Opini

NU: Empat Tahun Menuju Abad Kedua

NU Online  ·  Senin, 25 Maret 2019 | 09:45 WIB

Oleh Fathoni Ahmad

Tahun kelahiran sesuatu atau seseorang terkait dengan umur yang telah dicapai secara kuantitatif atau angka. Nahdlatul Ulama yang lahir pada 16 Rajab 1344 H kini telah mencapai usia 96 tahun pada 1440 H. Usia tersebut bisa dibaca dari dua sisi. Pertama dengan pencapaian usia tersebut, empat tahun lagi NU telah mencapai umur satu abad atau 100 tahun. Kedua, empat tahun lagi, NU menuju abad kedua.

Pembacaan kedua dinilai lebih visioner karena NU bisa menyiapkan diri menghadapi era dan perubahan sosial terkini. Bahkan, NU sejak telah menghadapi dan mampu melewati setiap zaman dengan tetap mempertahankan dan memperkuat identitas kultural sebagai basis kekuatan umat Islam di Indonesia.

Khazanah literatur klasik yang dikaji di pondok pesantren justru tidak membuat warga NU (Nahdliyyin) menjadi ikut-ikutan klasik, melainkan membangun pondasi kultural agar umat Islam maju secara agama, sosial, budaya, teknologi, dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa term ‘klasik’ hanya sebatas ditujukan pada lahirnya karya literatur tersebut, namun substansi yang ada di dalamnya merupakan produk pemikiran maju dari para ulama terdahulu.

Produk pemikiran maju tersebut telah menjadi tradisi mengakar di pesantren, yaitu Bahtsul Masail. Forum pembahasan persoalan-persoalan terkini dengan merujuk pada kitab-kitab klasik (thurats) tersebut menjadi wadah dan ruang produktif untuk menghasilkan produk-produk hukum Islam yang dapat diterima oleh masyarakat secara maslahat. Cara-cara untuk merawat pemikiran dan mengembangkan ilmu pengetahuan ini sudah berlangsung sejak lama saat KH Abdul Wahab Chasbullah menginisiasi Tashwirul Afkar (gerakan pemikiran) pada 1918.

Jalan panjang NU dalam merawat dan mengembangkan kemajuan bukan hanya membuat NU bakal berumur panjang, tetapi juga akan makin menebar banyak manfaat. Karena umur panjang tidak hanya dipahami secara angka, tetapi juga sejauh mana umur tersebut mampu menuai manfaat bagi orang banyak. Umar panjang secara angka jika tak dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas akan terlewat begitu saja, dilupakan orang, dan tak berbekas bagi kehidupan manusia di masa yang akan datang.

Saat ini, perubahan sosial semakin cepat. Hal ini berakibat problem yang ditimbulkan juga semakin kompleks sehingga dengan sendirinya, tantangan NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia juga mempunyai pekerjaan rumah yang tidak mudah. Apalagi perubahan tersebut disertai kemajuan pesat teknologi informasi dan digital. Dunia dalam genggaman. Seluruh individu, komunitas, kelompok, organisasi, bangsa, dan negara di semua belahan dunia dapat mengakses informasi secara realtime. 

Inovasi dan Kemajuan Berkelanjutan

Dahulu tradisi, budaya, pemikiran, dan ilmu harus didapat dengan mendatangi langsung seorang guru. Saat ini, dengan gadget di tangan, siapa pun bisa belajar lewat transformasi era digital berwujud media sosial, baik tulisan, video, gambar kartun, maupun gambar kutipan (meme). Bedanya, tradisi lama membentuk sekaligus mampu merawat jalinan masyarakat yang kuat dan kokoh secara keilmuan sehingga bisa membentuk budaya baru, sedangkan tradisi baru atau digital membentuk masyarakat virtual yang cenderung kurang humanis.

Namun, melihat realitas sosial saat ini, NU tidak terlalu takjub apalagi kaget. Sebab sedari awal, NU mempunyai prinsip al-muhafadzatu ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga nilai-nilai tradisi yang berguna buat umat dan mengambil secara selektif terhadap nilai-nilai baru yang lebih berguna untuk umat). Warga NU juga dituntut mempunyai jiwa inovatif di segala lini kehidupan, tak terkecuali bidang sosial dan agama yang selama ini menjadi concern NU. Langkah inovatif ini harus berjalan terus menerus agar NU tetap menjadi subjek (fa’il) atau produsen, bukan objek (maf’ul) atau konsumen di tengah perubahan.

Langkah itulah yang disebut Rais ‘Aam PBNU KH Ma’ruf Amin dalam Peta Jalan NU Abad Kedua (2018) dengan prinsip al-ashlah ilaa mahuwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah (innovative and continous improvement). Jadi, menjaga tradisi merupakan hal penting, mengadopsi dan selektif terhadap tradisi baru juga langkah yang tidak kalah penting, tetapi tetap berinovasi merupakan langkah yang sangat penting sehingga peran NU sebagai subjek akan konsisten atau istiqomah dalam keaktifan memberi manfaat (maslahah) untuk umat di seluruh dunia.

Konsep Islam Nusantara sebagai sebuah karakter dan tipologi Islam khas di Indonesia juga perlu terus digaungkan. Sebab, nilai-nilai Islam yang dikembangkan oleh para ulama Nusantara dengan jutaan khazanahnya selama ini mampu menginspirasi warga Muslim dunia untuk bisa adaptif dengan tradisi dan budaya lokal, di mana pun Muslim itu berada. Dengan prinsip kemasyarakatan yang dikembangkan oleh NU seperti tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), i’tidal (tegak lurus/adil), dan amar ma’ruf nahi munkar menjadikan Islam dapat diterima siapa saja. Alasan fundamental itulah yang mejadikan Islam dapat mudah diterima oleh masyarakat lokal Nusantara hingga saat ini Indonesia menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Dalam hal ini, semangat hasil Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992 perlu menjadi rujukan, yakni prinsip istinbath jama’iy untuk menghadapi berbagai dinamika masyarakat yang berubah secara cepat. Jika di abad pertama NU telah membuktikan kecerdasan ijtihadnya untuk mempertemukan paham keagamaan dengan paham kebangsaan yang kemudian melahirkan ideologi Pancasila dan NKRI sebagai sebuah konsep kenegaraan yang sudah final secara hukum agama, maka tantangan NU di abad kedua akan menghadapi hiruk-pikuk perubahan sehingga istinbath jama’iy perlu terus dialakukan.

Istinbath jama’iy ini metode pengambilan hukum secara kolektif dengan menyandarkan diri kepada berbagai pendapat para ulama madzhab. Salah satu poin penting dari keputusan Munas Lampung tersebut ialah pengembangan pengambilan hukum dari secara qauliy (pendapat ulama) ke manhajiy (metodologis). Metode qauliy mengharuskan pengambilan hukum jika ada pendapat ulama yang menjelaskan. Konsekuensinya, jika pendapat ulama tersebut tidak ada dalam kitab mana pun, maka sebuah hukum tidak bisa diputuskan alias mauquf (tertunda). 

Dampak dari metode ini, NU tidak bisa merespon perubahan zaman secara cepat. Maka dari itu, diambillah metode manhajiy yang dititikberatkan kepada metodologi pengambilan hukum. Manhajiy ini yang paling relevan, sebab meskipun pendapat ulama secara sharih tidak ada, namun hukum tetap bisa diputuskan secara metodologis sehingga NU bisa terus merespon perubahan secara cepat pula.

Dakwah NU

Terlihat jelas di depan mata bahwa bidang dakwah memerlukan perhatian serius sebagai washilah menyebarluaskan prinsip-prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin. Ulama, kiai, ustadz, dan santri saat ini tidak cukup hanya menggunakan model lama dalam mendakwahkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah, tetapi juga harus mampu menggunakan dan memanfaatkan media baru (new media) berbasis digital agar dakwah Aswaja tetap familiar dan bisa diterima oleh generasi milenial.

Dakwah di dunia maya atau internet harus terus diperkuat oleh NU karena sejumlah penelitian dan studi mengungkapkan bahwa paham keagamaan generasi muda saat ini lebih banyak terpengaruh oleh konten-konten keagamaan di internet dan media sosial. Jika tidak mempunyai kemampuan memfilter informasi, seketika mereka akan terpengaruh dan termakan terkait paham keagamaan yang mereka konsumsi di internet. Dampaknya tentu saja mempengaruhi pola pikir dan perilaku keagamaan yang tidak sedikit menimbulkan paham yang sempit dan keras dalam memahami agama.

Hasan Chabibie dalam Literasi Digital: Transformasi Pendidikan dan Inspirasi Generasi Milenial (2017) mengatakan, di tengah arus media digital yang demikian massif, kebinekaan yang menjadi identitas warga Indonesia mendapat ancaman (tantangan, red) serius. Ancaman itu berupa meningkatnya eskalasi kebencian dan provokasi yang disebarkan secara massif melalui media sosial. Revolusi teknologi dan mudahnya akses media sosial ternyata menyimpan ruang gelap berupa kebencian dan isu-isu negatif yang dihembuskan kelompok radikal.

Kelompok yang radikal yang diidentifikasi Hasan Chabibie tidak terlapas dari kelompok konservatif yang menghembuskan isu-isu keagamaan untuk kepentingan politik kekuasaan. Namun sebelumnya, kelompok ini sudah beredar di Indonesia dengan upaya meresahkan masyarakat dengan dalil-dalil keagamaan yang cenderang menyerang tradisi keagamaan masyarakat Indonesia.

Kini ruang mereka lebih luas di era perkembangan digital dengan merambah dakwah di media sosial untuk mempengaruhi masyarakat secara luas dengan pemikiran-pemikiran radikal dan dalil-dalil keagamaan yang konservatif. Di sinilah tantangan besar generasi milenial agar lebih cerdas dalam memilah dan memilih informasi yang harus diikuti atau dikonfirmasi kebenarannya (tabayyun). Era digital ini tidak memungkiri bahwa yang selama ini berkembang justru wacana-wacana keagamaan kontraproduktif karena agama yang seharusnya bisa memperkuat persaudaraan (ukhuwah) berbagai elemen bangsa justru menjadi pemicu perpecahan di antara anak bangsa. 

Sehingga tidak heran ketika Rais Syuriyah PBNU, KH Ahmad Ishomuddin (2017) mengatakan bahwa generasi saat ini mempunyai semangat belajar keagamaan yang tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan upaya memahami agama yang tinggi pula. Sebab itu, belajar kepada guru, ustadz, dan kiai yang tepat mempunyai peran yang sangat penting untuk mendukung gagasan literasi digital. Wallau’alam bisshawab.


Penulis adalah Pengajar di Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta