Opini

Gus Dur dan Iman yang Selalu Tersenyum

Rab, 30 Mei 2018 | 08:00 WIB

Oleh Sofah D. Aristiawan

Apa yang paling dikenang dari sosok seorang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)? Bagi saya, keteguhannya untuk selalu beragama dengan senyum. Bukan cuma senyum, tapi terbahak-bahak. Dan sikap seperti itu perlu untuk hadir kembali di tengah ketegangan yang terus menerus ada di tubuh masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Ketegangan yang kerap menampilkan agama dengan wajah galak.

Mengapa manusia gemar menampilkan agama dengan wajah galak? Entah murni wujud dari sebuah ajaran atau justru sebagai nafsu buruk manusia yang mengatas-namakan ajaran agama? Sulit rasanya kita untuk menilainya. Tapi, kita sedikit bisa melacak persepsi yang terbangun akan hal itu dan mengapa. Sesuatu yang kerap dilawan seorang Gus Dur.

Saya tertarik apa yang selalu diucapkan Gus Dur: agama itu bisa dipandang dalam orientasi hukum (nomos/law oriented religion), juga cinta (eros/love oriented religion), sejak mulanya. Dan berangsur-angsur, bagi saya, memang manusia cenderung menelan agama sebagai sesuatu yang galak akan hukum-hukumnya.

Tentu bukan barang baru, pula bukan cuma dilema masa kini, apa yang diistilahkan Pankaj Mishra (esais India) baru-baru ini: the Age of Anger itu. Keluhan itu, abad kemarahan itu hadir disebabkan pula oleh kebiasaan isi kepala yang keliru dalam melihat sebuah agama. Konflik, lalu darah dan air mata muncul. Seakan tak mengapa, satu atau dua, bahkan ratusan nyawa melayang untuk tegaknya hukum Tuhan.

Seperti kita sama-sama tahu bagaimana Eropa di Abad Pertengahan, saat ramai praktik inkuisisi sebab melanggar hukum Tuhan dalam fatwa ketat yang dikeluarkan Vatikan masa itu –justru dengan dalih: atas nama cinta kasih Tuhan. Bahkan, untuk sekadar tertawa pun dilarang. “Suasana hati hanya akan saleh kalau hati merenungkan kebenaran dan bergembira dalam kebaikan yang dicapai. Kebenaran serta kebaikan tidak untuk ditertawakan. Itulah mengapa Kristus tak pernah tertawa. Ketawa mendorong keragu-raguan,” tutur Jorge de Burgos, seorang biarawan tua yang buta. Di sebuah biara pinggiran Italia pada musim salju akhir November 1327 Masehi, kepala biara yang renta itu menentang rahib-rahib muda yang punya argumen lain.

Singkat cerita, timbul peristiwa pilu, rentetan kematian beberapa rahib yang tak berjarak lama gegerkan seisi biara itu. Lantas, diusut dan kemudian ditemui bahwa mereka, para rahib dengan rasa ingin tahu yang sangat akan naskah-naskah kuno yang tersimpan di perpustakaan biara, tewas terkena racun yang sengaja dilumuri Jorge pada pagina demi pagina buku tua itu –sebuah buku yang tak boleh diketahui.

Jorge tak ingin mereka membaca sehimpun fabel dalam satu naskah Arab, satu naskah Syria yang disalin dalam bahasa Yunani dan Latin itu –buku yang berisi, juga mengundang gelak tawa: “Pada saat Tuhan tertawa, lahir tujuh dewa yang menguasai dunia, ketika Ia tertawa terbahak-bahak, muncul cahaya, waktu tertawa untuk kedua kalinya muncul air, dan saat Ia tertawa pada hari ketujuh muncul jiwa.” “Omong kosong,” tukas Jorge segera mengomentari naskah tua nan lembap itu.

Roman sejarah khas Umberto Eco (profesor semiotika dari Universitas Bologna, Italia), The Name of the Rose itu agaknya bagi saya, ingin menyindir agama yang begitu angker seperti laku tokoh William, ia yang diberi tugas mengusut kasus kematian para rahib itu, yang menyebut sosok Jorge serupa “...iman tanpa senyum.”

Di dalam Islam, iman tanpa senyum itu dimulai dalam panas napas Khawarij, mereka yang berdalih paling mengikuti titah nabi secara literer. Bagi mereka, apa-yang-baru dan siapa yang tak sesuai mesti diperangi. Kisah yang terus diingat dan tragis dibuatnya, barangkali ketika Ali bin Abi Thalib, menantu Muhammad SAW, tewas dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam si Khawarij.

Saat itu, imperium Islam dalam keadaan terpecah belah, efek dari terbunuhnya Khalifah Utsman dalam pemberontakan 17 Juni 656 Masehi di Madinah. Menghindari vacum of power, Ali bin Abi Thalib ditunjuk sebagai khalifah baru yang sah. Muawiyah -sepupu Utsman bin Affan yang meminta Khalifah Ali mengusut dalang pembunuhan anak pamannya itu, tapi nihil- bersikeras berada diposisi yang berseberangan dengan Khalifah Ali, padahal sang khalifah cuma ingin menenangkan semua pihak, termasuk desakan Khawarij untuk membunuh Muawiyah. Mereka menuduh kerabat Utsman itu sebagai pembangkang yang tak mengakui Kekhalifahan Ali.

Namun, ada asa untuk memperbaiki dan menyatukan. Cinta dan persaudaraan harus didahulukan. Khalifah Ali mengulurkan tangannya serta menerima usulan arbitrase dari pihak Muawiyah –hal yang nampaknya tak disukai Khawarij lewat slogannya: la hukma illa li allah (hukum hanya milik Allah –red). Dan pemberontak tetap pemberontak, mereka halal darahnya untuk dibunuh, dan sang khalifah tak tunduk pada apa yang literer dalam hukum agama, sebab itu, Khalifah Ali pun mesti diperangi. Di sini, nomos jelas mengalahkan eros.

Mala, juga fitnah kian berkepanjangan, tak boleh ada matahari kembar. Maka, di suatu subuh, 24 Januari 661 M, skema pembunuhan disusun rapi. Lalu sejarah mencatat, Muawiyah bin Abi Sufyan selamat dari teror dan Khalifah Ali ditusuk. Tiga hari kemudian wafat. 

Tak sepenuhnya salah, memang. Saya mencoba memahami persepsi akan agama yang berorientasi hukum itu. Tapi, sejarah selalu saja menghadirkan orang atau sekelompok orang yang rasa-rasanya salah dan kelewat batas saat agama beserta ‘tools-nya’ melulu dipandang sebagai sesuatu yang keras –apalagi hari-hari ini, dalam the Age of Anger ini, termasuk di negeri Indonesia. Seakan menghukum ialah jalan tol untuk menegakkan marwah agama. Menghukum itu berarti mengolok-olok, membenci, memusuhi, meneror, terlebih membunuh dan memerangi siapa saja yang berbeda meski seiman, sesama namun tak seiman.

Lantas, muncullah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) sebagai wajah baru Khawarij di abad 21 ini, yang menjalar ke seantero dunia, utamanya Timur Tengah, Filipina, dan celakanya, tumbuh subur di Indonesia pula. Atau bahayanya sikap fundamentalisme Kristen di Amerika yang kerap mendorong terjadinya perang di Timur Tengah agar armageddon segera tiba, lalu Yesus turun dari langit untuk Kedatangan Kedua.

Maka, betulkah agama itu sumbu kekerasan dan intoleransi, bahkan ikut melestarikan konflik, apalagi di negeri Indonesia yang beragam? Adakah cara lain di luar ancaman, persekusi, kekerasan, juga teror?

Bukankah Muhammad SAW demikian pengasih dan pemaaf pada siapa pun? Atau bagaimana seruan Yesus pada khalayak: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Peristiwa di pagi hari yang dicatat Yohanes itu, setidaknya berarti bahwa menghukum tak akan mengubah apa-apa. Yesus mengerti akan ketentuan Taurat. Ia tak menampik sanksi rajam bagi seorang pezina. Tapi, ada prosedur yang mesti ditempuh untuk final mengatakan bahwa wanita itu benar adanya telah berbuat zina.

Di pelataran Baitullah itu, yang nampak jelas hanya suara Yesus pada perempuan yang dituduh berzina itu: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

Dari sana, welas asih atau cinta atau iman dengan senyum ialah laku yang menggugah dan karenanya, buat siapa saja jadi mengerti dan berbenah dengan segera. Bukan mengaraknya di tengah publik dengan tiba-tiba.

Saya kira, ketika membaca kisah-kisah teladan Yesus yang melengkapi ajaran Taurat dan digenapkan Muhammad Saw, agaknya, lebih dominan bagaimana agama itu tampil sebagai sesuatu yang santun. Gus Dur, seperti di atas, menyebutnya eros/love oriented religion. Kita jadi lebih membuka diri dan mengutamakan kedamaian. Tak terjebak di dalam tempurung kecurigaan yang sempit, juga apak.

Agama seharusnya diposisikan sebagai suatu rembukan yang terbuka. Artinya, ia memang mampu melihat realita, sanggup melihat apa-yang-baru dan apa-yang-kini. Ia bukan semata-mata produk masa lalu yang datang dan jatuh dari langit, dan dengan itu merasa telah ‘utuh dan komplet’. Sesungguhnya, ia juga bagian dari -dan bercampur dengan- pengalaman manusia yang amat panjang –sejarah makhluk yang pada dasarnya setengah malaikat, separuh iblis itu.

Dari kerendah-hatian seperti itu, agama tentu bukanlah tempat yang merawat konflik, menganjurkan persekusi, apalagi sumbu peperangan. Tidak sama sekali. Justru di dalam agama memuat penyelesaian sebuah sengketa. Menyelesaikan itu berarti berembuk. Dengan diawali sikap keteguhan iman tanpa perlu memojokkan: mengerti bahwa agama saya yang benar bukan sebab agama lain yang salah. Tapi karena sebulat-bulatnya keyakinan.

Sehingga, manusia bisa saling menghargai dan memahami bukan karena terpaksa dan ditekan, tapi sebab cinta yang dilandasi iman yang selalu tersenyum. Iman yang tersenyum, bahkan terbahak-bahak ialah satu dari sekian banyak hal peninggalan yang amat berharga dari seorang Gus Dur –sesuatu yang dirindukan hari-hari ini.

Penulis adalah mahasiswa Administrasi Publik Universitas Padjadjaran, Komunitas Gusdurian Bandung