Oleh M. Haromain
Salah satu tradisi islami yang sampai saat ini masih bertahan di Desa Wonoboyo, Temanggung Jawa Tengah, adalah tradisi ngambeng. Ngambeng ialah istilah di Wonoboyo untuk menyebut suatu kegiatan berupa selamatan makan bersama-sama di masjid pada waktu-waktu tertentu seperti saat peringatan hari Asyura di bulan Muharram, peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, Rabu wekasan, nyadran, Nuzulul Qur'an, dan lain sebagainya.
Yang menjadi dasar atau prinsip utama dalam ngambeng adalah bersedekah makanan. Pelaksanaannya yaitu di sesi pamungkas acara-acara keislaman seperti di atas, tepatnya usai pengajian, mujahadah, atau khataman pembacaan Al Barzanji. Masing-masing jamaah yang hadir dalam acara-acara keislaman tersebut membawa nampan atau wadah berisi nasi dan lauk pauknya, saat tertentu seperti nyadran juga membawa Ingkung selain nasi beserta lauknya.
Pada kesempatan ngambeng ini dalam suasana penuh keceriaan satu sama lain saling menawarkan makanan yang dibawanya. Begitu pula sebagian orang yang kebetulan tidak membawa ambengan sendiri dari rumahnya tidak sungkan untuk ikut bergabung untuk makan bersama.
Sementara itu, meski nyaris serupa, acara selamatan makan bersama yang diadakan di rumah-rumah secara pribadi tidak bisa disebut ngambeng. Semisal selamatan menempati rumah baru, membeli kendaraan baru, membuka usaha baru, dan bentuk tasyakuran lainnya hanya disebut selamatan biasa. Di samping bertempat di masjid, tradisi ngambeng terlihat jauh lebih egaliter karena boleh diikuti siapa saja tanpa harus melalui undangan khusus sebagaimana selamatan yang diadakan secara pribadi.
Tidak disangka tradisi ngambeng ini, terutama ngambeng untuk acara Maulidan, juga membawa berkah tersendiri kepada para pedagang, khususnya pedagang sembako di pasar-pasar tradisional terdekat dari Wonoboyo, seperti pasar Candiroto dan Pasar Ngadirejo. Pada hari-hari menjelang ngambeng terutama ngambeng Maulidan, pasar-pasar tradisional itu tampak jauh lebih ramai dan sesak daripada hari-hari biasanya.
Di Pasar tradisional Candiroto misalnya, ketika hari menjelang malam Maulidan, seperti tampak pada Senin (19/11/2018), terlihat kendaraan roda dua maupun roda empat memenuhi lokasi parkiran yang ada. Padahal pada hari-hari biasa area parkir tersebut kerap menyisakan ruang yang begitu longgar. Begitu pula tampak, untuk mendapatkan belanjaan daging misalnya, para pembeli harus rela antre agak lama ketimbang berbelanja pada hari-hari biasa. Masyarakat Wonoboyo dan sekitarnya menyebut keramaian pasar pada hari-hari tertentu tersebut dengan istilah prepegan.
Memang tradisi ngambeng di Wonoboyo hingga sekarang masih berjalan. Hanya saja tentu sudah tidak seramai dan meriah saat penulis masih anak-anak dahulu. Saya ingat ketika masih kecil, masyarakat yang ikut ngambeng jauh lebih banyak bahkan kerap memenuhi serambi masjid. Mulai dari orang sepuh, pemuda, hingga anak-anak, berkumpul jadi satu larut dalam suasana kegembiraan ngambeng. Sedangkan tahun-tahun belakangan ini warga yang berpartisipasi ikut ngambeng terlihat sebagian kecil saja. Bahkan pernah hanya belasan orang saja, meskipun sebenarnya yang hadir ke masjid cukup banyak, tapi begitu selesai pengajian atau mujahadah lebih banyak yang langsung pulang tidak mengikuti ngambeng di ujung acara.
Penulis adalah Nahdliyyin, berdomisili di Wonoboyo Temanggung, Jawa Tengah.