Oleh Muhammad Syamsudin
Era digital adalah era di mana banyak jalinan komunikasi yang dibangun berbasis digital. Kebutuhan eksistensi diri dan tampil sempurna ditangkap oleh kaum engineer dan technocrat sebagai peluang untuk menciptakan sebuah alat yang bisa menjembatani jurang komunikasi klasik yang menghendaki face to face (tatap wajah/talaqqy) menjadi face to media (tatap media). Karena tidak lagi berhadapan dengan objek face secara langsung, maka bahasa komunikasi pun menjadi berubah. Bahasa face to face yang sebelumnya menekankan pada keluhuran adab perilaku dan tutur, menjadi secara bertahap terpinggirkan. Memang realistis sih. Bagaimana mungkin bahasa tutur kata yang halus dan berbudi luhur disampaikan, lha wong yang dihadapi adalah media–makhluk abstrak, layar kaca. “Itu kan lucu,” kata Cak Lontong.
Orang menjadi merasa berhak untuk bertutur atas nama kebebasan berpendapat dan bebas melakukan interpretasi tanpa memandang itu akun siapa, karena fakta yang dihadapi hanyalah sebuah media layar kaca, android dan i-pad. Untungnya bukan makhluk astral.
Salah interpretasi dan mispersepsi (salah tanggap) terhadap sebuah status media sosial acapkali juga kita temui dan tak jarang berujung keributan di dunia nyata. Akhirnya, yang semula hanya dimaksud sebagai objek “dunia dalam diri” berubah menjadi “dunia dalam berita”. Berbagai fakta ini dapat kita temui dengan mudah di berbagai kesempatan, khususnya bagi pegiat media sosial.
Mispersepsi sehingga berujung kepada misinterpretasi sering ditemui disebabkan karena faktor rujukan sumber (source link) yang salah dari sebuah status analisis di media sosial. Misalnya, sumber informasi terbukti cacat dari sisi ilmiah diakibatkan keberpihakan sehingga tak terpercaya. Di sisi lain, ada juga yang memahami sebuah status media sebagai yang salah meskipun source link-nya benar. Rata-rata kesalahan interpretasi dan analisis para pihak yang masuk dalam wilayah ini adalah diakibatkan faktor eksternal, yaitu kesimpulan primordial sebelum fakta atau bisa jadi karena faktor internal, yaitu kesimpulan di dalam kesimpelan, atau bahkan kesimpulan di dalam kesémpèlan (Jawa = kegilaan akibat menisbikan rasio).
Sebuah contoh kasus, ada netizen menulis sebuah status dengan menyebut istilah ndoro (Tuan Besar) yang saat itu bertepatan dengan kedatangan salah seorang ulama besar dari sebuah negeri yang tengah berkonflik. Status netizen menyebut bahwa untuk apa para ulama’ dari negara yang berkonflik datang ke Indonesia dan memberi taushiyah seputar kerukunan dan lain sebagainya padahal negerinya sendiri tengah dilanda konflik. Faktor kebetulan menulis status di media dengan menyebut istilah ndoro yang bersamaan dengan kedatangan salah seorang ulama besar ke Indonesia dengan mudah ditanggapi oleh netizen sebagai satire disebabkan karena faktor situasional menulis yang tidak tepat.
Kata musytarak “ndoro” yang disematkan dalam bagian tulisan itu mengundang dua bilah interpretasi ma’nawi dan lafdhi. Kedua bilah interpretasi ini berusaha memberikan penjelasan menurut versi masing-masing. Ada yang menggunakan pendekatan aspek bahasa, dan ada pula yang menggunakan aspek sabab al-wurud. Menghubungkan kejadian yang statusnya juga masih dhann (prasangka) sebagai wurud-nya sabab menulis, menjadi satu aspek bagian penafsiran yang tidak dapat ditolak. Kasusnya hampir sama dengan ketika Allah SWT menurunkan Q.S. Al-Maidah 55 yang berbunyi:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيْمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Artinya: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS al-Maidah: 55)
Sejauh yang penulis ketahui, dalam kurang lebih 18 kitab tafsir, ayat ini diulas dengan mengaitkan sabab nuzul-nya dengan Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Ada mufassir yang menafsirinya dengan hanya memakai hadits bercerita soal Sahabat Ali saja, namun ada juga mufassir yang menafsirinya dengan beberapa kejadian lain, yaitu berkaitan dengan kejadian yang menimpa Sahabat Abu Bakar radliyallahu ‘anhu dan Abdullah bin Salam radliyallahu ‘anhu yang lepas dari cengkeraman kaum Yahudi.
Tafsir yang mainstream dilakukan oleh Syiah yang khusus menghubungkannya dengan kejadian Sahabat Ali karamallahu wajhah dengan seharusnya beliau menerima wilayah (kekuasaan) setelah Baginda Rasulillah SAW wafat. Tentu tafsir semacam ini tidak bisa diterima oleh kalangan Ahlussunnah wal Jamaah karena dalam ayat tersebut tidak berfaidah hasyr (keterbatasan) karena hal tersebut adalah mustahil. Mufassir Ahlussunnah wal Jamaah berpendapat bahwa jika ayat tersebut dimaknai dengan faidah hasyr, maka artinya seolah menunjuk bahwa hanya Allah, rasul-Nya dan Ali bin Thalib saja yang menjadi pemimpin kalian. Hal ini tentu tidak mungkin dan tentu mustahil dalam Islam disebabkan karena dalam satu waktu ada dua pemimpin sekaligus. Ini salah satu bukti bahwa penafsiran yang salah, dapat menghasilkan tanggapan yang salah bilamana seorang mufassir diliputi oleh hawa nafsu.
Dalam kancah teori komunikasi media, ada sebuah fakta teori yang diperkenalkan oleh Weaver. Sebuah informasi (berupa tulisan di dunia media), secara perlahan dapat mempengaruhi orang lain melalui beberapa tahapan realitas penafsiran. Pertama, fungsi komunikasi dapat berperan sebagai informasi (to inform) atau menyampaikan suatu pesan yang mungkin belum diketahui oleh seseorang. Ia ada kalanya menjadi “penghibur “, namun ada kalanya ia bisa berperan sebagai “pendidik”.
Sebagai penghibur dan pendidik, tentu dalam informasi ini memiliki gaya penyampaian tersendiri. Ada yang singkat padat, dan ada yang bertele-tele. Bahkan, kadang ada yang bergaya “menzana in corporisano”, artinya tulisannya ke sana, gambarnya menuju ke sono. Statusnya berbunyi tasawuf, namun gambarnya perempuan cantik yang tidak menggambarkan realitas tulisan. Pernahkah anda menemuinya? Jika penulis melihat status media yang modelnya seperti ini, kadang penulis menjadi gagal fokus. Fokus ketulisan, atau fokus ke gambar? He he.
Kedua, informasi berperan dalam mempengaruhi pembaca. Baik sadar atau tidak, di dalam komunikasi itu ada peran mempengaruhi pemahaman seseorang atas apa yang dikehendaki oleh orang yang berhasrat komunikasi (komunikan). Orang yang tengah kampanye, tentu dia akan menulis status dengan gaya menunjukkan idealitas dirinya dibanding orang lain. Bila seorang pembaca hanya terpaku pada informasi yang diberikannya, maka level bahayanya adalah ia menjadi juru kampanye gratisan. Level bahaya dari peran komunikasi kedua ini adalah bila seorang komunikan tidak berangkat dari maksud mendiskusikan. Ia lebih kepada mendoktrin, alih-alih melontarkan hatespeech, atau bermaksud mendeskreditkan kelompok sosial lain tanpa didasari maksud it can be discussed again. Bila komunikasi ini berhasil, maka sosok yang lahir dari akibat peran komunikasi kedua ini adalah sosok militan yang tanpa mahu berfikir untuk kedua kalinya terhadap apa yang disampaikan oleh orang lain kecuali memiliki kutub asal pesan yang sama.
Ketiga, komunikasi dibangun atas dasar karena adanya amanat yang harus disampaikan. Tentang amanat ini dalam fakta media sosial ada banyak macamnya. Tidak heran bila selama ini kita sering mendengar istilah status pesanan. Istilah ini bukan dibangun tanpa dasar. Tentu ada faktor yang melatarbelakanginya atas dasar sebagai pesanan dari sebuah pihak. Kemiripan bahasa pesan dan beberapa istilah yang sama yang acap digunakan seringkali menunjukkan bahwa ini adalah informasi pesanan.
Keempat, komunikan itu sendiri. Komunikan merupakan penerima pesan. Sebagai penerima pesan, ada dua jenis komunikan, yaitu komunikan yang pasif dan komunikan yang aktif. Komunikan pasif cenderung menerima pesan dari seorang komunikator tanpa imbal balik. Komunikan aktif cenderung menerima pesan sebagai sesuatu yang masih diragukan kebenarannya sehingga masih perlu diperdebatkan.
Bahasa media yang acap didukung oleh sebuah gambar, kadang mudah memberikan pengaruh kepada orang lain tanpa dipertanyakan kembali fakta kebenaran gambar tersebut. Label dan sumber serta melihat sisi latar belakang seorang penyampai berita sering dinomorsekiankan oleh konsumen sefia komunikasinya. Mengapa disebut "sefia komunikasi"? Sefia saya ambil dari sebuah judul lagu grup band anak muda Sheila on 7 yang booming di era awal 2000-an. Ia menceritakan seorang kekasih gelap yang berani mencintai seseorang akan tetapi tidak berani terang-terangan. Jika ada fakta yang berani terang-terangan, maka itu diistilahkan sebagai pelakor komunikasi. Maksud dari kedua istilah adalah sama yaitu menunjukkan fanatisme/pecinta gelap atas seseorang sebagai sumber informasi.
Akhirnya, ketika anda menyampaikan informasi, terlebih dahulu saringlah informasi! Budaya akademis meragukan informasi merupakan kunci untuk menghindari kesalahan dalam memberikan informasi. Analisis informasi dapat dilakukan dengan mudah dengan mempertanyakan kembali sumber gambar dan data. Ketiadaan mempertanyakan data dapat menggiring seseorang jatuh menjadi sefia informasi atau bahkan pelakor informasi. Keduanya sama-sama tak beradab dan kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya oleh Allah SWT.
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran:
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya: “Pada hari itu, kami akan kunci mulut-mulut mereka, dan kami (idzinkan) tangan-tangan mereka berbicara, serta kaki-kaki mereka memberi kesaksian dengan apa yang pernah mereka perbuat.” (QS Yâsîn: 65)
Wallahu a’lam
Penulis adalah Direktur Aswaja NU Center PCNU Bawean