Opini ESAI RAMADHAN

Ikhtiar Menyusun Pelajaran Tafsir yang Implementatif

Jum, 14 April 2023 | 20:00 WIB

Ikhtiar Menyusun Pelajaran Tafsir yang Implementatif

Di pesantren, kajian tafsir tak sepopuler kajian fiqih. Padahal, kita butuh memperluas kajian tafsir, terutama yang implementatif.. (Foto ilustrasi: Kemenag/Elik Ragil)

Sudah menjadi konsensus bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dan pertama bagi umat Islam. Meskipun, hasil pemahaman umat Islam atas ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an tidak sepenuhnya terjadi kesepakatan. Hal ini terjadi antara lain disebabkan adanya perbedaan cara dan metode yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an.


Entah sudah berapa ratus atau ribu karya tafsir yang ditulis semenjak zaman Sahabat Nabi hingga sekarang. Produksi tafsir atas Al-Qur’an baik yang secara lengkap maupun hanya surat-surat tertentu atau juga tematik terus dilakukan dari generasi ke generasi. Meski demikian, kitab-kitab tafsir yang dijadikan kurikulum di pesantren relatif ajek alias baku.


Kitab Tafsir Jalalain mungkin hingga kini menjadi salah satu kitab tafsir paling populer di Indonesia. Hampir seluruh pesantren di Indonesia mengajarkan kitab tafsir anggitan Imam Jalaludin al-Mahalli dan Imam Jalaludin al-Suyuthi. Hasil riset Ervan Nurtawab (2015) menunjukkan bahwa kitab tersebut menempati posisi teratas sebagai kitab tafsir yang paling banyak digunakan masyarakat kawasan Asia Tenggara, termasuk di dalamnya Indonesia.


Tafsir Tematik dan Implementatif

Pada dasarnya kajian tafsir dan ilmu tafsir terus mengalami perkembangan. Tafsir maudhu’i atau yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai tafsir tematik merupakan salah satu terobosan penting dalam perkembangan ilmu tafsir. Karya-karya tafsir tematik juga sudah banyak ditulis oleh para ulama. Tafsir ayatil ahkam yang merupakan tafsir tematik yang menghimpun tafsir atas ayat-ayat hukum sudah mulai digunakan di sejumlah pesantren. Salah satu karya tafsir genre ini yang diajarkan di beberapa pesantren adalah Tafsir Ayatil Ahkam karya Syekh Ali al-Shabuni.


Meski demikian, kajian tafsir yang bersifat implementatif masih cukup jarang. Karya-karya tafsir masih cenderung berbicara pada aspek teori yang tidak langsung bersinggungan dengan problem-problem yang terjadi di sekitar masyarakat. Misalnya ketika mengulas tentang kewajiban shalat, tafsir-tafsir yang ada hanya berbicara mengenai sejarah shalat, jumlah rakaat, syarat, rukun, dan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah an sich. Hampir jarang ada penafsiran atas kewajiban shalat yang menyentuh pada bagaimana shalat bisa mencegah manusia melakukan tindakan-tindakan buruk dan munkar. Bagaimana shalat bisa membuat orang tidak menganiaya orang lain, tidak korupsi, dan perilaku-perilaku negatif lainnya. Begitu pula dengan bagaimana mengentaskan kemiskinan melalui zakat dan sedekah. Tidak berhenti pada ranah hukum sesuatu, melainkan juga pada pesan apa yang ada di balik hukum tersebut.


Gagasan tentang tafsir yang implementatif pada dasarnya sejalan dengan apa yang dulu pernah digagas oleh Prof. Quraish Shihab mengenai bagaimana membumikan Al-Qur’an. Al-Qur’an, menurut Pak Quraish, harus menjadi media penghubung sekaligus pelerai problem-problem yang menghimpit masyarakat. Al-Qur’an tidak dikaji secara “melangit”, melainkan harus bisa membumi.


Untuk itu, saya menaruh harapan yang tinggi pada para ulama dan sarjana-sarjana tafsir di Indonesia untuk dapat berkolaborasi bagaimana menyusun karya-karya tafsir yang bersifat praktis dan implementatif. Agar, para santri memiliki modal pengetahuan yang cukup untuk digunakan saat berkiprah di tengah masyarakat.


Memang, secara umum, pesantren-pesantren di Indonesia memiliki kelebihan di bidang kajian fiqih. Namun, untuk kajian tafsir masih relatif langka. Sehingga para santri cukup tidak terbiasa merujuk kepada Al-Qur’an langsung. Mereka terbiasa dengan mengutip pendapat-pendapat para ahli fiqih dalam merespons persoalan yang terjadi di masyarakat. Ini bukan berarti saya menganjurkan untuk berijtihad sendiri. Melainkan bahwa pendapat-pendapat para ulama yang dikutip dari kitab kuning itu diperkuat argumentasinya dengan mengetengahkan sumber utamanya: Al-Quran. Selain itu yang mungkin banyak justru pesantren-pesantren yang didesain untuk para penghafal Al-Qur’an. Ini mungkin bagian dari otokritik dari saya yang bisa benar bisa juga keliru.


Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI