Opini

Ihwal Pengharaman Hipnotis

NU Online  ·  Selasa, 20 Oktober 2009 | 04:12 WIB

Oleh Iqro’ Alfirdaus*

Belakangan ini di salah satu stasiun televisi marak dengan sajian program hiburan stage hypnotist atau hipnotis panggung. Hipnotis mendadak go public dan menjadi sentris hiburan masyarakat, sehingga tak ayal banyak orang mulai meliriknya dan terobsesi menjadi hebat ala master hipnotis di televisi.

Sejalan dengan laju transfusi stage hypnotist dalam kemasan platform televisi, perkembangan stage hypnotist tampaknya mengalami “cuaca buruk”, sebab beberapa waktu lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Jawa dan Lampung telah mengkritik tayangan hipnotis yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi nasional. MUI meminta kepada kepada penanggungjawab acara tayangan “The Master” yang disiarkan di salah satu stasiun televisi swasta nasional untuk menghentikan acara tersebut.<>

Selain tayangan The Master, MUI juga meminta agar tayangan serupa seperti “Master Mentalist” dan “Master Hipnotis” juga dihentikan. MUI menilai bahwa dalam adegan hipnotis tersebut terdapat pertolongan jin dan setan yang bisa merusak ketauhidan dan akidah umat Islam.

Setidaknya, untuk mengklaim hipnotis haram harus ada pertimbangan secara masif yang sangat esensial dan argumen yang valid, konkret dan virtual. Sebab bisa merugikan dan menyudutkan salah satu pihak yang justru tidak bersalah. Pernyataan MUI dikhawatirkan terkesan surplus dan distorsi dari realitas yang ada sehingga bisa menimbulkan fitnah.

Hipnotis secara makro terbagi kedalam dua aliran hipnotis, yakni hipnotis Barat (berupa trik) yang bisa dipelajari, dan hipnotis Timur yang irasional karena metode pelatihan dan proses kerjanya terkait dengan magis dan ritual. Oleh MUI, hipnotis Timur inilah yang menjadi pusat perhatian yang dipermasalahkan.

Terlepas dari impas acara itu, perlu dicermati bahwa hipnotis yang sering ditayangkan di televisi merupakan kategori hipnotis modern yang bersifat teknik, skill dan bertumpu pada sugesti, sedangkan hipnotis tradisional (hipnotis Timur) bersifat magis, mistik dan bertumpu pada kekuatan energi. Dengan demikian, hipnotis modern sejatinya merupakan teknik yang bisa dipelajari untuk menguasai kesadaran orang (suyet) sehingga orang tersebut tanpa sadar akan menurut kalau diberi sugesti atau diperintah oleh yang menghipnotis.

Prinsip kerja hipnotis yaitu membawa subyek (sasaran hipnotis) dari gelombang otak beta (sadar) menuju kondisi rileks dan “tidur” (Alpha–Theta). Namun perlu dipahami bahwa kondisi hipnotis tidaklah sama dengan tidur. Orang yang sedang tidur tidak menyadari dan tidak bisa mendengar suara-suara disekitarnya. Sedangkan orang dalam kondisi hipnotis, ia masih bisa mendengar dengan jelas dan merespon informasi yang ditangkap. Dalam kondisi demikian, seseorang lebih mudah menerima perintah (sugesti) dari luar.

Untuk mengubah gelombang otak (induksi), penghipnotis harus memiliki teknik tertentu, antara lain dengan media pendulum, tatapan mata, teknik napas, verbal (kata-kata) atau sentuhan pada bagian tubuh tertentu. Prinsipnya, seseorang dalam kondisi terhipnotis otak depan yang berfungsi berpikir itu menjadi non aktif sehingga hanya bisa menerima perintah saja.

Karena itu, dalam tayangan televisi dapat disaksikan orang menurut patuh saat disuruh melakukan hal-hal ganjil, semisal menggunakan sepatu untuk menelpon atau berperan menjadi penumpang kereta api, bagaimana ia berlaga persis seperti situasi didalam kereta api. Setelah sadar dari pengaruh hipnotis (trance), ia pun merasa malu setelah mengetahui apa yang baru saja dilakukannya.

Klaim Surplus

Dalam Al-Quran sebenarnya memang ada ayat yang menyinggung ihwal hipnotis “Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu (Muhammad) dengan pandangan mereka” (Al-Qalam: 51).

Yang dimaksud memandang bukanlah pandangan kagum atau terpesona saat Nabi Muhammad sedang membaca Al-Qur'an, melainkan pandangan tajam memancarkan kebencian. Ilmu ”kekuatan mata” tersebut pada zaman Nabi banyak dikuasai oleh bani Asad. Melalui ritual puasa tiga hari dan setelah itu mereka sudah mampu mempraktikkan kepada manusia dan hewan.

Penting untuk dicermati, bahwa untuk mengklaim acara hipnotis di televisi seperti “The Master”, “Master Mentalist” dan ”Master Hipnotis” tidak diperbolehkan masih harus melalui proses pembuktian yang argumentatif, apalagi fatwa MUI untuk menghentikan acara “The Master” dihentikan tampaknya masih perlu dikaji ulang. Sebab, acara tersebut tidaklah melibatkan unsur ritual atau mistik.

Toh, walaupun dikemas— seolah-olah—mistik hal itu hanyalah bumbu sebuah tayangan agar terkesan wah dan lain daripada yang lain. Dalam konteks stage hypnotist hal tersebut wajar-wajar saja. Acara ”The Master” sesungguhnya lebih identik dengan kecerdasan logika dibanding unsur magis yang semestinya menantang khalayak untuk berpikir kritis dan arif.

* Pengamat Komunikasi Media di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta