebut. Artikel tersebut tentu memiliki arti penting di tengah persoalan terorisme dan radikalisme dewasa ini.

Kenyataannya, dunia maya menjadi wilayah yang banyak diserbu oleh paham-paham radikal. Internet membuka ruang baru untuk menyebarluaskan berbagai hal. Bahkan di negara-negara Eropa belakangan, muncul diskursus sekaligus kekhawatiran internet menjadi salah satu alat penting untuk menyebarkan paham radikal di kalangan remaja.

Peter Taylor, reporter senior BBC, mengulas radikalisasi di kalangan generasi muda di Inggris dalam tayangan dokumenter yang terdiri atas tiga seri pada awal 2010. Ia mengungkapkan bagaimana penyebaran paham radikal di kalangan generasi muda dilakukan dengan memanfaatkan internet yang memungkinkan komunikasi dan penyebaran infomasi nyaris tanpa sekat ruang dan waktu.

Pemerintah tentu sulit mengatasi penyebaran paham-paham keras tersebut. Organisasi keislaman seperti NU pun harus lebih banyak hadir di dunia maya. Karena itu, perkembangan NU Online pun tidak dapat dilepaskan dari keharusan tersebut. Yang semula sekedar berorientasi pada penyediaan informasi bagi kaum Nahdliyin, berkembang pada fokus penyebarluasan wacana Islam yang moderat.

Dengan demikian, tidak berlebihan bila Harian Kompas dan masyarakat memberi apresiasi terhadap eksistensi NU Online dalam menyebarluaskan Islam yang moderat dan toleran. Kompas mencatat, pada tahun 2015 lalu ada lebih dari 1,6 juta netizen mengakses lama NU Online. Jumlah tersebut naik 19 persen dibandingkan dengan tahun 2014. Selama tahun 2015, lama NU Online diakses 6,9 juta kali atau sekitar 800 kali setiap jam.

Menariknya, beberapa hari setelah dimuatnya artikel tersebut, tepatnya Kamis 14 Januari, sebuah peristiwa teror terjadi di Jakarta. Ledakan bom, pelemparan granat, serta penembakan oleh teroris pada siang bolong mengguncang Ibu Kota di tengah sentra keramaian. Seputar Jalan Thamrin, tepatnya pusat pertokoan Sarinah, menjadi ladang penyerbuan tersebut. Suasana mencekam pun tampak di jantung ibu kota ketika bom meledak di kedai kopi Starbucks dan pos polisi Thamrin. Peristiwa tersebut menewaskan 7 orang dan mencederai 24 orang.

Teror tersebut tentu menambah rentetan peristiwa teror di Indonesia. Rentetan peristiwa tersebut menjadi bagian tragedi kemanusian yang hingga kini tidak kunjung selesai menghantui Indonesia. Terorisme menjadi bagian masalah bangsa yang tidak bisa dianggap sepele dan membutuhkan keseriusan menanganinya agar menciptakan suasana damai dan kohesif.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Ari Sujito, menilai pendekatan yang dilakukan oleh negara dalam mengatasi peristiwa teror dapat dikatakan masih kedodoran. Pendekatan represif melalui strategi keamanan dan hukum yang dipergunakan dalam beberapa hal mampu meredam, namun kenyataannya masih kedodoran. 

Menurutnya, teror kekerasan bila sekedar diatasi dengan cara-cara represif, pada akhirnya sekedar menjadi teror versus teror. Bila hal tersebut diteruskan, tentu tidak akan melahirkan efek jera sebagaimana diperhitungkan. Karena pada saat bersamaan, pendekatan tersebut tidak dikombinasikan dengan strategi kebijakan, pendekatan kultural dialog, serta edukasi sosial yang terus menerus sebagai pilar nonrepresif (Kedaulatan Rakyat, 16 Januari 2016).

Bila demikian adanya, harus ada upaya koreksi pendekatan, membenahi strategi yang tidak sekedar mengatasi teror dengan jalan peperangan, atau sekedar mengatasi akibat dan risiko teror. Mengatasi teror hendaknya dengan menembus akarnya, intervensi melalui kebijakan pembangunan, orientasi keadilan serta arah baru dialog berbagai komponen. Hal tersebut dalam rangka membangun kembali semangat keindonesiaan yang damai dan berkeadilan.

Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila keberadaan NU Online patut diapresiasi sebagai bagian penting optimalisasi upaya non-represif dalam mengatasi terorisme dan radikalisme tersebut. Kehadiran NU di dunia maya melalui NU Online untuk mengatasi persoalan radikalisme dan terorisme dengan wacana Islam yang moderat dan toleran harus disadari pemerintah sebagai bagian penting upaya deradikalisasi. Dengan demikian, pemerintah tidak selalu terjebak pada strategi keamanan dan hukum yang struktural dan represif.

* Pelajar NU Gresik