Tidak terasa, perjalanan NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (jam’iyah diniyah wa ijtima’iyah) yang berdiri pada 31 Januari 1926, berada dalam kurun waktu tidak jauh dengan umur lipatan sejarah bangsa dan patut mendapat respon positif. NU, sampai hari ini masih eksis serta tetap menjadi organisasi yang diperhitungkan, baik dalam kancah nasional maupun internasional.
Namun, sebagai organisasi, pergolakan NU tidak lepas dari pasang-surut sesuai dengan perkembangan zaman, yang pada titik puncaknya, pergolakan itu menghendaki peneguhan kembali pada garis-garis organisasi, yang dikenal dengan Khittah Nahdliyah. Dan, pasang surut itu menjadi niscaya dalam setiap organisasi, sebagai bentuk proses pendewasaan sikap berorganisasi, jika direspon dengan baik, dan penyegaran kembali agar pergolakannya tidak cenderung berjalan di tempat.<>
Karenanya, sebagai bagian kecil warga NU, penulis mengajak pembaca lewat tulisan ini untuk merefleksikan harlah ke-82 NU sebagai momentum untuk sadar kembali dari nyenyaknya tidur dan menyegarkan kembali dalam memahami nilai-nilai gerak nahdliyah yang diwariskan para pendirinya. Hal ini menjadi penting di tengah-tengah kondisi umurnya semakin menua di satu sisi, yang otomatis mudah terjangkit penyakit, dan banyaknya kiai-kiai senior, sebagai tonggak awal perjuangan NU, mengalami proses seleksi alam, meninggalkan kita di sisi yang berbeda.
Bingkai Semangat Nahdliyah
Pergolakan NU dalam ranah beragama dan berbangsa hadir bersandar pada ruang yang dibingkai dalam semangat untuk bangkit (nahdliyah) dengan nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) sebagai mainstream nilainya. Ia dihadirkan oleh para kalangan pengasuh pondok pesantren (baca: kiai) yang memiliki kesamaan persepsi keberagamaan dan kebangsaan. Itu sebabnya, keterlibatan kiai dalam NU menjadi sangat penting, jika tidak wajib ada, untuk menentukan roda organisasi. Dan, urgensi ini nampak dari bentuk strukturnya terdiri Dewan Mustasyar, Dewan Syuriyah dan Dewan Tanfidziyah.
Hanya sekedar mengingatkan kembali, sepanjang tahun 2007, warga Nahdliyin kehilangan 2 tokoh penting yang memiliki sumbanhsih besar terhadap NU, yaitu KH Abdullah Abbas Buntet, Cirebon, Jawa Barat, pada 10 Agustus 2007, dan KH Ilyas Ruhiyat, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 18 Desember 2007. Sumbangsih kedua tokoh ini patut dihargai untuk mempertegas semangat gerak nahdliyah NU, baik dalam ranah kultural, yaitu sebagai pengasuh pesantren, maupun ranah struktural, sebagai pengurus NU.
Keterlibatan kiai sebagai tonggak gerak nahdliyah, Aswaja sebagai basis nilainya, sudah diketahui sejak awal berdirinya. Konon, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah sebagai simbol geraknya dibantu para kiai yang seirama. Maka, menurut KH Ahmad Siddiq (1979), nama “Nahdlatul Ulama” (kebangkitan para ulama), bukan “Nahdlatul Muslimin” atau “Nahdlatul Ummah”, tidaklah sebagai teks yang kebetulan meng-ada, melainkan berhubungan erat dengan pentingnya kedudukan kiai (baca: ulama) dalam NU. Dan, bagi Ahmad Siddiq, kiai NU bukan saja kiainya warga NU saja, tetapi sekaligus sebagai kiainya masyarakat.
Gerak nahdliyah merupakan upaya untuk selalu bangkit dari keterpurukan hidup, baik dalam proses beragama maupun berbangsa. Hal ini, dapat dilihat pada awal berdirinya, keterlibatan kiai-kiai dan tokoh NU dalam membentuk Komite Hijaz sebagai upaya bangkit (nahdl) mempertahankan keyakinan beragama serta menghadang keterpurukan sikap kelompok lain yang tidak menghargai entitas keberagamaannya atau keterlibatan mereka dalam mempertahankan negara ini, dengan titik klimaks berjuang lewat “Resolusi Jihad” melawan NICA pada Oktober 1945.
Dari sini, semangat gerak nahdliyah menjadi gerak perjuangan NU dan menjadi ciri khas awal geraknya sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Sebagai organisasi keagamaan, NU menjadi wadah perjuangan para kiai dan pengikutnya yang senantiasa memegang prinsip-prinsip Aswaja dan sebagai organisasi kemasyarakatan, maka NU menjadi bagian yang turut serta dalam membangun entitas bangsa Indonesia.
Namun, toretan sejarah menjadi bukti juga bahwa pergolakan NU dalam ranah politik praksis menjadi ujian berat bagi gerak nahdliyah yang diwariskan para pendirinya. Kedekatan dengan panggung kekuasaan menjadi persoalan krusial bagi independensi organisasi, sekalipun tarikan-tarikannya sulit dihindarkan dari massa NU.
Keterlibatan NU dalam pentas politik tercatat tahun 1955 memisahkan diri dari Masyumi dan membentuk partai sendiri. Tahun 1973, NU menyatukan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan pada 1984, NU memutuskan kembali ke Khittah serta mengambil keputusan keluar dari PPP.
Pada perjalanan selanjutnya, demi mempertimbangkan keputusan kembali Khittah dan jutaan suara NU yang kurang terakomodir dengan rapi, para elit NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikan pada 23 Juli 1998, meski pada akhirnya mengalami terpaan konflik di internal elit partai yang sulit dikompromikan pasca-Muktamar di Semarang 16-18 April 2005, yang pada akhirnya lahirlah Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) yang dideklarasikan pada 31 Maret 2007 di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.
Di samping itu, adanya agenda-agenda politik di berbagai daerah terkait dengan pemilihan kepada daerah (pilkada) juga menjadi ujian, jika tidak menjadi penyakit, bagi penyikapan tegas elit-elit NU. Diam tanpa bermain, akan tetap dimainkan, karena massa NU yang begitu besar selalu akan menjadi incaran para calon.
Inilah bagian realitas yang dihadapi dalam setiap pergolakan NU dalam ranah politik praktis. Tidak sedikit keterlibatan kiai-kiai dan elit tokoh-tokohnya turut menjadi persoalan besar bagi keberlangsungan organisasi. Belum lagi semakin banyak mereka terfragmentasi dalam beberapa kelompok yang bermula hanya disebabkan perbedaan pilihan politik.
Pertahankan Jati Diri
Membaca kedirian kembali adalah langkah penting dalam momentum peringatan kali ini, sebagai upaya peneguhan jati diri. Semangat nahdliyah harus dihadirkan kembali sebagaimana dilakukan oleh para pendirinya dalam konteks beragama dan bernegara, meskipun dengan langkah dan peran yang berbeda karena perbedaan waktu antar-generasi NU.
Banyak persoalan bangsa yang masih mewarnai kehidupan kita, misalnya, kemiskinan, kerusakan alam, supremasi hukum yang masih tidak jelas dan masih banyaknya koruptor-koruptor beraksi. Belum lagi, kekerasan berbasis agama rentan meletus di berbagai daerah yang merombak semangat toleransi dalam menghargai yang lain.
Dari sini, peran NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakat sangat diharapkan turut serta menyelesaikan berbagai persoalan ini. Berharap total pada pemerintah dalam menyelesaikannya sangat tidak mungkin. Alih-alih pemerintah intens mencari solusi alternatif-praksis, menjauh dari sikap membudak pada kekuasaan dan uang sulit dilakukan, yang nampak dari tingkat korupsinya di setiap departemen.
Hanya dengan mempertahankan semangat nahdliyah berbasis keagamaan dan kemasyarakat, NU tetap eksis sebagai organisasi yang masih dikagumi oleh umatnya, dengan turut serta mencari solusi konkret terhadap problematika umat. Menempatkan NU dalam wilayah politik praksis lebih banyak dampak buruknya dari pada manfaatnya, meskipun pada wilayah ini perannya sangat diperhitungkan.
Pilihan tegas bergerak menjadi penting bagi masa depan NU dan masyarakat nahdliyin pada umumnya, yaitu menyegarkan semangat nahdliyah yang diwariskan para pendahulu dengan bingkai Aswaja.
Penulis adalah Ketua I Pengurus Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor Wonocolo, Surabaya, Jawa Timur.
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
5
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua