Opini

Media Sosial dan Keadaban Publik

NU Online  ·  Sabtu, 21 Januari 2017 | 22:01 WIB

Media Sosial dan Keadaban Publik

Gambar ilustrasi (merdeka.com).

Oleh Wasid Mansyur 

Persoalan medsos ramai menjadi perbincangan publik di berbagai media massa. Hal ini disebabkan adanya fakta, betapa sulit membendung arus kabar bohong (hoax) atau ujaran kebencian yang hadir dalam ruang jejaring sosial dunia maya, baik melalui Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, dan sejumlah platform lain.

Berbagai komunitas telah bergerak melakukan perlawanan agar medsos kembali ke habitatnya sebagai media yang bisa menghargai ruang sosial; setidaknya dengan melawan kabar hoax dan ujaran yang menyulut kebencian umat. Dari kerangka ini, tulisan dirancang sebagai ruang diskusi dan kontribusi untuk kesejukan bermedsos.

Pastinya, kabar hoax dan ujaran kebencian melalui medsos banyak merugikan pihak lain. Bahkan, dalam ruang sosial nyata kabar model ini telah menyebabkan ketegangan sosial, untuk tidak mengatakan berujung konflik. Ada kesan, fenomena ini tidak ada kaitannya dengan nilai-nilai Islam yang secara teologis-etik mengajak umatnya untuk terus konsisten menjaga keramahan sosial, dimanapun dan kapanpun.

Kesan ini cukup beralasan sebab tidak sedikit orang mudah meniru (copy-paste) kabar dari pengujar pertama atau kedua, tanpa menggunakan daya kritisnya untuk menanyakan makna dan manfaat-mudharat bagi pihak lain. Akibatnya, kabar disebar kembali hingga menyebar luas dalam ruang publik baru (public new) medsos, meminjam istilah Widodo. 

Sebagai bangsa religius sebagaimana tergambarkan dalam sila pertama Pancasila, melihat fenomena ini cukup meresahkan batin sebab menggambarkan kualitas individu kita sebagai penganut agama. Betapapun Islam, secara khusus, mendidik penganutnya untuk terus membumikan keimanan secara holistik bukan parsial, yakni keimanan yang tidak hanya berhubungan dengan ketuhanan, tapi sekaligus menyentuh pada hubungan peneguhan kebajikan (amal shaleh).

Dengan begitu, maka maraknya kabar hoax dan ujaran kebencian dalam ruang baru medsos harus didasari kepandaian lebih dari penggunanya. Maksudnya, pandai menggunakan fasilitas aplikasi smartphone yang setiap saat berkembang memanjakan penggunanya di satu sisi dan pandai memanfaatkannya untuk menjaga keramahan sosial di dunia maya di sisi yang berbeda. Tanpa, bertindak pandai, maka kerumuhan dalam ranah medsos akan lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.

Keadaban publik 

Makna terpenting dari perlunya keadaban publik adalah terwujudnya tatanan sosial berkehidupan yang dibangun dalam bingkai saling menghargai, menghormati serta menjaga hak orang lain dengan tidak mudah menyakiti. Oleh karenanya, kebutuhan medsos sebagai ruang sosial baru terhadap nilai-nilai keadaban publik menjadi keniscayaan. Bukan untuk apa-apa, tapi agar pengguna dan penikmat medsos menghargai ruang publik. Termasuk pengguna itu adalah pemerintah agar juga meng-share kebijakannya dalam ranah medsos dengan penuh pertimbangan manfaatnya bukan kemudharatannya.

Ada dua nilai teologis-etik yang layak diamalkan bagi penggguna medsos agar tidak terjebak pada penyebaran atau menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Pertama, perlunya mengembangkan tradisi klarifikasi (tabayyun) dalam menerima kabar, QS. Al-Hujurat ayat 6. Etika ini penting digunakan dalam rangka menanyakan kembali kabar yang diterima, baik dalam bentuk teks atau gambar yang telah dipermak dengan tulisan (meme). Bisa dilakukan kepada pengirimnya atau bisa langsung kepada individu yang merasa dirugikan dari kabar tersebut. 

Klarifikasi dilakukan agar kita tidak mudah ikut menyebarkan, sebelum mengetahui betul kebenaran dan manfaat kabar yang dimaksud. Praksisnya, penegasan kabar ini bertujuan agar kita tidak mudah turut melakukan dosa sosial, apalagi orang yang dirugikan dengan kabar itu belum tentu mengenal kita. Betapapun dosa sosial dalam Islam diyakini sebagai salah satu penghambat utama kesalehan sejati kita beragama, bila kita tidak dengan tegas meminta maaf kepada yang dirugikan kabar hoax dan ujaran kebencian. 

Kedua, medsos harus mengutamakan pesan kejujuran. Pesan kejujuran sebagai etika kenabian ini berlaku bagi siapapun, dari individu, kelompok swasta hingga pemerintah. Kenapa medsos harus jujur? Sebab kebohongan medsos menjadi perusak tata nilai dan cara pandang bersosial. Sulit membedakan mana hak dan batil, padahal kabar memiliki efek positif dan negatif, sekalipun pengujarnya berdalih iseng.

Kejujuran bermedsos juga bisa dilakukan dengan menampilkan pemahaman keagamaan yang beragam dan kritis, tidak satu pendapat yang kaku. Kejujuran model ini diharapkan dapat memahamkan perbedaan sebagai sebuah kenyataan bukan malah menjadi lahan bagi pembibitan radikalisme dan terorisme sebab kurang jujurnya dalam mewartakan pesan agama di satu sisi, khususnya tentang memaknai Jihad, dan di sisi yang berbeda tidak jujur pada dirinya yang tinggal di negeri penuh ragam; suku, agama, dan etnis.

Akhirnya, upaya yang dilakukan pemerintah dan beberapa aktivis di negeri ini untuk melawan hoax dan ujaran kebencian harus didukung bersama. Sekalipun lebih dari itu, gerakan ini harus tetap kritis dalam semangat keadaban berdemokrasi yang menghargai kebebasan berbicara yang bertanggung-jawab, pastinya. Jangan dibuat media untuk menakut-nakuti, apalagi menumpulkan daya kritis pengguna dan penikmat medsos.

Penulis adalah Akademisi UIN Sunan Ampel Surabaya, Pengurus Majelis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor Jawa Timur.