Opini

Hati-hati Sial karena Media Sosial

Ahad, 13 Maret 2022 | 11:00 WIB

Hati-hati Sial karena Media Sosial

Hati-hati Sial karena Media Sosial

Jika ditanya, benda apa yang paling sering dipegang dan dibawa sehari-hari oleh masyarakat modern pada zaman ini. Jawabannya pasti sepakat menyebut HP (handphone), android, smartphone, atau sejenisnya. Ya, masyarakat modern saat ini sepertinya memang tak bisa lepas dari barang satu ini. Mulai dari membuka mata, saat bangun tidur sampai dengan bersiap-siap untuk tidur lagi, tangan selalu tak bisa lepas dari handphone atau gawai.


Kondisi ini tak mengherankan karena memang berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informasi, hingga Januari 2021, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta orang. Sementara Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mencatat bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 273,87 juta jiwa pada 31 Desember 2021. Ini menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen penduduk Indonesia menjadi pengguna internet.


Secara psikologis saat ini memang terjadi pergeseran budaya masyarakat dalam menggunakan alat komunikasi. Jika dulu orang merasa ada yang kurang saat keluar rumah membawa HP tanpa paket pulsa untuk komunikasi, saat ini, orang akan merasa bingung jika keluar rumah membawa HP namun tak paket data untuk bermedia sosial. Budaya ini menjadikan HP beserta paketnya menjadi kebutuhan primer di tengah kehidupan dua dunia, yakni dunia nyata dan dunia maya.


Dunia maya, dalam hal ini internet dan media sosial, memang menawarkan kemudahan masyarakat modern dalam aktivitas kehidupan khususnya dalam hal komunikasi dan informasi. Dunia saat ini seakan-akan sudah ada dalam genggaman tanpa batas waktu dan tempat. Informasi dari belahan dunia manapun bisa diakses dalam hitungan detik kapanpun di manapun. Berbagai aktivitas yang biasa dilakukan secara konvensional pun sekarang sudah beralih ke sistem digital.


Namun jika semua ini tidak diiringi dengan kemampuan dalam literasi digital – baca: melek teknologi informasi – maka bukannya membawa manfaat besar, namun sebaliknya bisa membawa bencana dan kesialan besar bagi siapapun yang menggunakannya. Banjir informasi di era digital saat ini, harus menjadikan setiap individu lebih berhati-hati, selektif, dan mengedepankan tabayun dalam menerima informasi agar tak sial dalam berbagai hal.


1. Kesialan Ekonomi

Di antara kesialan yang bisa didapatkan seseorang saat bermedia sosial tanpa diiringi dengan kecerdasan literasi digital adalah kesialan ekonomi. Hal ini bisa diakibatkan kecerobohan seseorang karena tidak berhati-hati dalam meng-klik atau mengakses tautan-tautan/link yang tersebar liar di media sosial. Bagi yang teliti dan paham dengan jenis tautan di internet, mereka tak akan sembarangan menyebarkan atau mengklik berbagai tautan, walaupun dibumbui dengan narasi provokatif yang menggelitik untuk siapapun meng-klik.


Namun bagi yang ceroboh dan tidak memahami sistematika media sosial dan teknologi, mereka akan gampang terjebak untuk memainkan jarinya mengklik tautan tersebut. Akhirnya apa yang terjadi? malware, spam, dan sistem jaringan jahat lainnya dengan mudah masuk ke HP dan menguasai sekaligus mencuri data-data penting. Inilah yang sering dijumpai saat HP seseorang disadap atau digunakan seseorang untuk berbagai kepentingan tanpa disadari oleh pemiliknya.


Dan perlu diwaspadai pula, dari pintu inilah dimulai kejahatan digital yang bisa saja menjadi awal kesialan ekonomi. Bayangkan jika nomor-nomor penting yang ada di HP tersebut, seperti nomor PIN, ATM, atau nomor-nomor rahasia lainnya bisa diakses orang dari jarak jauh dan kemudian digunakan untuk kejahatan perbankan seperti menguras saldo bank. Maka kesialan ekonomi pun akan menimpa kita. Naudzubillah.


2. Kesialan Beragama

Kesialan beragama juga bisa terjadi jika seseorang tidak benar-benar selektif dalam belajar agama. Perlu disadari bahwa internet dan media sosial harus dijadikan sebagai sarana/washilah untuk memudahkan saja, bukan untuk ghayah/tujuan atau keyakinan. Ketika belajar agama, seseorang tak boleh mendewakan internet dengan mengambil semua yang disuguhkan dalam pencarian. Harus ada seseorang yang kompeten sesuai bidangnya yang memandu dan memastikan bahwa apa yang muncul dalam pencarian itu sebagai sebuah kebenaran atau kesalahan.  


Dalam sistem pencarian di internet dikenal istilah ‘algoritma’ yakni sebuah sistem otomatisasi rekomendasi untuk keberlanjutan pencarian. Jika seseorang sudah terjebak dalam sistem ini, maka konten dunia maya yang luas akan dipersempit dan lambat laun akan mempersempit pola pikir seseorang. Imbasnya, jika seseorang memiliki pemikiran sempit dalam beragama, maka akan semakin menjauhkan diri dari sifat moderat dan gampang menyalah-nyalahkan dan lebih dari itu mengafir-ngafirkan orang lain.


Tak heran di zaman sekarang, ada seseorang yang belajar agama lewat internet secara tiba-tiba berubah. Semangat beragama dan beribadahnya tiba-tiba saja naik drastis namun di satu sisi langsung berani menyalahkan praktik-praktik beragama yang selama ini ada di sekitarnya. Bukan hanya itu, melalui media sosial, mereka rajin melakukan propaganda melalui konten-konten ceramah di Youtube atau pun rutin membagikan konten-konten radikal mereka yang mampu memunculkan tindakan ekstremisme dan terorisme.


Hal ini menjadi sebuah kehati-hatian bagi masyarakat, bahwa era Post-Thruth (paska kebenaran) memang sudah ada dalam kehidupan saat ini. Era di mana sebuah kebenaran bisa saja terlihat salah karena selalu didengungkan di media sosial sebagai sebuah kesalahan. Sebaliknya, kesalahan bisa terlihat benar karena selalu didengungkan di media sosial sebagai sebuah kebenaran.


3. Kesialan Sosial

Bermedia sosial dengan tidak bijak juga bisa menghantarkan seseorang pada kesialan sosial. Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk berselancar di media sosial menjadikannya lupa bahwa mereka juga memiliki dunia nyata yang ada di sekitarnya. Akibat bermedia sosial menjadikan ‘yang dekat dijauhkan, yang jauh didekatkan’. Sudah jamak kita lihat bagaimana sekelompok orang berkumpul namun tidak mampu bertahan lama untuk berinteraksi dan ngobrol dalam dunia nyata. Mereka lebih nyaman memegang HP masing-masing dan berinteraksi di media sosial dengan tidak mengindahkan orang yang ada di sekitarnya, termasuk di dalam keluarga.


Selain itu, untuk mengejar konten medsos dengan berbagai motifnya, kepekaan sosial sesama masyarakat pun juga semakin menurun. Ketika terjadi bencana, tragedi, atau kecelakaan yang menimpa, masyarakat saat ini lebih mendahulukan mendokumentasikan kejadian dari pada menolong para korban. Banyak kasus yang terjadi terkait dengan bencana yang dijadikan konten media sosial untuk mengejar penonton dan keuntungan materi. Ini juga merupakan kesialan sosial.


Berbagai konflik dan pertengkaranpun saat ini banyak yang diawali dari media sosial. Mulai dari perbedaan pandangan politik, agama, dan urusan pribadi yang kemudian terseret-seret hingga konflik di dunia nyata. Tak mengenal itu saudara apa bukan, lebih tua atau muda, perdebatan sering muncul dengan mudahnya karena sama-sama tidak bisa menahan untuk menggerakkan jari-jarinya. Kalau dulu mulutmu adalah harimaumu, maka sekarang jarimu adalah sumber malapetakamu.


4. Kesialan Hukum

Jika tidak berhati-hati dalam bermedia sosial, seseorang juga bisa dengan mudah mengalami kesialan hukum. Dengan mudahnya mengunggah status, memberi komentar, dan berkomunikasi di media sosial, bisa saja seseorang terlena melakukan perbuatan melawan hukum. Sudah banyak contoh kasus yang terjadi akibat menyebar hoaks, ujaran kebencian, fitnah, dan sejenisnya mengakibatkan seseorang harus berurusan dengan pihak berwajib.


Bukan hanya faktor kesengajaan, faktor ketidaksengajaan maupun faktor iseng pun bisa saja menjadikan seseorang berurusan dengan hukum karena ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Terlebih, dengan bermedia sosial, seseorang merasa nyaman beraktivitas karena tidak berhadapan langsung dengan orang lain. Kondisi ini menjadikannya merasa bebas untuk mengekspresikan apa yang ada di pikiran dan benaknya tanpa berpikir panjang.


Bukan hanya faktor kurang paham terhadap hukum, orang yang berkutat dengan hukum atau orang yang secara level pendidikan dan status sosialnya tinggi pun bisa masuk dalam masalah hukum di media sosial. Seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ikut-ikut menyebarkan nada nyinyir dan kebencian terhadap pemerintah di media sosial. Padahal ia dan keluarganya hidup dari gaji pemerintah dan memiliki komitmen untuk setia pada pemerintah. Ini pun sering dan masih saja terjadi.

 
Saat ini mudah bagi kepolisian untuk mendapatkan bukti-bukti terjadinya pelanggaran di media sosial. Jejak digital bisa dengan mudah diakses kembali dan menjadi petunjuk untuk melanjutkan laporan yang diterima. Penegak hukum juga sudah memiliki dasar dalam menegakkan hukum di dunia maya yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).


Dalam UU ini disebutkan seperti, pada pasal 45A ayat (1), setiap orang yang sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik bisa dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.


5. Kesialan Moral

Kesialan moral dalam wujud degradasi moral akibat media sosial pun saat ini sudah banyak terlihat. Bukan hanya orang tua saja, perubahan moral para generasi muda milenial yang sudah menjadikan media sosial sebagai bagian dari hidupnya pun mulai terasa. Orang tua dan guru banyak mengeluh murid dan anaknya yang saat ini tidak lagi memiliki etika. Terlebih di era pandemi di mana pembelajaran dilakukan secara online atau daring.


Di satu sisi, pembelajaran daringmemang efektif sebagai sarana belajar. Namun di sisi lain sistem ini tidak efektif untuk mencapai hasil belajar. Ada aspek lain yang tidak bisa diajarkan melalui pembelajaran daringyakni sisi afektif. Moral generasi muda menjadi taruhan karena minim diberi pendidikan dan pengajaran tentang kedisiplinan, kepribadian, tauladan, dan aspek-aspek psikologis lainnya dan menjadikan daya juang mereka lemah.


Ditambah lagi saat ini, pengawasan yang rendah dari para orang tua menjadikan para generasi muda dengan gampangnya mengakses konten-konten asusila dan pornografi, game online, dan semakin menguatkan mereka masuk dalam ‘generasi rebahan’ generasi yang semua kegiatan dilakukan sambil tiduran.


Mungkin bisa menjadi renungan kita bersama sebuah kalimat bijak yang menyebutkan ‘Banyak orang tua yang memukul anaknya karena telah merusak HP nya. Namun sedikit orang tua yang memukul HP nya karena telah merusak anaknya’.

 

Semoga ini menjadi renungan kita semua untuk waspada dan senantiasa menjaga orang-orang yang kita cintai dari ikut sial dan tenggelam dalam samudra konten di media sosial.  Kapal tidak tenggelam karena air samudra yang mengelilinginya, namun kapal tenggelam karena ada kebocoran yang menjadikan air masuk kedalamnya.


Muhammad Faizin, Redaktur NU Online