Opini

Munas NU Menjawab Para Penentang Islam Nusantara

Jum, 1 Maret 2019 | 23:45 WIB

Oleh Fathoni Ahmad

Dalam pengantar materi tentang pembahasan Konsep Islam Nusantara pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019 di Pesantren Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, NU menjelaskan bahwa Islam Nusantara sebagai model keberislaman Nusantara digaungkan kembali menjadi  narasi besar oleh Nahdlatul Ulama pada Muktamar ke-33 NU di Jombang 2015.

Namun wacana Islam Nusantara tersebut kemudian menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Dan kelompok yang kontra terus-menerus melakukan counter narasi, baik melalui media sosial maupun mimbar khotbah.

Ironisnya, para penentangnya membuat asumsi sendiri kemudian memberikan “tuduhan” Islam Nusantara adalah adalah Islam yang anti-Arab, bertentangan dengan syariat Islam, hanya milik satu golongan saja, identik dengan Islam kejawen, bahkan Islam Nusantara dianggap sebagai kedok untuk merusak tatanan moral agama.

Berbagai ragam tuduhan dan stigma negatif yang terus berseliweran sampai hari ini belum pernah direspon secara resmi oleh NU secara kelembagaan. Karenanya NU secara kelembagaan perlu menjawab tuduhan-tuduan miring tersebut. Sebab, jika tuduhan-tuduhan tersebut tetap dibiarkan, maka sama artinya NU meng-amini dan membenarkannya. Hal ini tentu akan memberikan dampak negatif baik bagi warga NU sendiri maupun bagi kelangsungan wacana Islam Nusantara.

Berpijak dari hal itu, maka diperlukan penjelasan memadai tentang beberapa hal mendasar terkait wacana Islam Nusantara sebagai respon balik atas tuduhan negatif yang dilontarkan oleh penentang wacana Islam Nusantara.

Konsep Islam Nusantara bisa dilihat dari perspektif Pribumisasi Islam KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ini penting karena Islam Nusantara bisa dibaca melalui konsep pribumisasi Islam yang dicetuskan oleh Gus Dur sebagai metode atau cara yang digunakan untuk membaca keislaman, kebudayaan, fiqih dan adat, aplikasi nash, tasawuf, hingga seni.

Entitas tersebut bersifat universal sehingga keliru jika konsep Islam Nusantara adalah konsep yang berupaya melokalisasi Islam. Justru konsep ini mengonstelasi entitas-entitas tersebut. Karena di antara mereka kerap kali terjadi benturan jika dihadapkan satu sama lain. Misal antara agama dan budaya. Ketika Islam masuk ke wilayah Nusantara, di situlah Islam dihadapkan dengan tradisi dan budaya yang telah mengakar sehingga kerap tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Namun demikian, Wali Songo sebagai subjek utama penyebaran Islam di nusantara tidak memandangnya demikian. Justru mereka menilai bahwa tradisi dan budaya yang telah mengakar tersebut sebagai sebuah potensi untuk menanamkan nilai-nilai Islam kepada orang-orang nusantara zaman dulu. Oleh karena itu, tradisi yang berkembang dijadikan instrumen penyebaran Islam oleh para Walisongo. Tradisi yang berkembang saat itu bukan hanya ritual-ritual agama, tetapi juga seni, adat, dan sistem kepercayaan yang dianut mereka.

Apakah tradisi tersebut hilang bersamaan dengan proses Islamisasi yang dilakukan oleh Walisongo? Sama sekali tidak, karena proses yang terjadi adalah akulturasi bukan asimilasi. Dalam hal ini, akulturasi dapat dikatakan sebagai penyatuan beberapa unsur, namun karakter masing-masing unsur tersebut masih ada. Berbeda dengan asimilasi yang berarti satu sama lain melebur sehingga karakter masing-masing hilang. Terbukti dengan kekayaan budaya yang dimiliki oleh orang-orang nusantara dari zaman dulu hingga sekarang. Hal ini berdampak pada kehidupan yang selaras meskipun terdapat lebih dari 17 ribu pulau di Indonesia dengan 700 suku lebih yang masing-masing mempunyai kekhasan tersendiri.

Dalam perspektif kenusantaraan, Islam Nusantara adalah perwujudan Islam melalui budaya lokal, yakni tradisi dan budaya yang berkembang di Indonesia. Perwujudan ini juga dalam rangka mengoperasionalkan bahwa Islam adalah agama universal. Sehingga dengan konstruksi Islam Nusantara ini, Islam mampu mewujud pada apapun dan dimanapun ia akan disebarkan. Bukan semata-semata melokalisasi seperti yang telah disebutkan di atas, namun sebagai cara yang sangat operasional untuk mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin.

Konsep ini dapat diwujudkan secara universal mengingat dunia Islam mudah bergejolak dari dulu hingga sekarang. Corak Islam Nusantara mengakomodasi tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat lokal. Inilah corak Islam yang sama sekali berbeda dengan negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Oleh karena itu, Islam Arab yang sedari lahir ikut memajukan peradaban dunia, sekarang justru mereduksinya, sebab tidak menerima Islam yang mewujud melalui budaya lokal. Padahal peradaban dibangun melalui budaya yang berkembang di masyarakat.

Tak heran sejak Dinasti Saud berkuasa di Arab Saudi berkuasa, pemurnian Islam yang disebut gerakan puritanisasi atas nama paham wahabi menggejala dengan berupaya menghancurkan pusat-pusat peradaban Islam. Hal ini meliputi makam Nabi Muhammad yang hendak dihancurkan. Bahkan upaya tersebut hingga kini terus mengemuka. Karena makam Nabi banyak di-ziarahi kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia, baik saat musim haji maupun hari-hari biasa. Tradisi ziarah kubur yang sering dilakukan orang-orang nusantara sejak dulu dianggap kebiasaan yang mengada-ada, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam versi wahabi. Oleh karena itulah, makam Nabi, sahabat, ulama, hingga kiai yang merupakan pusat peradaban Islam berusaha dihancurkan.

Jika ziarah sebagai budaya yang telah men-tradisi dikalangan masyarakat Muslim di Indonesia, maka menjaga peradaban melalui makam adalah sebuah ‘kewajiban kultural’. Karena kewajiban inilah yang disebut Gus Dur merupakan media perwujudan kultural Islam (Gus Dur, 1974: 12) yang merupakan salah satu substansi konsep Islam Nusantara.

Tak heran jika saat ini, corak keislaman di Indonesia menjadi rujukan bagi masyarakat dunia. Terutama negara-negara Muslim yang tak kunjung reda dengan kesengsaraan akibat perang. Bagaimana mungkin negara super majemuk seperti Indonesia bisa menjalani kehidupan dengan damai? Sedangkan negara-negara Arab yang hanya terdiri tak lebih dari lima suku, namun keadaannya terus mencekam. Oleh sebab itulah, Islam di Indonesia dengan Islam Nusantaranya adalah sebuah konsep universal yang dibangun melalui tradisi dan budaya lokal sebagai perwujudan Islam rahmatan lil ‘alamin.

Salah satu peradaban Islam yang megah yakni makam Nabi Yunus as dihancurkan oleh kelompok Islam garis keras yaitu NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah). Sesungguhnya hal ini bukan salah satu klimaks gerakan puritanisme. Pusat-pusat peradaban lain seperti masjid pun tak lepas dari aksi teror bom seperti yang terjadi di sebuah masjid di Yaman dan menewaskan tak kurang dari 127 manusia tak berdosa. Tentu paham demikian tak ideal bagi dunia Islam khususnya.

Islam Nusantara dapat dijadikan pendekatan oleh negara-negara Islam dalam menghadapi benturan antar-keyakinan yang mengarah pada gerakan radikalisme mengatasnamakan agama. Selain merugikan peradaban materi, radikalisme dapat mengahncurkan peradaban manusia sebagai pusat peradaban (central of civilization) itu sendiri sehingga umat Islam justru hancur oleh gerakan-gerakan yang mengusung pemurnian agama (puritanisme).

Dalam memandang Islam Nusantara sebagai sebuah pendekatan, tentu rumusannya harus jelas. Selama ini yang konsisten mengawal Islam ramah dan toleran ala nusantara adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyah ijtma’iyah) Nahdlatul Ulama, organisasi yang digawangi oleh para kiai pesantren. Dengan prinsip al-Muhafadzah ala al-Qadhimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah, melestarikan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik, NU mampu mewujudkan sikap kemasyarakatan yang bersifat fleksibel.

Sikap-sikap kemasyarakatan NU diwujudkan melalui prinsip tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), tawasuth (mengambil jalan tengah), i’tidal (adil), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengerjakan yang baik, menjauhi yang buruk) dengan cara yang baik. Tentu semua prinsip itu merupakan sebagian dari konsep Islam Nusantara. Sehingga menggali Islam Nusantara sebagai pendekatan, dapat melalui rumusan organisasi seperti NU yang diejawantahkan oleh orang-orang Nusantara sebagai perwujudan kultural Islam, yakni Islam melalui kultur tradisi dan budaya Nusantara.

Para kiai menyepakati bahwa Islam Nusantara lebih banyak bergerak pada aspek fiqih dakwah yaitu bagaimana Islam didakwahkan bukan bagaimana bagaimana mengistinbathkan hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan perkataan lain, Islam Nusantara tak banyak masuk pada wilayah takhrij al-manath melainkan pada wilayah tahqiq al-manath. Dalam konteks itu berlaku kaidah fikih, taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-`adat (perubahan hukum mengikuti perubahan situasi, kondisi, dan tradisi).

Dengan demikian, jelas bahwa Islam Nusantara tak memasuki wilayah ibadah mahdhah dan wilayah akidah. Sebab, dua wilayah tak mengalami perubahan di setiap ruang zaman. Bangunan shalat orang Islam Nusantara misalnya sama saja dengan bangunan shalat orang Islam di tempat-tempat lain.

Begitu juga dalam bidang akidah. Nabi yang menjadi rujukan umat Islam Nusantara adalah Nabi yang juga menjadi rujukan umat Islam di negeri-negeri lain, yaitu Nabi Muhammad SAW. Begitu juga, kitab suci yang menjadi acuan umat Islam Nusantara adalah kitab suci yang juga menjadi acuan umat Islam di wilayah-wilayah lain, yaitu kitab Al-Qur’anul Karim.


Penulis adalah Pengajar Sejarah di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta