Opini

Ngaji Kuping sebagai Solusi Atasi Kesendirian Lansia

Sel, 28 Mei 2019 | 12:00 WIB

Oleh Syakir NF
 
Ada 24 juta lebih penduduk Indonesia yang usianya lebih dari 65 tahun. Sebagian dari mereka tinggal sebatang kara, sendirian. Data BPS 2017 menyebutkan ada 9,80 persen dari 24 juta lebih penduduk lansia hidup sendiri. 14,37 persen perempuan, sedang laki-laki berjumlah 4,75 persen. Persentase di kota berjumlah 9,15 persen, sementara 10,44 persen di desa. Kesendirian mereka menjadi salah satu masalah yang perlu ditangani. Sebuah penelitian di Amerika menyebut 30 ribu orang/tahun meninggal dalam keadaan sendiri di Jepang, sedang di Indonesia belum ada data yang menyebutkannya.
 
Belum diketahui pasti kesendirian mereka disebabkan apa dan persentasenya berapa. Juga belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal itu atau mungkin penulis yang belum menemukannya. Tapi, sependek pengetahuan penulis, bisa jadi karena faktor sentralisasi. Kota yang berkembang maju menggerakkan masyarakat desa bermigrasi guna mendapat kehidupan yang lebih baik.
 
Di kota, bukan saja untuk mencari pekerjaan, tetapi tak sedikit juga di antara mereka yang menempuh pendidikan lanjut. Namun, selepas rampung studi, mereka tak pulang kembali ke desa, tetapi melanjutkan kehidupannya di sana dan berkeluarga. Sementara orang-orang tua mereka enggan mengganggu kehidupan anaknya dan memilih hidup sendiri.
 
Kesendirian ini dapat berdampak negatif pada kesehatan karena memengaruhi pikirannya. Orang-orang demikian perlu perhatian dari masyarakat sekitarnya. Hal demikian yang perlu ditumbuhkan dalam lingkungan kita.
 
Salah satu solusi Jepang adalah dengan membuat semacam panti jompo sebagaimana di Indonesia. Namun, fasilitas yang cukup lengkap menjadi salah satu pembeda, meliputi pasar mini (mini market), fasilitas olahraga, dan sebagainya. Panti itu juga membuat klub-klub sesuai peminatan, seperti kaligrafi Jepang dan klub tertawa. Pada klub terakhir ini, penulis melihat nenek-nenek berkumpul di suatu ruangan dan tertawa-tawa saja di dalam. Tapi tidak seenaknya, mereka dipandu oleh satu dua orang pemandu.
 
Ngaji Kuping dan Majelis Zikir
Klub demikian sebenarnya sudah diterapkan oleh para kiai kita dengan membuat 'Ngaji Kuping'. Di desa penulis, hampir seminggu penuh ada jadwal Ngaji Kuping di beberapa kiai. Persis di depan rumah penulis, misalnya, di rumah alm. K.H. Abdul Basit Zen di hari Senin pagi, sekarang diampu oleh KH Jailani Imam dan KH Salman al-Farisi, dan di Jumat pagi diampu oleh KH Tajuddin Zen. Para jamaah datang dari desa-desa sekitar. Sebagian dari mereka berjalan dari rumahnya beberapa kilometer untuk sampai di tempat pengajian. Ada pula yang diantar oleh anak atau cucunya menggunakan sepeda motor.
 
Ngaji Kuping ini selain sebagai sarana taqarrub kepada Allah dengan tahlilan dan shalawatannya, juga menjadi ajang menggali pengetahuan. Biasanya, mereka menyimak pemaparan para kiai tentang amaliyah sehari-hari yang semakin mendekatkan mereka dengan Allah swt.
 
Tidak hanya itu, Ngaji Kuping juga merupakan sarana silaturahim. Sebelum pengajian dimulai, mereka saling berbagi kabar, bincang tentang banyak hal, anak-cucu misalnya. Kebersamaan dan saling cerita satu sama lain menghilangkan kesendirian mereka. Para sepuh ini juga biasanya mendawamkan shalat berjamaah di masjid atau mushala terdekat.
 
Selain ngaji kuping, para orang tua ini juga kerap mengikuti majelis zikir yang dibuka oleh beberapa kiai pada malam-malam tertentu. Pada malam Jumat di antara Maghrib dan Isya, misalnya. Selepas berjamaah di Masjid Agung Buntet Pesantren, sebagian jamaah tidak pulang ke rumahnya melainkan mengisi waktu dengan berzikir bersama sembari menanti waktu Isya tiba.
 
Kegiatan-kegiatan keagamaan itulah yang menjadi pengisi waktu luang orang-orang lansia di Indonesia, lingkungan pesantren khususnya. Bahkan para kiai memberikan THR kepada para jamaahnya sebelum lebaran tiba, baik berupa sandang, pangan, ataupun uang tunai.
 

Penulis adalah peserta Japan-ASEAN Student Conference JENESYS Batch 23, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, dan pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)