Opini

Menelusuri Batas Usia 16 Tahun sebagai Usia Minimal Menikah

NU Online  ·  Sabtu, 12 Januari 2019 | 02:30 WIB

Menelusuri Batas Usia 16 Tahun sebagai Usia Minimal Menikah

Ilustrasi (pixabay)

Oleh Muhammad Syamsudin

Dewan Keamanan PBB dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia), Pasal 2 menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dinyatakan dalam deklarasi ini, dengan tanpa adanya pembedaan apa pun dari sisi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan, bangsa atau sosial, harta milik, status kelahiran atau status lainnya. Selanjutnya, tidak boleh dilakukan pembedaan atas dasar status politik, status yurisdiksi atau status internasional negara atau wilayah tempat seseorang termasuk di dalamnya, apakah wilayah itu merdeka, perwalian, tidak berpemerintahan sendiri atau bahkan di bawah pembatasan kedaulatan lain, apa pun itu wujudnya.” Lewat deklarasi ini PBB menentang adanya tindakan diskriminatif terhadap semua individu di belahan mana pun bumi dipijak olehnya. Secara tidak langsung, butir deklarasi ini menjadi sebuah prinsip bagi tindakan non-diskriminatif. 

Prinsip non-diskriminasi merupakan sebuah konsep utama dalam hak asasi manusia yang wajib dimuat dalam setiap instrumen umum hak asasi manusia. Dari kesekian tindakan diskriminatif ini, ada dua prinsip utama yang sangat ditekankan di dalam deklarasi itu, dan wajib dilaksanakan oleh negara anggota, yaitu: 

1. Setiap negara anggota wajib melakukan pelarangan diskriminasi rasial, dan termasuk politik apartheid (Afrika)
2. Setiap negara wajib melakukan pelarangan terhadap segala diskriminasi terhadap perempuan. 

Pengarusutamaan kedua prinsip ini selalu disinggung dan menjadi materi pokok setiap pertemuan dan perjanjian-perjanjian internasional dan wajib dipatuhi oleh negara anggota. 

Pada tahun 1980, tepatnya 29 Juli 1980, Indonesia telah turut serta menandatangani konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW). Lewat penandatanganan ini, secara otomatis Indonesia dianggap sebagai telah turut berpartisipasi dalam usaha-usaha internasional untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi tersebut sebagaimana tertuang dalam amanat UUD 1945 yang menetapkan bahwa semua warga negara berkedudukan sama di mata hukum dan pemerintahan. Sebagai bentuk persetujuan terhadap upaya perlindungan dan penegakan supremasi kaum perempuan, maka pada tahun 1984, Pemerintah RI mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1984 sebagai bentuk ratifikasi terhadap CEDAW ini. 

Akibat dari adanya ratifikasi CEDAW lewat UU Nomor 7 Tahun 1984, maka secara tidak langsung usia batas perkawinan di Indonesia yang ditetapkan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi wajib mengikuti arahan dari UU Nomor 7 Tahun 1984. Dan berdasar UU ini pula telah ditetapkan bahwa batas usia minimal menikah adalah di atas definisi frasa “anak”. Namun, usia yang ditetapkan di UU No. 7 Tahun 1984 ini masih jauh di bawah yang digariskan oleh CEDAW yang menetapkan bahwa batas usia anak adalah usia di bawah 21 tahun. 

Pada tahun 1996, Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan sebuah Optional Protocol CEDAW, yang secara implisit ibarat teguran kepada setiap negara anggota yang menandatangani konvensi, tidak ketinggalan Indonesia mendapat teguran itu. Tahun 1998, lewat Menteri Pemberdayaan Perempuan, Indonesia tidak memiliki pilihan untuk menandatangani isi dari Protokol Opsional CEDAW seiring embargo yang diterapkan oleh dunia Internasional ke Indonesia. 

Konsekuensi dari menandatangani protokol opsional ini adalah kemudian lahir UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam undang-undang ini ditetapkan definisi bahwa yang dimaksud sebagai anak adalah anak di bawah usia 16 tahun. Karena masih saja mendapat tekanan dari dunia internasional, maka pada tahun 2014 lahir Undang-undang No. 35 Tahun 2014 yang berisi tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 yang mencantumkan definisi anak sebagai setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun. 

Dengan diundangkannya UU No. 35 Tahun 2014, maka secara tidak langsung batas minimal usia pernikahan adalah menjadi usia 17 tahun masuk ke 18 tahun. Dengan demikian usia 17 tahun, masih disebut sebagai anak berdasar undang-undang ini. Itulah sebabnya, pada tahun 2015 pernah dilakukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No. 1 Tahun 1974 yang menjadi soko guru usia perkawinan minimal 16 tahun, namun pengajuan uji materi ini ditolak oleh MK sehingga masih berlaku bahwa batas usia minimal perkawinan adalah 16 tahun, dan masih di bawah ketentuan CEDAW yang menetapkan batas usia minimal pernikahan adalah 21 tahun.

Implikasi Hukum UU No. 35 Tahun 2014

Misalnya ada sebuah kasus anak perempuan hendak dinikahkan oleh orang tuanya pada usia 15 tahun. Karena merasa belum siap, si anak melarikan diri dari rumah. Secara fiqih, hak dan wewenang wali mujbir anak tersebut sebenarnya adalah ayah dan kakek. Namun, mengingat usia anak masih di bawah 16 tahun, maka tindakan anak yang melarikan diri dari rumah akan menjadi delik bagi Komnas Perlindungan Anak untuk masuk dan melakukan advokasi. Delik yang menjadi dasar pijakannya adalah telah terjadi pemaksaan yang melanggar HAM oleh orang tua terhadap anaknya.  

Saudara ingat pernah ingat dengan kasus salah satu artis Arumi Bachsin yang sekarang menjadi istri dari Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak? Dulu pernah lari dari rumah dan mendapat perlindungan dari Komnas Perlindungan Anak karena kasus itu. Saudara pembaca masih ingat dengan kasusnya Syekh Puji yang memperistri anak yang masih berusia sekolah Madrasah Tsanawiyah? Mengapa kemudian beritanya heboh? Tidak lain adalah karena si mempelai perempuan masih berada di bawah usia 16 tahun. Meskipun si anak tidak melarikan diri dari rumah suaminya, namun karena faktor usianya, Komnas Perlindungan Anak akan datang dengan sendirinya untuk mencari keterangan apakah telah terjadi pemaksaan atau tidak terhadap anak tersebut. Wallâhu a’lam bish shawab.


Penulis adalah Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim