Opini

Hancurnya ISIS, Perlawanan Nyata terhadap Kelompok Radikal

NU Online  ·  Sabtu, 30 Maret 2019 | 02:30 WIB

Oleh Fathoni Ahmad

Melihat dinamika pemahaman keagamaan yang muncul di tengah masyarakat seiring derasnya keterbukaan informasi, baik melalui internet dan media sosial mengharuskan masyarakat berpikir cerdas dan mampu menyaring informasi. Masyarakat jangan sampai hanya terlena dan terbuai dengan dalil-dalil serta simbol-simbol agama sebelum benar-benar memahami. Hal ini untuk menghindari pemahaman agama yang sangat tekstual dan simbolik sehingga benih-benih radikalisme yang berujung pada tindak kejahatan terorisme dapat dicegah dan dihindari.

Kelompok radikal yang dimaksud di sini ialah kelompok yang kerap memakai baju agama tetapi yang nampak dipermukaan justru wajah kebencian dan kekerasan. Jauh dari nilai-nilai ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, ajaran agama yang penuh rahmat dan kasih sayang terhadap seluruh makhluk. Ideologi terorisme yang salah satunya berasal dari benih radikalisme bukan ideologi agama, tetapi ideologi kebencian dan kekerasan. Agama yang dijadikan pegangan kelompok tersebut jauh dari ajaran dan bimbingan ulama dan salafus shalih.

Masyarakat dunia bisa melihat salah satu kelompok radikal, ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), tidak hanya memakai simbol dan baju agama, tujuan perjuangan mereka yaitu mendirikan khilafah dan daulah Islamiyah juga nampak mulia dalam pandangan orang-orang yang tidak memahami substansi beragama. Namun, perjuangan yang seolah ingin menegakkan agama justru dilakukan dengan cara memaksa, menangkap, menyiksa, dan membunuh. Yang dibantai kelompok radikal ISIS bukan hanya orang-orang Muslim, tetapi juga kelompok agama lain. Ini menunjukkan bahwa semua kelompok yang berbeda pandangan dengan mereka akan mengalami pembantaian.

Muhammad Najih Arromadloni dalam Bid’ah Ideologi ISIS (2017) menjelaskan bahwa ISIS merupakan kelompok takfiri radikal. Artinya mereka tidak hanya mudah mengafirkan dengan hadits-hadits yang dieksploitasi secara politis, tetapi juga berlaku brutal dengan cara kekerasan, merampas, hingga membunuh orang lain yang dianggap kafir oleh mereka. Bahkan sampai menghalalkan seorang perempuan untuk dijadikan budak seks dan dijual bebas.

ISIS hanya kristalisasi dari pemahaman keagamaan yang sempit dan tekstual. Kelompok-kelompok yang masih bertahan dengan ideologi tersebut masih berserakan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Namun, kehancuran ISIS secara total merupakan perlawanan nyata terhadap kelompok-kelompok radikal. Seperti diketahui, Serangan milisi Kurdi ke basis terakhir pertahanan ISIS di kota kecil Baghouz al-Fawaqani di tepi Sungai Eufrat, Irak menjadi pertanda hancurnya kekhilafahan ala kelompok radikal yang dipimpin oleh Abu Bakar al-Baghdadi tersebut. Tanah yang dikuasai organisasi ekstremis itu kini tinggal secuil dari peta besar wilayah Irak dan Suriah yang dahulu menjadi basis kekuasaan mereka.

Tetapi, persoalan belum selesai dengan hancurnya ISIS tersebut. Sebab, problem yang ditimbulkan tidak kalah peliknya. The Islah Center (2019), lembaga yang selama ini konsen terhadap persoalan terorisme mencatat beberap hal terkait hancurnya kelompok ISIS. Pertama, kehancuran Kekhilafahan Abu Bakar al-Baghdadi akan menyisakan banyak masalah besar bagi dunia khususnya dunia Islam. Sejumlah 110 negara di dunia yang masyarakatnya terlibat menjadi anggota dari kelompok teror ISIS atau biasa disebut FTF (foreign fighters) dengan jumlah 41.490 Foreign Fighters; 32.809 laki-laki, 4.761 perempuan dan 4.640 anak-anak.

Kedua, dari jumlah 41.490 FTF, 18.852 datang dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, 7.252 dari Eropa Timur, 5965 dari negara-negara Asia Tengah, 5904 dari Eropa Barat, 1010 dari Asia Timur, Asia Tenggara 1063, dari Amerika 753 Ausia dan New Zealand, 447 souther Asia,  244 sub-saharan Africa.

Ketiga, gelombang pertama FTF datang ke Irak pada tahun 2003 sebelum perang sipil di Suriah, paska tumbangnya rezim Saddam Hussein. FTF yang datang ke Irak kala itu karena ingin bergabung bersama AQI (al-Qaeda in Irak) pimpinan Abu Musab al-Jarqawi teman dekat Abu Bakar al-Baghdadi, mereka berusaha melakukan perlawanan dan mengusir pendudukan Amerika di Irak. Kombatan-kombatan AQI inilah yang kemudian memproklamirkan berdirinya ISIS di kemudian hari.

Keempat, Gelombang kedua, merupakan gelobang paling massif kedatangan FTF terjadi ketika terjadi Arab Spring, musim semi di Arab yang melanda Suriah. Perang saudara terjadi ketika masyarakat Syuriah yang mayoritas muslim ingin menumbangkan rezim Bashar al-Asad yang merupakan penganut Syiah Alawiyah.

Kelima, permasalahan pertama, yang dihadapi negara-negara di dunia pasca kehancuran kekhilafahan sepihak besutan Abu Bakar al-Baghdadi adalah perdebatan sekitar FTF yang saat ini menjadi tawanan dan ingin kembali ke negara masing-masing. Hampir semua negara-negara di dunia termasuk Indonesia kebingungan bagaimana memperlakukan warga mereka yang sudah bergabung bersama ISIS dan saat ini menjadi tawanan di Suriah.

Hal itu dikarenakan beberapa hal; pertama bahaya laten terorisme yang akan mengancam negara bersangkutan apabila memperbolehkan pengikut ISIS ini pulang atau mengekstradisi mereka. Kedua, di hampir semua negara belum adanya payung hukum (UU Terorisme) untuk menjerat mereka yang bergabung dengan kelompok teror internasional seperti ISIS. 

Keenam, permasalahan kedua, bagi dunia Islam, FTF yang masih tersisa di medan perang menurut pengamatan The Islah Centre mereka akan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan diri mereka; pertama, mereka akan bergabung dengan al-Qaeda, kedua, mereka akan berusaha untuk menyeberang ke sel ISIS yang masih hidup utamanya di negara-negara yang dilanda konflik baik itu di Yaman IS-AP (IS-Aden Province) dan IS-HP (IS-Hadramaut Province), Libya IS-FP (IS-Fezan Province), Afghanistan IS-KP (IS-Khurasan Province) atau ke semenanjung Sinai Mesir IS-SP (IS- Sinai Province). Artinya, negara-negara tersebut akan mendapatkan ancaman terorisme dengan migrasinya FTF ke negara-negara mereka.

Dari kasus tersebut, mereka sadar bahwa jihad yang selama ini mereka lakukan salah bahkan hanya menipu karena tidak sedikit perempuan yang berangkat ke Irak dan Suriah hanya menjadi budak seks, sedangkan anak-anak terlantar kelaparan. Harus ada kontekstualisasi makna jihad. Karena jihad tidak melulu berarti perang dan lain sebagainya.

Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Tafsir al-Misbah menjelaskan, pada hakikatnya perintah untuk berperang sebagai salah satu makna jihad di dalam ayat Al-Qur’an, tidaklah dibutuhkan oleh Allah dan tidak juga oleh Rasul-Nya Muhammad SAW. Karena sesungguhnya Allah telah membela dan mendukung umat Islam ketika ia sendiri atau pun berdua.

Namun, jika manusia mengetahui betapa banyak sisi kebajikan yang disiapkan oleh Allah bagi mereka yang berjihad dan taat kepada Allah, tentu umat Islam akan melaksanakan perintah tersebut. Hal ini jika ditinjau dari berbagai aspek duniawi dan ukhrawi sebagaimana dipahami dari bentuk nakirah atau indifinitif kata khoir atau kebajikan. Makna sebenar-benarnya jihad (haqqa jihadih) pada penjelasan di atas adalah bukan sekadar jihad. Seperti halnya ia diperintahkan untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa (haqqa tuqatih). Meski demikian, tidak berarti setiap Muslim wajib dengan pengertian fardhu‘ain untuk berperang di setiap saat.

Fariz Alniezar dalam Jangan Membonsai Ajaran Islam (2017) menerangkan, jika ditelaah lebih jauh, kata jihad merupakan satu rumpun (derivasi) dari kata jahada yang berarti berusaha (fisik). Dekat juga artinya dengan kata ijtihad, segala upaya yang lebih mengandalkan kerja otak dan intelegensia serta mujahadah, yakni usaha yang lebih menekankan pada dimansi intuitif (bathiniyah). Artinya, di titik ini bisa ditarik benang merah bahwa ideal seorang Muslim (bahkan mansuai secara umum) yaitu orang yang mendayagunakan keseluruhan dimensi-dimensi spiritual tersebut.

ISIS hanya salah satu kelompok yang mewujudkan ekstrem radikalnya melalui tindakan langsung secara keji yang berawal dari radikalisme. Jika digambarkan secara jelas, radikalisme bisa dibagi menjadi tiga, bertindak secara radikal (melakukan teror), radikalisme pemikiran, dan radikalisme secara pemahaman. Konteks Indonesia sendiri, saat ini eskalasi penguatan radikalisme ada pada aspek pemikiran dan pemahaman walaupun tindakan teror juga kerap terjadi.


Penulis adalah Tim Taskforce Islam Nusantara untuk Countering Violence Extremism (2015)