Oleh Didin Sirojuddin AR
Ų§ŁŲŖŁŁŁŲÆ ŁŁ Ų§ŁŲ®Ų· ŁŲ³ŁŁŲ© Ł
Ł ŁŲ³Ų§Ų¦Ł Ų§ŁŲŖŲ¬ŁŁŲÆ
Artinya, "Meniru kaligrafi termasuk salah satu sarana untuk mempercantik tulisan."
Belakangan ini lafal tauhid menjadi perbincangan publik. Saya jadi teringat pada tradisi taqlidul khat (ŲŖŁŁŁŲÆŲ§ŁŲ®Ų·) yang populer di kalangan kaligrafer.
Taqlid yang berarti meniru/menjiplak/mengimitasi/mereplika digunakan sebagai sarana belajar-mengajar kaligrafi dengan mencontoh karya guru oleh murid-muridnya secara bergiliran atau semata meniru untuk menyamai karya aslinya.
Banyak kata pilihan yang sering ditiru, salah satu yang populer dan banyak diidolakan adalah kalimat tauhid:
ŁŲ§Ų„ŁŁŁŁŁ Ų„ŁŲ§Ų§ŁŁŁŁ Ł
ŲŁ
ŁŁŁŲÆŲ±Ų³ŁŁŁŁŁ Ų§ŁŁŁŁ
Kalimat tauhid dengan Khat Tsulus yang indah ini mula-mula ditulis oleh Muhammad Syafiq, kaligrafer kelahiran Istanbul 1235 H/1820 M, wafat 1297 H/1880 M, yang ditiru oleh Abdul Muta'al Muhammad Ibrahim.
Sekian tahun kemudian, Sami Afandi (lahir di Istanbul 1253 H/1838 M) menirunya yang ditiru lagi olehĀ Ahmad Arif Al-Falbawi (perbatasan Bulgaria, 1246 H/1830 M-1327 H/1909 M), lalu ditiru lagi oleh Ismail Haqqi (lahir di Istanbul 1289 H/1873 M).
Peniruan berlangsung terus tanpa henti karena kalimat tersebut merupakan "deklarasi prinsip" setiap Muslim. Bahkan,Ā sebagiannya dijadikan masyaqĀ untuk latihan murid. Variasinya berkembang bersama kata-kata idola lain seperti lafal basmalah berikut ini:
ŲØŲ³ŁŁŁŁŁŁŁŁŁŁŁŁŁ
Ų§ŁŁŁ Ų§ŁŲ±ŲŁ
Ł Ų§ŁŲ±ŲŁŁŁŁŁŁŁŁ
yang ditulis oleh Mustafa Raqim, lalu ditiru oleh Abdul Aziz Al-Rifa'i, ditiru lagi oleh Abbas Al-Baghdadi sampai seluruh kaligrafer menirunya.
Ada yang menarik tentang masyaq/Ł
Ų“Ł yaitu lembar "coret-coretan guru" yang ditiru murid-muridnya untuk memperlancar tulisan. Dr Afif Al-Bahnasi mendifinisikan masyaq (jamaknyaĀ amsyaq/Ų£Ł
Ų“Ų§Ł) sebagai berikut:
Ų³ŁŲ§Ų³Ų© Ų§ŁŲ®Ų·ŁŲ· ŁŲ³Ų±Ų¹ŲŖŁŲ§ ŁŲ§Ł
ŲŖŲÆŲ§ŲÆŁŲ§
Artinya, āKelancaran tulisan, kecepatannya, dan memanjangkan tarikannya).ā
Masyaqal khatta (Ł
Ų“Ł Ų§ŁŲ®Ų·) berarti "menulis khat secara lancar". Guru khat zaman duluĀ mempergilirkan selembar masyaq kepada murid-muridnya karena belum ada alat pengganda seperti fotokopi di zaman now.
Kata guru, kira-kira begini: "Miiid, Hamid, tirulah tulisanku sampai sama persis. Kalau selesai, kasihkan sama Mustafa, kemudian kepada Fatimah. Terus tiru lagi oleh yang lainnya ya."
Masyaq coretan tangan guru pun ditiru atau dijiplak habis oleh semua muridnya sampai mantap sempurna atau persis 100 %.
MasyaqĀ terhubung dengan kata masyaqqah/Ł
Ų“ŁŲ© yang berarti "kesulitan" karena kaligrafi itu sulit (Ų§ŁŲ®Ų· Ų£Ł
Ų±ŲµŲ¹ŲØ), "Setiap permulaan juga sulit" (Every beginning is difficult) sebagai pintu gerbang ke "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan" (ŁŲ„Ł Ł
Ų¹ Ų§ŁŲ¹Ų³Ų± ŁŲ³Ų±Ų§).
Yang terpenting, masyaq adalah sarana belajar-mengajar kaligrafi yang mewariskan tradisi taqlidul khat/ŲŖŁŁŁŲÆ Ų§ŁŲ®Ų· (yaitu meniru/menjiplak kaligrafi) yang kini berkembang di kalangan khattat Timteng dengan teknologi komputer yang canggih.
Menurut ahli pendidikan kaligrafi Mesir, Fauzi Salim Afifi, "Meniru karya para khattat besar termasuk tahap pertama namun sekaligus pula tahap terakhir belajar kaligrafi," karena ketika mulai belajar, kita meletakkan lembaran contoh latihan para master kaligrafi di depan mata kita kemudian menirunya dari huruf alif hingga ya yang dilanjutkan kepada huruf-huruf sambung.
Tahap berikutnya, murid meniru penuh karya gurunya lalu pindah kepada karya-karya guru yang lain sehingga tangannya "Menemukan teknik dan karakter guru-guru tersebut bahkan jadi bagian dari karakter mereka."
Di kampus-kampus seni rupa Indonesia, hal sama terjadi ketika dosen menugaskan mahasiswa untuk meniru 10 karya pelukis besar seperti Picasso, Salvador Dali, Monet, Renoir, Rembrandt, Da Vinci, Van Gogh, Mat Rothko, Johan Pollock, Wassili Kandinsky, dan lain-lain dengan tujuan agar tangannya akrab dan senyawa dengan karakter lukisan mereka.
Para khattat besar dan pelukis maestro semuanya telah pernah menempuh cara-cara saling tiruĀ tersebut. Maka, meniru bukan barang tabu. Bila ingin maju, harus belajar dengan meniru.
Dari file riwayat, dikenal para murid hebat seperti Abdullah Zuhdi, Sayid Al-Rifa'i, Muhammad Arif, Ismail Haqqi, Jalaluddin, Mir Imad Al-Huseini, Hamid Al-Amidi, dan lain-lain meniru para guru seperti Hafizh Usman, Mustafa Raqim, Mustafa Izzat, Muhammad Syafiq, Muhammad Sami, Muhammad Mu'nis, dan lain-lain sehingga para murid tadi menjadi guru yang ditiru kembali oleh murid-murid lain berikutnya seperti Muhammad Ja'far, Muhammad Ridwan, Muhammad Mahfuzh, Sayid Ibrahim, Najib Hawaweni, Muhammad Husni, Muhammad Abdul Kadir, Muhammad Al-Syahat, Muhammad Al-Haddad, Hasyim Muhammad Al-Baghdadi, dan lain-lain.
Akhirnya murid-murid ini pun menjadi guru-guru yang ditiru lagi oleh orang yang berusaha mempercantik tulisan mereka sekarang, esok, dan esoknya lagi. Tradisi ini menjadi semacam tradisi sanad dalam lingkup ilmu hadits.
Ų„Ų°Ł ŁŲ§ŁŲŖŁŁŁŁŁŲÆ ŁŲ³ŁŁŁŁŁŲ© Ł
Ł ŁŲ³ŁŁŲ§Ų¦Ł Ų§ŁŲŖŲ¬ŁŁŲÆ
Dengan demikian, meniru merupakan salah satu sarana meningkatkan ākecantikanā.
*) Penulis adalah pengurus Lembaga Kaligrafi (Lemka) dan pengasuh pesantren kaligrafi di Sukabumi. Maestro kaligrafi ini juga mengajar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.