Opini

Kritik Fiqih atas PMA 52 Tahun 2014 soal Zakat Perikanan

Sab, 8 Mei 2021 | 13:00 WIB

Kritik Fiqih atas PMA 52 Tahun 2014 soal Zakat Perikanan

PMA tersebut juga turut mengatur mengenai zakat hasil perikanan tambak dan perikanan tangkap.

Zakat merupakan ibadah yang bersifat tauqifi. Segala ketentuan pelaksanaannya telah diuraikan secara jelas di dalam syara’. Namun, untuk operasionalnya pada lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara, aturan mengenai tata cara pelaksanaan zakat ini juga turut diatur dalam rangkaian hukum wadl’i. Di Indonesia, perangkat hukum positif yang mengatur soal zakat ini tersebut adalah diatur lewat Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 yang berisi tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayangunaan Zakat untuk Usaha Produktif.

 

Berdasarkan database peraturan yang terhimpun dalam situs BPK, PMA Nomor 52 Tahun 2014 ini telah dua kali mengalami revisi, yaitu:

 

Pertama, oleh PMA Nomor 69 Tahun 2015, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif, dan

 

Kedua, oleh PMA Nomor 31 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syariat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif.

 

Yang menarik disoroti dari PMA Nomor 52 Tahun 2014 ini adalah ketika PMA tersebut juga turut mengatur mengenai zakat hasil perikanan tambak dan perikanan tangkap. Ketentuan ini diatur dalam Bab III Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah, Bagian Kesatu Tata Cara Penghitungan Zakat Mal, Pasal 19, yang menyatakan sebagai berikut:

 

  1. Hasil perikanan yang dikenakan zakat mencakup hasil budidaya dan hasil tangkapan ikan
  2. Nisab zakat atas hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) senilai 85 gram emas.
  3. Kadar zakat atas hasil perikanan sebesar 2,5%.

 

Perikanan Budidaya: Diqiyaskan ke Mana?

Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 dari PMA Nomor 52 Tahun 2014, ada definisi bahwa zakat peternakan dan perikanan adalah zakat yang dikenakan atas binatang ternak dan hasil perikanan yang telah mencapai nisab dan haul. Definisi ini secara tidak langsung bertabrakan dengan Pasal 20, yang menyatakan bahwa zakat hasil perikanan ditunaikan pada saat panen dan dibayarkan melalui amil zakat resmi.”

 

Dua narasi teks ini saling berkebalikan. Jika ditunaikan setelah tercapai haul (1 tahun), kenapa harus ditunaikan ketika saat panen tiba? Sebab, diksi haul, di dalam ketentuan fiqih turats adalah merujuk pada terminologi idza hala al-haulu, artinya ketika sebuah aset niaga itu telah mencapai usia 1 tahun. Dan, terminologi ini adalah dipergunakan untuk harta tijarah.

 

Baca juga:

 

Adapun terminologi “saat panen”, merupakan terminologi yang dipergunakan untuk objek zakat yang terdiri dari zakat zuru’ dan tsimar (pertanian dan buah-buahan). Alhasil, terjadi kerancuan dari sisi bunyi teks PMA tersebut: zakat perikanan itu mau diqiyaskan ke zakat apa, zakat tijarah (niaga) ataukah zakat zuru’ dan tsimar?

 

Jika zakat perikanan hendak diqiyaskan ke zakat tijarah, mengapa harus memakai istilah “saat panen”? Semestinya cukup dengan terminologi “zakat hasil perikanan boleh disegerakan penunaiannya ketika telah tercapai nishab, dan pembayarannya dilakukan melalui amil zakat resmi.”

 

Hasil Tangkapan Ikan: Mengapa Harus Dizakati?

PMA Nomor 52 Tahun 2014, Pasal 19, ayat (1) menyatakan bahwa Hasil perikanan yang dikenakan zakat mencakup hasil budidaya dan hasil tangkapan ikan. Yang menjadi persoalan adalah mengapa hasil tangkapan ikan turut serta dijadikan objek zakat?

 

Mungkin, PMA itu hendak menyatakan bahwa hasil tangkapan itu merupakan hasil dari kegiatan dengan niat untuk dijual. Alhasil, hasil tangkapan ikan hendak diqiyaskan dengan urudl al-tijarah (harta modal dagang). Benarkah bahwa hasil tangkapan ikan termasuk memenuhi kriteria urudl al-tijarah? Di sini penting untuk dijadikan bahan kajian.

 

Zakat Perikanan Tambak dan Perikanan Tangkap

Perikanan merupakan wilayah yang berada di luar objek zakat yang manshush (tak disebut dalam nash syariat). Sebab, berdasar keterangan yang tersurat di dalam fiqih, objek manshush zakat itu mencakup 5 wilayah bidang pengembangan harta, yaitu:

 

تجب الزَّكَاة فِي خَمْسَة أَشْيَاء الْمَوَاشِي والأثمان والزروع وَالثِّمَار وعروض التِّجَارَة

 

“Zakat wajib berlaku atas 5 hal, yaitu ternak, barang berharga, tanaman, buah-buahan, dan harta niaga.” (Matn Ghayat wa al-Taqrib).

 

Karena di luar objek zakat yang manshush, harta yang diperoleh dari hasil aktivitas produksi perikanan bisa dipilah menjadi dua, yaitu: (1) perikanan tambak, dan (2) perikanan tangkap.

 

Untuk perikanan tambak, ada beberapa praktik yang umum berlaku di masyarakat, antara lain sebagai berikut:

  1. Bibit ikan terkadang diperoleh dari hasil pembenihan sendiri.
  2. Para petambak kadang memperoleh bibit ikan dari hasil membeli kepada petani bibit.

 

Dari kedua model ini, ada pengaruh terhadap kapan suatu modal itu bisa disebut sebagai urudl al-tijarah. Sebab para ulama telah bersepakat bahwa:

 

اشترط الفقهاء لوجوب زكاة عروض التجارة شروطاً، أربعة عند الحنفية، وخمسة عند المالكية، وستة عند الشافعية، وشرطين فقط عند الحنابلة منها ثلاثة شروط متفق عليها وهي بلوغ النصاب، وحولان الحول، ونية التجارة ومنها شروط زوائد في بعض المذاهب

 

“Para fuqaha telah menetapkan syarat wajibnya zakat atas urudl al-tijarah. Ada 4 kriteria menurut kalangan Hanafiyah, 5 menurut Malikiyah, 6 menurut kalangan Syafiiyah, dan 2 kriteria menurut kalangan Hanabilah. Dari ketiganya tersebut, tiga syarat yang disepakati oleh 4 mazhab, adalah sampainya nishab, tercapainya haul, dan niat untuk diniagakan. Selebihnya, adalah syarat-syarat tambahan menurut sebagian ulama mazhab“

 

Mencermati dari uraian di atas, maka status urudl al-tijarah dari petambak di atas, dapat diperinci sebagai berikut:

  1. Untuk petambak dengan model bibit yang pertama, haul urudl al-tijarah dihitung sejak mulai masa panen pertama, kemudian sebagian hasil panen itu disisihkan sebagian untuk modal usaha berikutnya.
  2. Untuk model bibit yang kedua, maka haul urudl al-tijarah dihitung sejak mulai mendatangkan bibit itu untuk dibudidayakan di tambak. Alhasil, sejak awal budidaya, besaran modal yang dipergunakan untuk membeli bibit dan biaya perawatan, dihitung sebagai urudl al-tijarah.

 

Selebihnya, mari kita uraikan mengenai tiga dua kriteria perikanan tambak dan perikanan tangkap. Apakah perikanan tangkap bisa masuk kategori wajib zakat?

 

Pertama, termaktub di dalam Kitab Hawasyi al-Madaniyah juz 2, halaman 95, bahwa:

 

وقد قررنا أن ما لازكاة فى عينه تجب فيه زكاة التجارة من الجذوع والتين والأرض إذ ليس فى هذه المذكورات زكاة عين، ومالازكاة فى عينه تجب فيه التجارة

 

“Dan telah kami tetapkan, sesungguhnya sesuatu yang tidak termasuk mal zakawi (harta benda yang harus di zakati menurut ainnya) wajib baginya zakat tijaroh (perdagangan). Seperti kayu, buah tin, tanah, karena jenis-jenisnya tidak termasuk dizakati secara ain (menurut objek manshush) dan segala yang tidak dizakati secara ain, maka harus dizakati secara tijaroh, (perdagangan/2,5 % ).”

 

Menurut keterangan ini, maka jenis perikanan yang masuk dalam kategori tijarah adalah perikanan tambak dan bukan perikanan tangkap. Sebab, di dalam perikanan tambak, berlaku yang dinamakan urudl al-tijarah, yang ditengarai oleh adanya bibit ikan yang dibeli dari petani lain, atau hasil panen ikan yang hendak diputar kembali dan atau bisa dihitung awal haulnya modal. Semua ketentuan mengenai urudl al-tijarah dan haul ini tidak kita jumpai pada nelayan tangkap dan hasil tangkapannya.

 

Kedua, Ibn al-Mundzir sebagaimana dikutip oleh Syeikh Wahbah al-Zuhaily di dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 3, halaman 1866, menegaskan mengenai kewajiban harusnya haul:

 

قال ابن المنذر: أجمع أهل العلم على أن في العروض التي يراد بها التجارة: الزكاة إذا حال عليها الحول

 

“Ibnu Mundzir berkata: Para ahli ilmu telah berijma bahwa sesungguhnya di dalam setiap urudl yang dimaksudkan untuk niat ditijarahkan, maka wajib dikeluarkan zakatnya setelah tercapai haul.” (Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 3, halaman 1866)

 

Ketiga, syarat dari urudl al-tijarah, adalah: apabila harta modal diperoleh dengan jalan melalui akad pertukaran. Secara tegas, syarat ini meniadakan hasil perikanan tangkap dari kelompok wajib zakat, dan memasukkan perikanan tambak sebagai bagian wajib dizakati.

 

الشافعية قالوا: تجب زكاة عروض التجارة بشروط ستة: الأول: أن تكون هذه العروض قد ملكت بمعاوضة: كشراء، فمن اشترى عروضا نوى بها التجارة، سواء اشتراها بنقد أو بدين، حال أو مؤجل، وجب عليه زكاتها

 

"Ulama dari kalangan Syafiiyah berkata: zakat urudl al-tijarah wajib disampaikan dengan enam syarat, yaitu: pertama, jika urudl al-tijarah itu diperoleh dengan akad mu’awadlah, seperti membeli. Barang siapa membeli sebuah urudl dengan niat untuk diniagakan, baik pembelian itu dengan dinar/dirham atau dengan utang, kontan atau tempo, maka wajib dikeluarkan zakatnya.” (Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 3, halaman 1866)

 

Keempat, hasil dari panenan ikan merupakan yang diniatkan lagi untuk diputar dan dijadikan modal untuk bertani tambak tanpa harus diubah menjadi wujud ain yang lain, seumpama emas. Sebab, pengubahan menjadi emas yang disimpan atau harta konsumtif, maka yang berlaku adalah zakat emas, dan bukan zakat urudl. Jika kemudian simpanan itu hendak digunakan lagi sebagai modal, maka sejak saat emas itu dijual dan digunakan modal, berlaku ketentuan haul yang baru.

 

أن لا يقصد بالمال القنية، أي إمساكه للانتفاع به، وعدم التجارة، فإن قصد ذلك انقطع الحول، فإذا أراد التجارة بعد احتاج لتجديد نية التجارة مقرونة بتصرف في المال

 

"Harta hasil urudl itu tidak dimaksudkan untuk dijadikan harta murni (konsumtif/qinyah), yaitu disimpan untuk dimanfaatkan untuk kepentingan lain, dengan ketiadaan lagi untuk ditijarahkan. Jika hal ini terjadi, maka terputuslah hitungan haul. Jika kemudian pemiliknya bermaksud untuk melakukan praktik niaga lagi, maka dibutuhkan memperbaruhi niat tijarah yang dibarengi dengan menasarufkan harta.” (Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 3, halaman 1866)

 

Kelima, boleh melakukan ta’jil zakat di saat panen, dengan catatan apabila hasil panenan tambak itu telah sempurna mencapai nishab. Jika belum sempurna mencapai nishab, maka tidak boleh dilakukan ta’jil zakat. Perhatikan ibarat dari Kitab Raudlatu al-Thalibin, Juz 2, halaman 213 sebagai berikut!

 

التعجيل جائز في الجملة، هذا هو الصواب المعروف . وحكى الموفق أبو طاهر، عن أبي عبيد بن حربويه من أصحابنا منع التعجيل، وليس بشيء، ولا تفريع عليه

 

“Penyegeraan zakat secara umum adalah boleh. Ini adalah pendapat yang benar dan sudah umum diketahui. Namun Al-Muwaffiq Abu Thahir juga telah menyampaikan keterangan yang dinukil dari Abu Ubaid ibn Hurrabuwaih, yaitu ulama dari kalangan Syafiiyah, bahwa ta’jil zakat (penyegeraan zakat sebelum haul) adalah dicegah. Namun pendapat ini tidak penting untuk dipersoalkan sebab tidak bisa menghilangkan status bolehnya ta’jil zakat.”

 

Lebih lanjut, Imam Nawawi menjelaskan di dalam kitab yang sama mengenai ketentuan ta’jil al-zakat tersebut, yaitu harus tercapai nishab zakat terlebih dulu, atau dalam satu tahun optimis tercapai nishab zakat. Ketiadaan nishab, menjadikan zakat urudl tersebut menjadi tidak sah sebagai zakat.

 

يجوز تعجيل زكاته قبل الحول، ولا يجوز قبل تمام النصاب في الزكاة العينية. أما إذا اشترى عرضا للتجارة يساوي مائة درهم، فعجل زكاة مائتين، وحال الحول وهو يساوي مائتين، فيجزئه المعجل عن الزكاة، على المذهب

 

"Boleh melakukan penyegeraan zakat sebelum tercapainya haul, dengan catatan bila telah tercapai nishab zakatnya sesuai dengan zakat ainiyahnya. Adapun bila ada seseorang membeli sesuatu untuk diniagakan seumpama 100 diram, kemudian ia melakukan ta’jil zakat sebesar 200 dirham, dan ketika tercapai haul ternyata benar urudl itu berubah menjadi 200 dirham, maka hukum penyegeraan itu sudah mencukupi sebagai zakat menurut pendapat ini.” (Raudlatu al-Thalibin, Juz 2, halaman 213).

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil telaah terhadap referensi fiqih turats di atas, dapat diketahui bahwa:

  1. Jenis kategori perikanan yang bisa dipungut zakat adalah perikanan tambak dengan mengikuti 2 model penghitungan awal haul, yaitu:
  1. Bila bibit diperoleh dari hasil usaha sendiri maka hitungan awal haul dimulai semenjak panen pertama, kemudian ada sebagian modal yang disisihkan untuk diputar kembali
  2. Bila bibit diperoleh dari pembelian maka hitungan awal haul dimulai semenjak pembelian bibit.
  3. Kedua model di atas, berlaku jika modal usaha tersebut tidak ada kemungkinan untuk diuabah (diubah) statusnya sebagai konsumtif, melainkan secara khusus disiapkan untuk diputar kembali.
  1. Jenis kategori perikanan tangkap tidak masuk kategori wajib zakat perikanan. Zakat yang berlaku pada pihak nelayan ini, adalah bila uang sisa hasil penjualan itu disimpan dalam bentuk tabungan atau emas perak, maka berlaku wajibnyya zakat padanya setelah 1 tahun masa penyimpanan.
  2. Mencermati dua kesimpulan ini, maka seharusnya PMA Nomor 52 Tahun 2014, Pasal 19, ayat (1) yang menyatakan bahwa “hasil perikanan yang dikenakan zakat mencakup hasil budidaya dan hasil tangkapan ikan” hendaknya diubah menjadi hasil perikanan yang dikenakan wajib zakat adalah mencakup ikan hasil budidaya tambak saja, tanpa menyebutkan diksi hasil tangkapan ikan disertai tambahan ketentuan telah mencapai nishab dan haul
  3. Pasal 20 yang menyatakan bahwa zakat hasil perikanan ditunaikan pada saat panen dan dibayarkan melalui amil zakat resmi, hendaknya diubah bunyinya menjadi: “zakat hasil perikanan boleh disegerakan penunaiannya saat panen tiba dengan ketentuan apabila telah tercapai nishab, dan pembayarannya dilakukan melalui amil zakat resmi

 

Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

Muhammad Syamsudin, Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jawa Timur