Opini

KH Achmad Siddiq dan Pancasila

Sab, 2 Juni 2018 | 03:15 WIB

KH Achmad Siddiq dan Pancasila

KH Achmad Siddiq (Dok. NU Online)

Oleh Fathoni Ahmad

Sebagai salah satu tokoh arsitek Khittah NU 1926 dan juga berperan penting dalam ikut merumuskan pondasi hubungan Islam dan Pancasila, KH Achmad Siddiq (1926-1991) asal Jember menyampaikan sebuah pidato usai terpilih sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Berikut salah satu cuplikan pidato Kiai Achmad Siddiq yang begitu berkesan bagi umat Islam Indonesia, khususnya Nahdliyin:

“Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation (bangsa), teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara (kesatuan) di wilayah Nusantara. Para Ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.” (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)

Ada tiga poin penting dalam pernyataan Kiai Achmad Siddiq tersebut. Pertama, negara bangsa (nation state). Penerimaan para kiai yang mumpuni dalam ilmu agama dan mempunyai jiwa nasionalisme tinggi terhadap bentuk negara bangsa mempertegas bahwa Indonesia dengan mayoritas beragama Islam bukanlah negara agama, tetapi negara bangsa yang memegang teguh nilai-nilai agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama dalam Pancasila.

Kedua, negara kesatuan di wilayah Nusantara atau dengan istilah lain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalangan pesantren, santri dan kiai berkomitmen tinggi dalam menjaga keutuhan NKRI ini. Sebab Indonesia didirikan di atas pondasi keberagaman atau kemajemukan bangsa yang terbentang di 17.504 pulau, serta mempunyai 1.340 suku, dan 546 bahasa daerah.

Spirit memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi pondasi kokoh bagi para ulama untuk terus menjaga dan merawat perjuangan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasar Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Cinta terhadap tanah air Indonesia bukan semata cinta buta, tetapi cinta yang dilandasi agama. Bahkan, Fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menyatakan dengan tegas bahwa membela Tanah Air merupakan kewajiban agama.

Dalam menjaga NKRI tersebut, NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) seperti dipertegas Kiai Achmad Siddiq di atas, bukan ’penjaga biasa’, melainkan memperkuat dan merajut berbagai elemen bangsa untuk menyadari bahwa cinta tanah air merupakan salah satu upaya aktualisasi nyata keimanan seseorang. Sehingga cinta tanah air berlaku untuk seluruh kaum beragama di Indonesia. Ini dicetuskan langsung oleh pendiri NU KH Hasyim Asy’ari yang menyatakan, hubbul wathani minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman).

Ketiga, penerimaan Pancasila oleh NU untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial. Ada dua catatan sejarah penting dalam Muktamar NU 1984 di Situbondo, ialah NU kembali ke Khittah 1926 dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal ini pertama kali dilakukan oleh NU. Bukan semata menyukseskan program rezim Orde Baru, tetapi lebih kepada misi bahwa Pancasila sebagai konsensus kebangsaan perlu dipertegas menjadi pondasi kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial seperti yang dimaksud Kiai Achmad Siddiq.

Penjelasan tentang Asas

Kiai Achmad Siddiq yang sejak muda dulu sudah terlibat dalam perjuangan NU serta bagaimana para kiai NU membidani penyusunan Pancasila memahami betul sehingga bisa dikatakan beliau merupakan arsitek tunggal dalam rancangan NU kembali ke Khittah 1926 dengan menuliskan Khittah Nahdliyyah, risalah penting untuk memahami Khittah NU dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi dengan menyusun deklarasi hubungan Pancasila dengan Islam dibantu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan kawan-kawan, termasuk KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).

Upaya yang kini menjadikan NU sebagai civil society dengan peran kuat tanpa melibatkan diri dalam politik praktis dan meneguhkan eksistensi Pancasila menunjukkan bahwa para kiai NU tidak begitu saja melakukan langkah tanpa disertai argumentasi-argumentasi logis dan akademis demi kepentingan jangka panjang bangsa Indonesia. Kiai Achmad Siddiq sendiri menjelaskan secara gamblang Pancasila sebagai asas dalam sudut pandang teologis.

Dalam Al-Qur’an, tiga kali dipergunakan lafadh asas yang ketiga-tiganya mengenai asas pendirian masjid (ibadah), yaitu takwa. Ayat yang menjelaskan hal tersebut ada dalam Qur’an Surat At-Taubah ayat 108-109. Sesungguhnya menurut ajaran Islam, ikhlas dan takwa itulah yang mutlak asasi. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Bayyinah ayat 5. Seperti para ulama pendiri NU yang mencukupkan diri dengan asas ikhlas dan takwa dalam amal ibadah dan amal perjuangannya. (Menghidupkan Kembali Ruh Pemikiran KH Achmad Siddiq, Logos, 1999)

Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia. Deklarasi hubungan Islam dan Pancasila dalam pandangan Kiai Achmad Siddiq bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Karena hal itu dapat merendahkan Islam dengan ideologi atau isme-isme tertentu. Problem ini seiring dengan isu yang berkembang di kalangan umat Islam saat itu.

Mereka beranggapan bahwa menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti mendepak atau melemparkan iman dan menerima asas tunggal Pancasila berarti kafir, sedang kalau menerima keduanya berarti musyrik. Hal ini ditegaskan oleh Kiai Achmad Siddiq sebagai cara berpikir yang keliru.

Dengan cara berpikir keliru tersebut, Kiai Achmad Siddiq menegaskan kepada seluruh masyarakat bahwa Islam yang dicantumkan sebagai asas dasar itu adalah Islam dalam arti ideologi, bukan Islam dalam arti agama. Ini bukan berarti menafikan Islam sebagai agama, tetapi mengontekstualisasikan bahwa Islam tidak hanya beperan sebagai jalan hidup, tetapi juga sebuah ilmu pengetahuan dan pemikiran yang tidak lekang seiring perubahan zaman.

Ideologi adalah ciptaan manusia. Orang Islam boleh berideologi apa saja asal tidak bertentangan dengan Islam. Terkait Islam diartikan sebagai ideologi, Kiai Achmad Siddiq memberikan contoh Pan-Islamismenya Jamaluddin Al-Afghani. Islam ditempatkan oleh Al-Afghani sebagai ideologi untuk melawan ideologi-ideologi lainnya. Karena saat itu dunia Timur sedang berada dalam penjajahan dan tidur nyenyak dalam cengkeraman penjajahan artinya tidak tergerak untuk melawan kolonialisme.

Maka tidak ada jalan lain menurut Jamaluddin Al-Afghani membangkitkan semangat Islam secara emosional, yaitu dengan mencantumkan Islam sebagai asas gerakan Pan-Islamisme. Sejak itu Islam mulai diintrodusir sebagai ideologi politik untuk menentang penjajah. Bukan seperti ulama-ulama di Indonesia yang menggunakan Islam sebagai spirit menumbuhkan cinta tanah air dan nasionalisme. Spirit yang ditumbuhkan para kiai untuk melawan penjajah tidak membawa Islam sebagai ideologi politik pergerakan, melainkan aktualisasi Islam dalam wujud cinta tanah air untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah saat ini.

Langkah yang dilakukan para kiai berdampak pada pemahaman bahwa umat Islam di Indonesia tidak memahami Islam secara simbolik tetapi substantif. Sehingga tidak ada upaya-upaya bughot untuk memformalisasikan Islam ke dalam sistem negara. Di titik inilah ulama NU perlu menjelaskan hubungan Islam dengan Pancasila agar tidak dipahami secara simbolik, tetapi substantif bahwa Pancasila merupakan wujud dari nilai-nilai Islam. Karena di dalamnya terkandung tauhid, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.

Ada pemadangan menarik ketika momen Muktamar NU 1989 di Krapyak, Yogyakarta, lima tahun setelah NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal dengan merinci hubungan Pancasila dengan Islam. Kiai Achmad Siddiq sebagai Rais Aam PBNU berhasil memukau kerumunan masa berjam-jam untuk ndeprok (duduk) di tanah di bawah terik matahari. Masyarakat ingin mendengarkan penjelasan Kiai Achmad Siddiq bahwa Pancasila itu sejiwa dengan Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).

Penjelasan Kiai Achmad Siddiq tersebut juga mendapat perhatian dari Prof Dawam Rahardjo saat itu: “Cara dia membahas dan memecahkan hubungan antara Pancasila dan Islam tidak saja sistematis, tetapi juga logis tanpa nada apologi. Keterangannya itu bisa dimengerti oleh Pemerintah karena menggunakan terminologi politik modern. Tetapi rakyat juga bisa memahami dan juga menerima argumentasinya karena didasarkan pada metodologi pembahasan fiqih yang dikenal masyarakat,” tutur Dawan Rahardjo yang mengagumi kapasitas intelektual dan kenegarawanan Kiai Achmad Siddiq. Al-Fatihah...

Penulis adalah Pengajar Sejarah Peradaban Islam di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.