Oleh Mohammad Mahpur
Suara pemilih Nahdliyin selalu menjadi rebutan ketika pemilu. Nahdliyin acap kali dijadikan sebagai instrumentalisasi politik melalui reproduksi sikap dan perilaku dukungan. Reproduksi tersebut dilakukan dengan memainkan identitas Nahdliyin dalam berbagai simbolisasi ketokohan, keturunan dan pencitraan seorang calon.
calon.
Ada pula dengan cara menggunakan silaturahim ke pesantren. Hasil silaturahim tersebut menunjukkan simbolisasi komunikatif jika seorang calon telah direstui dari seorang kiai ternama. Ada yang terang-terangan menggunakan simbolisasi NU untuk kebutuhan pengakuan terhadap calon.
Drama tersebut ingar bingar ketika para calon pemimpin negeri ini sedang berlomba untuk mencari simpati dan suara. Di tahun politik 2018 hingga 2019, sikap dan perilaku politik Nahdliyin akan diuji. Terutama wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah yang seluruh calonnya diisi oleh figur sentral Nahdliyin.
Melihat dinamika politik yang berkembang, tentunya Nahdliyin akan terpolarisasi ke dalam tarik-ulur kepentingan. Di sinilah sebagai Nahdliyin dibutuhkan sikap politik yang terbuka dan pandangan politik yang lebih rasional dalam menentukan pilihannya. Kapasitas diri ini mendorong Nahdliyin untuk lebih cerdas secara politik dalam membangun penalarannya kepada calon pemimpin yang dipilihnya di tengah ingar bingar penokohan dan penarikan simpati melalui simbol-simbol kultural Nadliyin.
Rasionalitas Politik
Kapasitas personal yang dibutuhkan oleh Nahdliyin di tengah-tengah kampanye atau upaya menarik simpati calon pemilih adalah mendorong lahirnya kesadaran personal dan kolektif dalam menguji sudut pandang kandidat. Kapasitas ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan melakukan penalaran dasar dan terbuka terhadap seluruh informasi yang masuk mengenai calon. Apalagi dominasi informasi tentang Pilkada selalu membanjiri akun media sosial dengan beragam konten yang saling mencari pembenaran.
Oleh karena itu, kemampuan Nahdliyin membangun penalaran yang mengacu pada data otentik perlu dilatih secara individu atau jamaah. Kesadaran penalaran kritis berfokus pada analisis informasi yang masuk ke aplikasi media sosial Nahdliyin. Kemampuan kritis akan mendorong lahirnya pemilih cerdas yang tidak mudah dipengaruhi oleh informasi semu dan hoaks yang masuk di aplikasi setiap warga. Terlebih lagi di tahun politik ini, pemilih pemula dikuasai oleh generasi muda yang terpapar gawai dengan berbagai informasi yang riuh. Kesadaran kritis akan mampu memfilter informasi politik otentik mengenai rekam jejak prestasi calon dengan jernih.
Penalaran rasional akan menjaga pemilih obyektif, jernih dari pengaruh identitas, figur, simbol dan aneka kepentingan trah semata. Apalagi di zaman digital sumber informasi semu (hoaks) dan logika salah kaprah (logical fallacy) selalu mewarnai gawai kita.
Penalaran rasional menjadi prasyarat Nahdliyin menjadi subyek kritis. Salah satu caranya adalah menerima informasi dari gawai mereka dengan melakukan konfirmasi dari berbagai sumber dunia maya secara berlapis sehingga ditemukan informasi yang akurat, kredibel dan orisinil dari para calon.
Kematangan Emosi Kolektif
Kecerdasan politik Nadliyin berikutnya adalah kematangan emosional yang menumbuhkan sikap dan perilaku asertif (tegas dalam membangun pilihan). Hal ini didasari oleh kecenderungan kultural bahwa warga Nahdliyin itu bersifat guyub. Keguyubannya memberikan kecenderungan setiap orang akan terpengaruh pada sikap dan perilaku bersama-sama (jawa: melok-melok) sehingga kalau tidak guyub akan merasa tidak menjadi bagian dari kelompok.
Kematangan emosi dibutuhkan untuk menopang penalaran kritis sehingga Nahdliyin tidak hanya suka dan gembira dengan ikut arus. Jika sudah ikut arus merasa mendapatkan wadah dan diakui oleh orang lain, sebaliknya jika tidak guyub pada salah satu kelompok pendukung akan dianggap kurang kooperatif, bahkan kurang Nahdliyin. Kematangan emosi adalah ketangguhan perasaan yang dipengaruhi oleh kecenderungan keguyuban, bahkan kematangan emosi juga menjadi kekuatan agar Nadliyin dapat bertahan dari pengaruh emosional kampanye hitam.
Nahdliyin tidak mudah terpengaruh provokasi kebencian, sentimen figur dan persekutuan membagikan konten media sosial akibat tersulut emosi antar-calon. Nahdliyin dengan demikian perlu tegas memilih pilihan politiknya dari pengaruh-pengaruh sentimen emosional sehingga pilihannya didasari oleh emosi positif yang didukung penalaran yang dapat dicek berdasarkan data-data otentik.
Suara Langit dan Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan politik terakhir yang perlu ditumbuhkan dalam dunia politik Nahdliyin adalah independensi spiritualitas. Tidak dipungkiri, tonggak sikap dan perilaku politik Nahdliyin dipengaruhi oleh cara seorang kiai membangun keberpihakan. Kyai juga menjadi simbol yang memiliki kekuatan untuk memengaruhi sikap dan pilihan politik massif jamaah. Oleh karena itu kiai akan selalu terpaut erat dengan simbol kapitalisasi suara jamaah sehingga para calon secara langsung atau simbolis biasanya menggunakan otoritas kyai sebagai strategi memengaruhi pesan politik.
Peran kiai dalam membangun kecerdasan spiritual politik terkenal dengan istilah 'suara langit'. Guna mengawal etika politik yang berkualitas dan calon pemimpin yang dapat membawa kehidupan bangsa dan negara serta kemakmuran seluruh masyarakat, suara langit perlu ditransformasi menjadi informasi yang terbuka, jujur dan melampaui batas-batas sentimen calon dan simbolisasi keagamaan.
Suara langit adalah kecerdasan spiritual yang memberikan pendidikan politik warga nadhliyin agar selalu berpijak pada nilai-nilai universal kemaslahatan melintasi simbolisasi figur. Kekuatan ini diposisikan sebagai bagian dari uji kebenaran di antara keragu-raguan siapa calon pemimpin terbaik.
Suara langit yang biasanya keluar dari kiai kharismatik dapat dijadikan sumber puncak informasi yang dirujuk oleh Nahdliyin dengan nilai politik independen. Melalui suara kharismatik, Nahdliyin mempunyai kualitas informasi yang kokoh sehingga berdasarkan kekuatan spiritualitas tersebut, Nahdliyin memiliki acuan cerdas, informasi berkualitas dan berani menolak bentuk-bentuk politik uang dalam berbagai cara karena sandaran imannya mampu membedakan antara politik nurani dan pragmatis.
Mohammad Mahpur. Doktor Psikologi Sosial, Wakil Sekretaris PCNU Kota Malang dan Founder kampusdesa.or.id