Opini

Kiai Ali Musthafa, Cermin Kebijaksanaan Bermasyarakat

Sel, 29 Januari 2019 | 22:00 WIB

Kiai Ali Musthafa, Cermin Kebijaksanaan Bermasyarakat

Kiai Ali di mushalanya

Oleh R. Ahmad Nur Kholis
 
Adalah Kiai Ali bin Kiai Mushafa, seorang kiai kampung di Desa Bandungan Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan. Kiai Ali adalah putra Kiai Mushtafa. Seorang kiai mangku mushala kecil di kampungnya. 
 
Penulis jika sedang pulang kampung dari Malang ke Pamekasan, saya sering mengunjungi Kiai Ali karena lingkungan rumahnya adalah tempat saya sering bermain semasa kecil bersama-sama dengan teman-teman. Biasanya saat saya berkunjung, sering terlihat Kiai Ali duduk menyendiri di mihrab mushala itu. kadang terlihat sambil pegang tasbih, terkadang sedang shalat, dan terkadang pula hanya duduk termenung atau sedang membaca Al-Qur’an.
 
Kiai Ali adalah seorang kiai alumnus Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Pancoran Kadur Pamekasan. Ia termasuk santri generasi pertama pesantren itu. Hal ini karena selama ia mondok di pertengahan tahun 1960-an Kiai Ali adalah murid Kiai Jamaluddin Rahbini, pendiri pesantren itu.
 
Kontroversi di Kalangan Ustadz Muda
Dalam masa hidupnya, Kiai Ali merupakan sosok yang kontroversial, utamanya di kalangan ustadz-ustadz muda yang baru keluar dari pesantren ketika itu. Banyak hal dari Kiai Ali yang mungkin dinilai para ‘ustadz muda’ itu sebagai tindakan nyeleneh dari kebiasaan kiai pada umumnya. Bahkan sering saya mendengar atau bahkan melihat sendiri perdebatan antara kiai Ali dengan para ustadz muda itu. Tema-tema perdebatannya bermacam-macam, tapi seringnya adalah masalah bagaimana seharusnya sikap hidup di masyarakat.
 
Pernah juga Kiai Ali ditentang ramai-ramai oleh para ustadz karena Kiai Ali selalu menjelaskan masalah keutamaan ‘setiap malam’ dari malam bulan Ramadhan sebagaimana dalam Kitab Durratun Nasihin. Kiai Ali ditentang ramai-ramai para ustadz karena dinilai memfatwakan sesuatu dari hadits yang lemah. Beliau juga ditentang karena ungkapan: “kalau waktu sahur, hendaknya kamu bangun meskipun kamu tak mau shalat subuh.”
 
Memang salah salah satu kebiasaan Kiai Ali adalah memberikan pengumuman melalui pengeras suara di mushalanya kepada masyarakat mengenai keutamaan setiap malam pada bulan Ramadhan.
 
“Keutamaan, dan pahala malam pertama di bulan Ramadhan, orang yang melaksanakan Shalat Tarawih di malam pertama ini ia akan diampuni semua dosanya dan menjadi suci layaknya bayi baru lahir.” Demikianlah kira-kira pengumumannya. Jika ada yang salah, itu adalah kesalahan saya dalam mengutip perkataan Kiai Ali.
 
Demikian pula ketika waktu sahur, ia memberikan pengumuman pula lewat pengeras suara di Isinya kurang lebih demikian:
 
“Sahur…. Sahur saudara-saudara sahur….!!! Bangun semuanya bangun…!!!, bagi semua yang hendak puasa bangun dan sahurlah kalian! Meskipun kalian ndak mau puasa besok bangun dan sahurlah ndak apa-apa. Meskipun kalian tak mau Shalat Subuh, sahur dan bangunlah,” katanya dengan lantang.
 
Pernyataan-pernyataan seperti itu, utamanya pernyataan yang terakhir sontak mendatangkan kontroversi yang menyebabkan Kiai Ali harus menghadapi perdebatan kiai yang lain utamanya para ustadz muda. Pernah juga bahkan seorang ustadz muda yang baru lulus dari pesantren mendatangi mushalanya dan berdiskusi. Bahkan ia pernah pula dinyatakan sebagai ‘terjatuh pada kekafiran’ oleh para ustadz muda itu.
 
Dalam menghadapi kritik dan itu, penulis melihat sendiri bahwa Kiai Ali tidak pernah gentar sedikit pun menghadapinya. Ia tetap saja menjalankan apa yang diyakininya. Bahkan sering terlihat bahwa ia duduk berdekatan dengan ustadz yang menentangnya dalam suatu undangan acara hajatan masyarakat.
 
Kitab Kuning sebagai kitab andalan
Bertahun-tahun belajar di pesantren, Kiai Ali ternyata telah belajar kepada banyak guru dan ustadz di pesantrennya. Gurunya yang utama adalah Kiai Jamaluddin Rahbini, sang pendiri pesantren, juga ia pernah belajar kepada putra-putra Kiai Jamaluddin, kepada para ustadz di sana. 
 
Ia mengaku guru kepada semua yang pernah mengajarinya dan bahkan meskipun secara usia beberapa tahun di bawahnya.
 
Adalah suatu yang mengherankan bahwa selama bertahun-tahun belajar di pesantren ia mengaku hanya mengaji beberapa kitab saja. Kitab tersebut adalah: Ibnu Aqil sebagai ilmu alat, Tafsir Jalalain, Riyadhus Shalihin, Fathul Qarib dan Durratun Nasihin. 
 
Ia menjelaskan bahwa hanya kelima kitab itulah yang di dalaminya selama belajar di pesantren. Namun mengenai kitab-kitab tersebut ia mengaku telah belajar kepada banyak kiai dan banyak ustadz di pesantrennya.
 
“Selama saya mondok, saya hanya mengaji Jalalain, Riyadus Shalihin, Fathul Qarib dan Ibnu Aqil saja juga Durratun Nashihin.” Tuturnya kepada penulis saat ditemui di mushalanya.
 
Jadi demikianlah, mengaji hanya beberapa kitab, akan tetapi didalami selama beberapa tahun dan mendapatkan penjelasan dari berbagai guru. Ini bagi penulis adalah suatu hal yang luar biasa. Ini pulalah yang dalam pandangan penulis menyebabkan ia menjadi radikal dalam moderatisme. Radikal dalam arti bahwa ia memahami dan menghayati secara mendalam kitab-kitab tersebut. Moderat dalam arti ia luwes dalam menghadapi masyarakat awam.
 
“Nak, kalau kamu mengaji Durratun Nasihin, imbangilah juga dengan mengaji Riyadhus Shalihin,” katanya dalam perbincangan pribadi dengan penulis di mushala-nya sekitar setahun yang lalu.
 
Dalam hal mengenai fatwa dari hadits yang lemah di Duratun Nasihin, sempat juga penulis tanyakan kepada beliau dalam suatu kesempatan. Juga mengenai keharusan bangun sahur meskipun tak shalat subuh. Ia menjawab:
 
Ndak apa-apa mereka menentang, karena mereka tak paham, maka dari itu tak berani melakukannya. (fatwa dengan Durratun Nasihin, red.).” Katanya
 
“Kalau mereka yang sudah alim, maka apa yang saya kutip dari Durratun Nasihin ndak perlu. Tapi bagaimana dengan mereka yang awam, yang untuk melaksanakan puasa saja sulit? Setidaknya dengan saya beritahu pahala mereka jadi semangat tarawih,” tambahnya.
 
“Masalah bangun sahur meskipun tak mau puasa dan shalat subuh, setidaknya kalau ia mau bangun untuk makan sahur selama 30 hari bulan puasa ia sudah latihan membiasakan diri bangun waktu subuh. Untuk supaya mereka mau shalat subuh bisa kita lanjutkan mauidlah hasanah. Yang penting terbiasa bangun subuh dulu,” jelasnya lagi.
 
Jadi, tampaknya Kiai Ali sudah memperhatikan bagaimana kondisi masyarakat sekitarnya. Ia dalam pergaulannya yang dekat dengan mereka sangatlah mengerti dan memahami berbagai aspek kehidupan para tetangganya itu.
 
Berkhidmah kepada Masyarakat
Di satu sisi ia sering mendapatkan penentangan dari para ustadz muda, di sisi lain Kiai Ali sering mendapatkan kunjungan dari masyarakat awam di kediaman atau mushalanya. Berbagai macam hal diadukan masyarakat kepadanya, mulai dari keperluan berobat, masalah keluarga sampai dengan masalah konsultasi usaha. 
 
Bahkan kiai Ali mengizinkan pula mushalanya untuk dijadikan tempat penampungan hasil panen pertanian masyarakat. Pada musim tembakau, bisa saja mushala yang tadinya dibuat shalat lima waktu itu lalu disulap sebagai gudang penyimpanan sementara tembakau mereka. Malam harinya, halaman mushalanya dapat giliran sebagai tempat merajang tembakau-tembakau itu. dengan secara tak langsung maka dapat dikatakan mushala kecil tersebut telah menjadi pusat kegiatan agama, sosial dan ekonomi masyarakat.
 
Bagi Kiai Ali, janganlah bertanya masalah hukumnya dulu, masyarakat ini memerlukan dakwah yang dibingkai bentuk santun dan mengayomi. Mereka belum mengerti dan harus perlahan untuk diberi pengertian.
 
Kai Ali sangat peduli akan masyarakat kecil. Ia tak segan-segan langsung mendatangi masyarakat yang membutuhkan sesibuk apa pun dia. Rata-rata yang ia layani adalah masyarakat kecil dan miskin di desanya.
 
“Kiai, itu anak saya di rumah disengat ular waktu cari kayu di tegalan. Kakinya bengkak,” kata seorang perempuan dengan tergesa-gesa suatu ketika saat kiai Ali sedang asik berbincang dengan penulis.
 
“Baik kalau begitu saya akan segera ke sana,” kata Kiai Ali langsung. Ia pun memutus perbincangan dengan saya dan segera bergegas.
 
Demikianlah Kiai Ali ia menjadi pengayom masyarakat. Penampilannya pun tak tampak sebagai Kiai. Kehidupannya sederhana. Baju yang ia pakai seringnya lusuh dan mangkak. Rupanya ia berpakaian sebagaimana masyarakat kecil yang sering mengunjunginya berpakaian. Namun siapa yang menyangka bahwa ia pengamal tarekat Naqsyabandiyah. Siapa yang menyangka pula bahwa ia pengikut setia dan aktivis Partai Nahdlatul Ulama di tahun 1971 (setidaknya untuk tingkat desa) mengikuti gurunya yang juga aktivis NU di tingkat Kabupaten Pamekasan.
 
Sekitar dua tahun yang lalu. Setelah hari Raya Idul Fitri, terdengar kabar bahwa ia telah wafat berpulang ke rahmatullah. Ia wafat setelah selama beberapa bulan lamanya sakit pada bagian lambungnya.
 
Banyak masyarakat melayat ketika kewafatannya. Mereka merasa kehilangan. Bahkan para ustadz muda yang dulu menentangnya (dan sekarang sudah semakin tua) juga ikut tahlil selama 7 (tujuh) hari kewafatannya.
 
Teruntuk, Kiai Ali bin Kiai Mushafa, Al-Fatihah….
 
Penulis adalah Nahdliyin, tinggal di Malang