Opini

Mengapa Cendekiawan Muslim Tak Pernah Disebut dalam Ilmu Ekonomi Modern?

NU Online  ·  Sabtu, 26 Januari 2019 | 13:00 WIB

Mengapa Cendekiawan Muslim Tak Pernah Disebut dalam Ilmu Ekonomi Modern?

Ilustrasi (via thomereview.com)

Oleh Muhammad Syamsudin

Charles Darwin merupakan penemu dan pengasas teori evolusi dan tampil dengan karya besarnya “The Origin of Species”. Teori ini dibangun pada Abad XIX, tepatnya pada tahun 1859 M. John Baptis Lamarck menggagas “teori seleksi alam” sebagai alternatif lain dari menjelaskan fakta evolusi. Kesamaan dari muara kedua teori ini terletak pada kemampuan makhluk hidup dalam melakukan adaptasi terhadap pengaruh alam sehingga ia bisa lestari atau tidak. Yang sulit diterima adalah bahwa dari kedua teori ini tidak mampu menjelaskan terjadinya missing link (“lompatan” kesinambungan galur) yang mengakibatkan terjadinya perubahan genetik sehingga berakibat pada perubahan penampilan makhluk hidup. 

Missing link ini dibiarkan begitu saja oleh Darwin dan Lamarck berdiri tanpa penjelasan sehingga kemudian berakibat pada kesalahan-kesalahan pemahaman mengenai kedua konsep evolusi itu oleh para pembacanya di kemudian hari. Pemahaman yang salah merupakan bentuk lain dari penyimpangan dari asal-usul teori yang rupanya hanya mampu dijelaskan oleh George Mendel dengan teori hereditas dan genetikanya. Sementara di dunia lain, muncul statemen baru yang benar-benar tidak berpangkal pada sajian teori evolusi. Mereka mengatakan bahwa manusia berasal dari primata yang berubah bentuk. Padahal ini sama sekali tidak dijelaskan dalam buku karya Robert Charles Darwin yang merupakan pengasas teori evolusi itu sendiri. 

Missing link antara bangunan teori ilmu ekonomi Muslim yang diadopsi Barat sejak generasi St Thomas Aquinas dan Adam Smith serta tidak dijelaskan itu, tampaknya juga berpola sama dengan teori evolusi Darwin. Statemen Schumpeterian yang berjudul “The Great Gap” yang mendakwa bahwa peletak dasar ekonomi modern adalah pada Aquinas dan Adam Smith, membawa imbas besar pada banyak aspek kesalahan dalam memahami teori ekonomi Muslim dan Barat. Penyimpangan awal terjadi dengan ditandai munculnya anggapan bahwa kiblat ekonomi modern adalah Barat. Muslim merupakan individu yang lahir dan mendominasi negara dunia ketiga dengan tatanan ekonomi yang terkerdilkan dan tersubordinasikan karena teori ekonomi cendekiawan mereka dianggap sebagai teori klasik dan tak layak pakai. Padahal, fondasi dasar ekonomi itu justru ada pada Muslim, dan bukan pada Barat. (Schumpeter, J. Aloys, History of Economic Analysis, New York: Oxford University Press, 1954: 187)

Cita rasa yang menggambarkan dominasi ekonomi modern Barat seolah tampak terus-menerus dipupuk dan diiklankan sebagai bagian keunggulan peradaban dan dibilang modern. Jika kita cermati dengan baik, sebenarnya justru bangunan ekonomi mereka teralienasi dari nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban. Munculnya kolonialisme, dan maraknya monopoli dagang, serta gencarnya perang dagang dewasa ini merupakan bagian dari bukti penyimpangan itu, yaitu sebagai akibat pemisahan teori ekonomi dari akar nilai-nilai yang menjadi ruh dasarnya. 

Gelombang sekularisasi ilmu ekonomi oleh Barat, yang asalnya adalah dengan orientasi memisahkan sains dari doktrin gereja, dipukulratakan ke Islam juga melalui gelombang sekulerisasi ilmu ekonomi dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Mereka tidak melihat bahwa ilmu ekonomi mereka asalnya diadopsi dari Islam. Memukul rata Islam dalam gelombang sekulerisasi, adalah ibarat mencabut ilmu ekonomi itu sendiri dari basis awal pemikirannya. Mungkin, itu semua adalah imbas dari adanya Perang Salib di abad pertengahan kala itu sehingga berujung pada penghilangan jejak-jejak Islam dari teori mereka, termasuk tidak dicatutnya tokoh cendekiawan Muslim yang menjadi rujukannya. (Karl Pribram, A History of Economic Reasoning, Baltimore and Lord: John Hopkins University Press, 1983: 3-4)

Baca juga:
Persinggungan Islam, Renaisance, dan Sekularisasi Dunia Barat
Merkantilisme: Fakta Perbedaan Barat dan Muslim Memandang Pasar
Upaya mencari titik temu dan menyambung jalur terputus bangunan ekonomi saat ini tidaklah semata hanya berpangkal agar Islam diakui atau semata hanya mencari relasi filsafat Yunani dalam mempengaruhi keilmuan di dunia Islam saja. Untuk alasan pencarian relasi filsafat Yunani dengan keilmuan dunia Islam ini pada dasarnya hanyalah sebuah pengalihan isu semata disebabkan sarjana-sarjana Barat terpaksa harus mengakui kontribusi Islam terhadap peradaban mereka. Penerjemahan besar-besaran karya Yunani pada Abad Pertengahan yang disambung pengakuan penemuan teori ekonomi yang baru oleh sarjanawan skolastik, membuktikan bahwa persinggungan antara Muslim dan Barat saat itu adalah lewat karya-karya besar para sarjana Muslim yang telah terlebih dahulu mapan dengan fondasi keilmuan ekonomi yang mereka miliki. Jadi, apabila dipetakan, maka persinggungan itu sebenarnya memuat tiga elemen dasar, yaitu “filsafat Yunani”, “pemikiran Muslim” dan “sarjana skolastik.” Perubahan orientasi ilmu ekonomi selanjutnya berubah di tangan sarjana skolastik. (Islahi, Contributions of Muslim Scholars to Economic Thought and Analysis (11 - 905 After Hijriah /632-1500 A.D), Jeddah: Islamic Economic Research Centre King Abdul Aziz University, 2004: 82-83)

Dengan begitu, apakah itu berarti bahwa teori ekonomi Muslim saat itu asalnya dari filsafat Yunani? Mari kita cermati! Di akhir periode risâlah Rasûlillah shallallahu ‘alaihi wasallam, pada peristiwa Haji Wada’, beliau berwasiat kepada para sahabat sekaligus umatnya agar senantiasa berpegang teguh pada Kitâbullâh dan Sunnah Rasul-Nya. Wasiat ini dipegang teguh oleh para sahabat dan para tabi’in yang hidup setelahnya. Isi wasiat ini berlaku umum, yakni tidak hanya dalam urusan ibadah, melainkan juga dalam urusan muâmalah berupa aktivitas sosial dan ekonomi. 

Sepeninggal Rasulullah SAW (w. 632 H), beliau telah meninggalkan sebuah tatanan ekonomi yang mapan berbasis pasar. Tatanan ini bertahan terus sejak mangkatnya beliau, hingga akhir periode Daulah Dinasti Banî Umayyah (718 M). Selama periode ini, pemikiran ekonomi sudah mulai berkembang dengan tetap mengacu pada nash (konsep dasar Islam). Pada masa Rasulullah, format pasar masih dalam bentuk sederhana. Pada masa Dinasti Umayyah, konsep pasar sudah mulai menjadi topik perhatian pemerintah. Saudara pembaca bisa membaca kembali bagaimana Abû Yûsuf menyusun sebuah kitab yang diberi judul al-KharrajKitab ini merupakan kitab dasar keuangan publik dan pengaturan kas perbendaharaan negara. 

Pada periode sebelum dan masa Abu Yusuf, muncul ulama-ulama mazhab dan aliran kalam. Para ulama aliran kalam inilah yang berperan besar dalam mengadopsi logika Yunani ke dalam Islam. Konsepsi logika itu tidak menghapus ajaran (nasakh) Islam, melainkan mempengaruhi cara berpikir dalam menggali hukum lewat nash dan perbedaan pendapat sehingga ditemukan sintesa hukum. Prinsip penggunaan logika berfikir Yunani sehingga berujung pada dihasilkannya sintesa hukum, lalu melembaga menjadi susunan bangunan ilmu tentang tata cara menolak dan menggali hukum inilah peran dari filsafat Yunani. Hasil pengadopsian itu kemudian muncul menjadi disiplin ilmu yang mewarnai keilmuan Islam, seperti lahirnya ilmu kalam, manthiq, balaghah, musthalâhu al-hadits, ushul fiqih, metode takhrij (kritik sanad), dan lain sebagainya. Sumber hukum yang dipegang oleh para ulama adalah tetap nash al-Qurân dan al-Sunnah. Akan tetapi metode ijtihadnya, memakai disiplin ilmu yang dihasilkan dari percaturan logika Yunani. Inilah poin krusialnya. (Ghazanfar, Scholastic Economics and Arab Scholars: The Great Gap Thesis Reconsidered, dalam Ghazanfar, S.M. Medieval Islamic Economic Thought: Filling The Great Gap in Europeann Economics, New York: RoutledgeCurzon, 2003: 76)

Sampai di sini, maka khazanah keilmuan dalam Islam adalah berdiri sendiri sebagai yang genuine berasal dari sumber Islam itu sendiri, karena filsafat Yunani tidak memiliki konsep ekonomi. Jika ilmu itu sudah menjadi fakultas tersendiri, lalu kemudian baru terjadi persinggungan antara Barat dengan Islam, lalu keluar statemen dari Schumpeterian bahwa Aquinas dan Adam Smith adalah babak baru pendiri teori ekonomi modern, maka sudah pasti tesis yang disampaikan Schumpeterian ini harus ditolak. Pendapat Schumpeterian adalah sudah pasti merupakan bagian dari upaya membentuk apa yang dinamakan missing link tersebut dan dapat berakibat pada penyimpangan yang besar-besaran dunia Barat terhadap hasil yang dicapai lewat ilmu ekonomi. 

Pernahkah Anda mendengar istilah “Perang dan Ekonomi adalah ibarat dua keping mata uang yang tak terpisah”. Perang dapat menciptakan pasar. Negara yang hancur akan berlomba memperbaiki negaranya yang sudah pasti harus memakai jasa mereka yang menjadi produsen perang. Jadi, apabila hal ini sekarang terjadi di Timur Tengah, maka apa kira-kira motif besar dari perang tersebut? Apa kira-kira motif besar Amerika Serikat dan sekutunya getol melancarkan peperangan terhadap Timur Tengah? Benarkah semata dengan alasan memerangi terorisme? Jawabnya adalah: sudah pasti, dengan perang mereka mencari keuntungan pasar. Berupa apa?


Penulis adalah Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Jatim dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jatim