Opini

Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK): Makhluk Apakah Itu?

Kam, 3 September 2015 | 01:01 WIB

Oleh Faried Wijdan
Menteri Agama Republik Indonesia, melaui Direktorat Pendidikan Madrasah belum lama ini meluncurkan agenda pembagian madrasah menjadi empat kelompok. Yaitu madrasah dengan spesialisasi kegamaan (MA-PK), madrasah spesialisasi keilmuan sains dipegang<> oleh Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia, madrasah spesialisasi vokasi (mirip SMK), dan madrasah reguler yaitu madrasah negeri dan swasta pada umumnya. 

Di tulisan ini, saya ingin menggarisbawahi soal madrasah dengan spesialisasi keagamaan. Barangkali madrasah dengan spesialisasi adalah metamorfosa dari Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), sebagaimana diprakarsai oleh Menteri Agama, Munawir Sadzali (1988-1983). Madrasah Aliyah Program Khusus digagas pada tahun 1987, sebagai sebuah proyek prestisius Departeman Agama untuk mengantisipasi akutnya persoalan madrasah, terutama menyangkut pengkaderan ulama (program tafaqquh fiddin). MAPK dibentuk berdasarkan keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1987 adalah sebuah pilot project membentuk generasi baru untuk dipersiapkan menjadi pegawai kementerian agama yang lebih profesional dan berwawasan luas serta moderat agar mampu memahami perbedaan pemikiran keagamaan di tengah-tengah masyarakat sehingga bisa mewarnai berbagai wacana perkembangan bangsa dan negara. Meminjam Istilah yang sinis dari Karen Steenbrik, sebagai white collar job.

Di sekolah ini diterapkan kurikulum yang padat agama dan bahasa (Arab dan Inggris) serta pembelajaran yang intensif dengan sistem asrama seperti pesantren. Mula-mula dibuka di lima tempat: Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Jember dan Ujung Pandang. Pada tahun 1990 dibuka lagi di Lampung, Surakarta, Mataram dan Martapura. Dengan seleksi ketat dan pendanaan memadai (didukung proyek), MAPK dinilai telah berhasil menyiapkan lulusan kader ulama dengan wawasan keislaman, keindonesiaan dan kemodernan yang menawan.

Program yang diusung MAPK adalah program tafaqquh fiddin (pendalaman ilmu agama). MAPK adalah lembaga pendidikan formal non-pesantren yang berperan sebagai penyambung (setidaknya sebahagian dari) ‘tradisi pesantren’ yang tujuannya adalah untuk ber-tafaqquh fiddin, dengan trade mark dan unsur utamanya adalah mengkaji kitab kuning. Secara substantif, hubungan MAPK dan tafaqquh fiddin bagaikan wadah dan isi, MAPK merupakan wadah sedangkan isinya adalah tafaqquh fiddin. MAPK adalah bagian dari madrasah (MA) yang ada pada saat ini dengan struktur program kurikulum yang porsi pelajaran agamanya 70 %. Setiap siswa MAPK juga dituntut untuk menguasai Tujuh Kecakapan untuk Bertahan Hidup (The Seven Survival Skills) ala Tony Wagner (2008) dalam buku The Global Achievement Gap, meliputi: 1) berpikir kritis dan mampu memecahkan masalah, 2) bekerja sama dalam jaringan dan memimpin dengan pengaruh, 3) ketangkasan dan mampu beradaptasi. 4) berinisiatif dan kewirausahaan, 5) komunikasi efektif baik lisan maupun tulis, 6) mengakses dan menganalisa informasi), 7) rasa ingin tahu dan daya imajinasi. 

Sejak didirikan sampai saat ini, MAPK telah meluluskan ribuan alumni. Alumni MAPK umumnya memiliki kualitas lebih baik dibandingkan yang lain terutama dalam penguasaan materi agama dan bahasa Arab dan Inggris. MAPK berhasil menelurkan intelektual yang agamawan handal dan dan saat ini alumninya menempuh studi ke seantero perguruan-perguruan tinggi elit di Eropa, Amerika Serikat, Australia dan Timur Tengah. Banyaknya alumni yang melanjutkan pendidikan di luar negeri itu memberikan gambaran bahwa MAPK benar-benar telah mampu meluluskan alumni yang memiliki kualitas yang memadai. ‘Pesantren Negeri’ ini sudah melahirkan pribadi dan nama-nama besar, sebut saja: Dr. Asrorun Niam Saleh, Ketua Komite Syariah WAFC ((World Halal Food Council), Habiburrahman El Shirazy, sastrawan Asia Tenggara, Burhanuddin Muhtadi, pengamat politik sohor di republik ini, Teuku Kemal Pasha (antropolog) dan masih banyak nama lainnya yang berkiprah bagi negeri ini. Alumni MAPK telah terbukti mampu berkiprah di semua matra kehidupan: politik, ekonomi, sosial budaya, media dan militer. 

MAPK: Sebuah ‘Proyek Sisipan’ Departemen Agama

Pasca Menteri Munawir Sadzali dan Tarmizi Taher, MAPK bak ‘anak yatim’ yang ‘kurang terawat’ dan ‘diperhatikan’, eksistensinya nyaris tak terdengar, tidak speaks out. MAPK hanya semacam ‘program sisipan’ dan ‘bayangan’. Berbeda misal dengan SMA Taruna Nusantara, sekolah yang digagas oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu, Jenderal LB Moerdani, yang kemudian diresmikan oleh Pangab saat itu, Jenderal Try Sutrisno pada tahun 1990. Padahal usia MAPK 2 tahun lebih tua daripada SMA Taruna Nusantara. 

Ganti menteri, kebijakan pun berubah. MAPK kurang diperhatikan oleh menteri-menteri agama yang menjabat selanjutnya. Program MAPK mengalami restrukturisasi. Puncaknya adalah dengan keluarnya Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 371 Tahun 1993, restrukturisasi madrasah dilakukan dengan perubahan MAPK menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Memang secara substansial, antara MAPK dengan MAK tidak ada perbedaan yang berarti, kecuali beban kurikuler MAPK agak lebih berat ketimbang MAK. Dari segi operasional, MAPK didukung proyek, sedangkan MAK tidak. Ditambah dengan KMA 371 Tahun 1993 ini Kanwil Depag diberi wewenang membuka MAK sesuai kebutuhan dan bagi MA yang mau melaksanakan, bukan saja di MAN tetapi juga di MAS. Maka jumlah MAK menjadi semakin banyak dan massif. Cilakanya, pertambahan jumlah yang sangat besar ini tidak dibarengi dengan dukungan dana, sarana, prasarana dan tenaga yang memadai. Meskipun penyelenggaraan program MAPK memperoleh anggaran tersendiri dari pemerintah, namun anggaran yang digulirkan tidak memadai bahkan jauh dari mencukupi. Bahkan di beberapa tahun terakhir, anggaran yang digulirkan oleh pemerinah semakin mengecil dan jauh dari mencukupi kebutuhan. Pemerintah mulai melepaskan tanggung jawab dari penyelenggaraan program MAPK justru ketika program ini telah berhasil. Kondisi MAPK saat ini benar-benar hidup segan mati pun tak mau. Padahal biaya operasional penyelenggaraan program ini cukup besar, mengingat padatnya mata pelajaran yang diajarkan dan menuntut hasil yang lebih baik dari MA regular. Terlebih guru-guru yang mengajar di MAPK sebagian besar merupakan guru honorer yang tentu saja harus diberikan honor yang pantas setiap bulan. Karena memang pemerintah belum pernah mengangkat guru PNS bagi program MAPK. Akibatnya, kualitas MAK mengalami degradasi yang semakin lama semakin buruk. Pada gilirannya, animo masyarakat untuk mendaftar ke sekolah ini menurun drastis. Bahkan sejumlah MA akhirnya harus rela undur diri dari penyelenggaraan program ‘tafaqquh fiddin negeri’ karena tidak lagi mendapat murid. Banyak MAK yang bubar jalan! 

Tidak hanya sampai di sini, dikeluarkannya UU No 20/2003 tentang Sisdiknas (UUSPN 2003) nyata-nyata memunculkan persoalan baru bagi eksistensi MAPK/MAK. Beberapa klausul (UUSPN 2003) yang mengatur tentang jenis pendidikan, penyelenggaraan dan penjurusan (Pasal 15, 18, 30 ) tidak memberikan indikasi yang jelas tentang apa, bagaimana dan di mana status hukum dan legalitas MAK. Artinya, bukan saja masalah degradasi kualitas dan animo masyarakat terhadap MAK, status kelembagaan MAK pun menjadi sangat problematis. Pada tanggal 1 Agustus 2006 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Dep. Agama RI membuat kebijakan yang mengagetkan, khususnya bagi mereka para penyelenggara MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan)[2] melalui surat edaran Nomor: DJ.II.1/PP.00/ED/681/2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi, di sana terdapat klausul mulai tahun 2007 MAK tidak lagi diizinkan menerima siswa baru. Artinya, sejak tahun itu MAK mulai berhenti beroperasi dengan kata lain dibubarkan.

MAPK: Pilar Penting Program Revolusi Mental

Sebagai lembaga pendidikan pesantren negeri, keberadaan MAPK/MAK merupakan salah satu pilar penting untuk mendukung revolusi mental sebagaimana digelorakan oleh Presiden Joko Widodo. Sudah saatnya pemerintah memberikan porsi perhatian lebih terhadap MAPK/MAK dalam dunia pendidikan, sehingga revolusi mental dapat berjalan dan membuahkan hasil yang baik. MAPK/MAK mengajarkan budi pekerti, akhlakul karimah, sikap dan nilai-nilai luhur manusia. Tidak cukup di sini, MAPK/MAK selain menyemaikan ajaran tentang agama dan budi pekerti, MAPK/MAK juga menjadi basis penyemaian ajaran semangat kebangsaan, kebhinekaan, moderatisme, dan nilai-nilai Islam Nusantara. Siswa MAPK berasal dari berbagai provinsi, lintas mazhab dan ragam pemikiran. MAPK adalah miniatur Islam Indonesia. Meminjam istilah Burhanudin Muhtadi: MAPK adalah pasar raya ide yang dipenuhi oleh kios-kios yang menjajakan tafsir Islam yang warna-warni. Lulusan MAPK/MAK bisa dikaryakan di berbagai lembaga seperti KPK, Densus 88, BNPT, BNN, dan MUI untuk menjadi garda terdepan memerangi korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan Napza, radikalisme dan ekstremisme. 

Semoga Kementerian Agama benar-benar serius “memodernisasi” MAPK/MAK. Persoalan yang dihadapi MAPK/MAK, seperti gonjang-ganjing tentang kualitas, animo masyarakat, administrasi dan manajemen, status hukum mendesak untuk diperhatikan. MAPK idealnya dibentuk sebagai program mandiri, dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) sendiri, dikelola dengan sarana dan prasarana pendukung yang memadai, memiliki standarisasi yang baku serta dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan yang jelas. Penyelenggaraan MAPK melalui SK Menteri Agama jangan lagi hanya bersifat susulan dan pelaksanaannya dititipkan dan menginduk ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Sudah saatnya struktur dan tata kelola organisasi MAPK berdiri sendiri, terpisah dari lembaga lainnya termasuk dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Selanjutnya, perihal ketidakjelasan status program MAPK menyebabkan administrasi dan manajemen penyelenggaraan program juga tidak jelas, tidak terarah dan tidak mandiri. Hal ini menimpa hampir seluruh MAPK di Indonesia, terutama yang berstatus negeri. Intinya: di samping faktor finansial, tata organisasi dan penyelenggaraan yang tidak mapan, MAPK juga dihadapkan dengan problematika legalitas dan undang-undang. Restrukturisasi MAPK/MAK merupakan sebuah keniscayaan. Semoga ada political will dari sang penentu kebijakan dan MAPK tidak hanya menjadi ‘program sisipan’. Semoga MAPK tidak menuju sanjakala sehingga berefek pada terganggunya kaderisasi ulama plus (ulama intelek dan intelek yang ulama). Saya tidak lebay!

* Penulis adalah alumnus MAPK Surakarta